Oleh: Vita Fatimah
Â
#MuslimahTimes — Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Polemik Pelaksanaan Pilkada
Rapat kerja antara Komisi Pemerintahan DPR RI, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyepakati jika penyelenggaraan Pilkada 2020 tidak diundur lagi.
“Mencermati seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali,” kata Ketua Komisi Pemerintahan DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Senin, 21 September 2020. Kesimpulan rapat menegaskan jika Pilkada 2020 tetap berlangsung pada 9 Desember 2020.
Konsekuensi dari keputusan itu, rapat kerja kali ini meminta agar pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada dilakukan dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 (tempo.co, 21/09/2020).Â
Perhelatan Pilkada yang rencananya akan digelar serentak di 270 wilayah ini meluiputi 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten dengan masa kampanye kurang lebih sekitar 71 hari mulai dari 26 September hingga 5 Desember 2020.
Berbagai penolakan terkait penundaan pilkada yang datang dari masyarakat, partai politik, hingga ormas Islam seperti Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah cenderung diabaikan.
PBNU dan Muhammadiyah mengusulkan agar Pilkada serentak 2020 ditunda seiring pandemi covid-19 yang belum berakhir. Pasalnya, jumlah kasus positif covid-19 terus meningkat dan diprediksi akan terus melonjak hingga akhir tahun (cnnindonesia.com, 22/09/2020).
Ngotot Pilkada di Masa Pandemi
Muhammad Ismail Yusanto (MIY) mengungkap penyebab pemerintah tetap keukeuh melaksanakan Pilkada Serentak di tengah pandemi Covid-19.
“Bagaimanapun hal ini sangat menyedihkan, bagaimana kita ini dipimpin oleh kepemimpinan yang lemah dan perspektif yang salah gitu. Tumpuannya bukan pada tumpuan yang benar, tumpuannya itu kan tumpuan materialistik kapitalistik,” ujarnya dalam acara Pilkada Maut: Syahwat Politik atau Nyawa Rakyat?ÂAhad (27/9/2020) di kanal Youtube Fokus Khilafah Channel.
Menurut MIY, karena perspektif yang diambil pemerintah tumpuannya adalah materialistik atau kapitalistik, sehingga nyawa manusia hanya dianggap sebagai statistik bukan menjadi hal yang utama. Salah satunya ditunjukkan dalam ungkapan, “Yang meninggal kan hanya 10 ribu dari 270 juta rakyat Indonesia.”
Sedang dalam Islam, lanjut MIY, nyawa itu basic, pertama kali yang harus dijaga atau dilindungi. “Islam menggambarkan barang siapa menjaga nyawa manusia bagaikan menjaga nyawa seluruh manusia,” pungkasnya.
Sekalipun sudah banyak tuntutan dari masyarakat, tokoh, maupun Ormas untuk menunda Pilkada, pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan Pilkada. Hal ini diakibatkan karena bukan suara rakyatlah yang diakomodir, melainkan kepentingan politik.
Mereka yang berkepentingan terhadap Pilkada ini adalah petahana dengan misi melanjutkan jabatannya, para cukong pebisnis untuk menyelamatkan bisnisnya dan juga partai politik yang tak ingin rugi akibat telah keluarkan surat rekomendasi kepada calon kepala daerah.
Alasan lain dilanjutkannya Pilkada adalah untuk mengisi kekosongan jabatan serta melahirkan pemimpin yang baik dan bisa menangani pandemi. Meskipun sebenarnya sudah ada aturan tentang Pengisian jabatan kosong. Yaitu dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 atau Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa bila jabatan kosong, bisa ditunjuk penanggung jawab sementara.
Walaupun Pilkada ini nantinya akan dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat, tetap tidak ada jaminan bahwa kekhawatiran masyarakat akan teratasi. Karena pada faktanya, beberapa lembaga negara pun ikut kecolongan terkena virus ini.
Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan makin tak terkendali.
Pilkada tentu saja bakal mengundang masyarakat terlibat dalam banyak keramaian. Dari mulai pendaftaran paslon (pasangan calon), masa kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, pengumuman pemenang hingga pelantikan paslon. Penerapan protokol yang ketat dalam Pilkada tak menjamin bakal mengurangi ancaman penyebaran virus Covid-19. Apalagi protokol tersebut sudah terbukti banyak dilanggar pada saat pendaftaran paslon (pasangan calon).
Pilkada di tengah pandemi jelas bakal makin mengancam kesehatan, keselamatan dan kelangsungan kehidupan masyarakat.
Bukan Demi Kepentingan Rakyat
Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat (Kompas.com, 24/9/2020), ada beberapa alasan mengapa Pilkada 2020 tetap diselenggarakan meski masih masa pandemi Covid-19.
Pertama: Kepentingan kepala daerah yang sedang mencalonkan diri kembali di Pilkada tahun ini. Diketahui, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, lebih dari 200 daerah diikuti oleh petahana. Boleh jadi para petahana tersebut merasa yakin lebih mudah memenangkan Pilkada pada masa seperti sekarang ini.
Kedua: Kepentingan partai politik. Praktik mahar politik sudah menjadi rahasia umum dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
Ketiga: Ada dugaan kuat bahwa pengambil kebijakan tentang Pilkada mempunyai jagoan, sehingga Pilkada pada akhirnya diputuskan tetap berlanjut meskipun wabah Covid-19 semakin merajalela. Pasalnya, jika Pilkada ditunda, maka kans jagoan pemangku kebijakan itu untuk menang akan semakin kecil.
Keempat: Tidak menutup kemungkinan adanya peran pengusaha dalam keputusan penyelenggaraan Pilkada.
Alasan bahwa Pilkada bisa membangkitkan ekonomi tentu sangat diragukan. Kebijakan yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan ekonomi yang nyatanya memble. Saat ini, negeri ini sudah memasuki resesi. Pertumbuhan ekonomi kuartal ke-II minus 5,32%. Lebih dua kali lipat dari prediksi berbagai pihak. Kuartal ke-III 2020 (Juli-September) diprediksi minus hingga 2,9 persen. Pertumbuhan negatif masih akan berlangsung di kuartal ke-IV.
Andai Pilkada benar bisa menggeliatkan ekonomi—dan ini masih sangat diragukan—maka tetap saja menjadi tak berarti jika dibarengi dengan lonjakan Covid-19. Pasalnya, lonjakan kasus pasti lebih menyulitkan secara ekonomi. Biaya penanganan pandemi pun bakal makin membengkak. Pandemi juga bisa berkepanjangan. Kalaupun ekonomi sedikit bergerak, jika rakyat banyak yang sakit bahkan mati, jadi tak berarti.
Jika berbagai elemen masyarakat menolak dan meminta penundaan pilkada, sedang pemerintah tetap ngotot untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi, lantas sebenarnya untuk siapa pilkada ini?
Pandangan Syariat Islam
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)yang notabene merupakan produk Demokrasi adalah suatu aktivitas yang pastinya tidak perlu diadakan, karena selain menimbulkan masalah dari banyak aspek juga semakin mengokohkan sistem Demokrasi. Selama sistem Kapitalis-Demokrasi masih bercokol di Indonesia, maka pelaksanaan Pilkada dan sejenisnya akan tetap terlaksana, dalam kondisi apapun, bahkan ketika kondisi Pandemi sekalipun.
Ini karena pemilu merupakan cara dari para pengemban demokrasi kapitalis untuk mengokohkan ideologinya. Meskipun banyak yang meminta penundaan pelaksanaan Pilkada, namun rakyat tidak bisa berbuat apa-apa karena rezim sudah mampu berkuasa atas segalanya. Meskipun sebenarnya penundaan Pilkada pun bukan sebuah solusi untuk keluar dari keterpurukan sistemik. Yang seharusnya dilakukan adalah mencampakkkan semua sistem rusak tersebut dan menggantinya dengan sistem yang hakiki.
Sekedar mengganti pemimpin atau person saja, tak cukup untuk membawa pada perubahan yang sesungguhnya. Selama sistemnya sama, maka meskipun berganti-ganti orang, masalah akan terus berulang.
Karena itulah, harus sistemnya yang diganti dengan Islam. Hanya dengan kembali kepada aturan pemilik Bumi beserta isinya yaitu Alloh SWT, manusia bisa mendapatkan kemuliaan seutuhnya. Walloohu’alaam Bishawab.