Oleh. Eneng Sarah,S.Pd
Muslimahtimes – Buruh merintih, masyarakat dan mahasiswa bersatu bergerak. Bersuara, melawan, menentang UU baru yang sudah diketok palu oleh para wakil rakyat. Akankah suara dan rintihan itu didengar para pemangku kekuasaan di tengah idealisme demokrasi yang diagung-agungkan negeri ?. Lantas, ketika banyak suara menentang lalu mengapa UU Ciptaker yang menyengsarakan para buruh justru tetap bisa melenggang mulus dari meja diskusi para wakil rakyat? Bukankah katanya negeri ini negara demokrasi dimana suara rakyat adalah suara Tuhan? Atau apakah hanya rakyat golongan tertentu saja yang suaranya didengar?
Senin (5/10/20/) dalam sidang paripurna secara resmi DPR mengesahkan RUU ciptaker manjadi Undang-Undang (UU). Dari 9 fraksi yang duduk di DPR hanya ada 2 fraksi saja yang menolak UU Ciptaker ini. Setelah resmi disahkan, hastag-hastag penolakan terhadap UU ini menjadi tranding di twitter. Begitupula banyak para ahli dan tokoh yang juga menyuarakan pendapatnya hingga akhirnya masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan sebagai bentuk aspirasi penolakan UU Ciptaker yang sudah diketok palu oleh DPR.
UU yang resmi diketok palu ditengah malam itu memberikan kesan terburu-buru dengan poin-poin didalamnya yang masih diperdebatkan karena diduga hanya akan merugikan buruh dibalik memberi kemudahan pada para investor. Dilansir dari kompas.com Menurut Tajuddin Noer Effendi, pengamat ketenagakerjaan dari UGM menilai bahwa cepatnya pengesahan UU Ciptaker karena pemerintah ingin menangkap peluang investasi asing. Beliau juga menyebutkan bahwa salah satu regulasi yang membuat para investor asing masih enggan berinvestasi ditanai air adalah soal ketenagakerjaan, beliau mengatakan “selama ini UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 agak terlalu rigid sekali. Misalnya, masalah pesangon harus sekian kali bulan itu biayanya tinggi sekali.walaupun tidak pernah dilaksanakan” ( money.kompas.com,9/10/20,16:39)
Begitupula untuk buruh sendiri terdapat beberapa poin yang menjadi alasan penolakan sebagaimana dilansir dari kompas.com diantaranya yang membahas terkait outsourcing dimana ada potensi memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. Kedua, hari libur yang dipangkas. Ketiga, aturan soal pengupahan yang diganti. Keempat, sanksi tidak bayar upah dihapus. Kelima, Hak momohon PHK dihapus (kompas.com, 6/10/20, 10:45).
Ketika masyarakat dan mahasiswa bersatu melakukan demonstrasi, pemerintah sempat menyebut bahwa protes terjadi disebabkan banyak hoaks yang beredar di tengah masyarakat terkait UU Ciptaker. Nyatanya darft UU Ciptaker yang beredar di tengah masyarakat saja beragam, padahal UU sudah diketok palu, apakah boleh berubah-rubah lagi?
Dilansir dari cnnindonesia.com draft UU Ciptaker ada yang terdiri dari 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman hingga terakhir disebutkan oleh sekjen DPR Indra Iskandar jumlah halaman draft UU Ciptaker adalah 812 halaman (m.cnnindinesia.com,16/10/20,11:23).
Pakar hukum tatanegara, Bivitri Susanti, menilai bahwa proses legislasi UU Ciptaker dinilai cacat dan yang terburuk dalam proses legislasi pasca reformasi (suara.com,17/10/20,12:59).
Tapi nyatanya di negara yang menganut sistem demokrasi kapitalisme, entah suara siapa yang didengar dan diagung-agungkan sebagai suara Tuhan. Karena nyatanya suara rakyat samasekali tidak didengar justru pemerintah tetap ngotot mempertahankan UU Ciptaker yang sudah disahkan DPR. Begitupula KSPI membantah pernyataan Kepala Staff kepresidenan Meoldoko yang menyebut penolakan UU Ciptaker susah diajak bahagia, Kahar mengatakan bahwa buruh jelas tidak bahagia karena aspirasi mereka tidak diakomodir oleh Pemerintah dan DPR RI (Kompas.tv,18/10/20,10:12).
Iya betul sekali, tidak akan ada yang bahagia dengan disahkan UU ini karena jelas ada pasal-pasal dan ayat-ayat yang dapat mengarah memperburuk kehidupan buruh. UU ini jelas hanya akan memberi bahagia pada para kapitalis saja. Pemerintah mungkin sudah berupaya besar dengan disahkannya UU Ciptaker bertujuan untuk menarik para investor tapi pemerintah lupa terhadap tugasnya untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi hak-hak para pekerja di negerinya. Maka tak salah jika dikatakan bahwa pemerintah menumbalkan rakyat khusunya buruh untuk menyenangkan hati para investor.
Suara rakyat dibandingkan dengan rengekan para investor sepertinya suara para kapitalislah yang lebih didengar. Apakah ini sebetulnya wujud asli dari demokrasi kapitalisme? Suara rakyat kalah demi mewujudkan kepentingan para oligarki.
Jelas fakta ini amat berlainan dengan Islam. Islam menuntut penguasa untuk memperhatikan betul siapa saja yang dipimpinnya, mereka diwajibkan untuk meri’ayah umat dengan benar dan ancaman yang besar untuk para pemimpin yang dzholim. Islam juga mengatur terkait upah dimana berbeda dengan pandangan kapitalisme yang seolah mendudukkan para pekerja tak beda dengan budak yang keringatnya diperas untuk keuntungan para oligarki namun sama sekali tidak memikirkan kesejahteraan para pekerja. Tidak ada niatan sungguh-sungguh dari sistem kapitalisme untuk melahirkan UU yang mampu melindungi hak-hak pekerja. Maka tak aneh hingga hari ini masih banyak aturan-aturan yang tumpang tindih dan praktik-praktik di lapangan yang masih melanggar.
Dalam Islam pekerja tidak dipandang sebagai budak, justru seorang yang mempekerjakan seorang pekerja harus betul-betul memperhatikan hak pekerja tersebut, begitu pula terkait Upah wajib membayarkan upah pekerja dengan jumlah upah berdasarkan atas keridoan pekerja dan sesuai dengan jasa yang diberikan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw. bersabda, Allah SWT berfirman, “Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada Khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedang orang itu tidak memberikan upahnya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dalam memberikan upah pun tidak dibatasi Upah minimum tapi ditentukan seberapa besar jasa yang diberikan. Dimana sesungguhnya upah minimum ini hanya ilusi kebahagiaan untuk buruh. Padahal nyatanya, upah minimum ini didasarkan pada nilai kebutuhan pokok, ketika kebutuhan pokok naik maka upah minimum pun akan naik, terang sudah upah hanya cukup untuk kebutuhan pokok saja bahkan malah banyak juga yang kekurangan. Hingga akhirnya slogan terkenal itu benar-benar terwujud “yang miskin makin miskin yang kaya makin kaya”.
Memang tidak akan pernah selesai permasalahan buruh jika masih hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme, hari ini terbukti sudah suara siapa yang lebih didengar. Bahkan lolosnya UU Ciptaker di DPR dengan masih banyak pasal-pasal yang kontroversi adalah bukti dari karakter asli sistem demokrasi kapitalisme. Hanya Islam dengan syari’atnya sajalah yang dapat menjamin hak para pekerja.
Wallahu’alam bishowab[]