Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes – Dikutip dari Republika.co.id, 20 Oktober 2020, PT Honda Prospect Motor (HPM) memberikan tanggapan positif terkait keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menolak usulan pajak nol persen untuk mobil baru.
Business Innovation and Sales & Marketing Director PT Honda Prospect Motor, Yusak Billy mengatakan, perusahaan memahami bahwa pemerintah berniat memberikan stimulus atau insentif kepada dunia usaha demi perbaikan ekonomi secara keseluruhan, bukan hanya insentif ke satu jenis industri saja.
“Keputusan dari pemerintah, apapun itu, selalu didasari untuk perbaikan ekonomi. Kali ini Menkeu fokus memberikan stimulus fiskal yang bisa dinikmati dunia usaha yang terdampak. Jadi tidak hanya memberikan insentif ke satu sisi,” kata Yusak Billy dalam konferensi pers virtual, Senin, 19 Oktober 2020.
Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah bisa hidup dengan meniadakan pajak? Dan beranikah pemerintah memberlakukan kebijakan ini untuk semua sektor? Mengapa hanya untuk industri otomotif?
Sebelumnya, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengajukan wacana pajak nol persen untuk mobil baru guna mendongkrak pasar industri otomotif yang terdampak pandemi. Jika wacana itu juga didukung industri, yakni Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang menyatakan relaksasi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) nol persen dapat mendorong daya beli masyarakat.
“Dengan harapan, masyarakat bisa membeli mobil baru. Dengan demikian pabrik-pabrik mobil dan komponen dapat bekerja penuh kembali,” kata Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto pada 17 September lalu (Republika.co.id, 20/10/2020).
Artinya, masyarakat diminta untuk beli mobil sebab sudah nol persen pajaknya. Rakyat yang mana yang dimaksud? Pada faktanya, hari ini semua lapisan masyarakat menjerit, tak hanya para konglomerat namun juga rakyat kelas papa, merasakan betapa susahnya mencari sesuap nasi. Sebagaimana dikutip dari CNBS Indonesia, 18 Oktober 2020, hasil sebuah survei sebutkan 55% masyarakat Indonesia sulit makan.
Tak semua rakyat butuh mobil, namun inilah wajah negara kapitalis sekuler sebagaimana Indonesia yang akan terus menjadikan pajak dan utang ribawi sebagai sumber pemasukan utama. Maka , penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun akan mengikuti prinsip yang telah diambil.
Dalam Islam mekanisme pungutan pajak memang ada. Namun berbeda dengan kapitalis, pajak diadakan jika benar-benar Baitul Mal dalam keadaan kosong dan negara butuh dana yang mendesak untuk pembiayaan yang menjadi kewajiban negara.
Dan tak sekalipun Daulah akan menzalimi rakyatnya, pajak dipungut selama waktu tertentu dan tidak terus menerus. Wajib pajakpun bukan setiap rakyat namun dikenakan kepada orang yang sudah dianggap Daulah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan tersier keluarga dan kerabat dekatnya. Artinya benar-benar ditarik kepada para agniya hakiki (orang kaya sesungguhnya).
Namun, sepanjang sejarah Negara Islam memimpin tidak pernah diberitakan Baitul Mal hingga kosong melompong kemudian diterapkan pajak. Yang ada adalah berkelimpahan harta. Hingga pada salah satu peristiwa sejarah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah pada masa Umayyah.
Tak ada lagi yang mengalami kekurangan pangan dan kesusahan. Berkat pengelolaan dana Baitul Mal yang benar, sampai-sampai para pengelola Baitul Mal kesulitan lagi mencari orang miskin yang harus disantuni. Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang- orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said.
Semua karena basis pendapatan Baitul Mal adalah sektor real, demikian pula pengeluarannya. Tidak ada satu dinarpun dikeluarkan kecuali telah sesuai syariat. Pendapatan Daulah selain dari harta zakat, Fai, Jizyah, Khumus, Rikaz, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki pewaris juga berasal dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Seperti tambang, minyak, hasil hutan, laut dan sebagainya.
Hal inilah yang tak ada dalam sistem kapitalis, sumber daya alam negara ini telah dijual kepada asing, padahal hal yang demikian adalah haram, sumber daya alam adalah milik rakyat sedang negara berdiri sebagai wakil rakyat untuk mengelolanya. Dalam artian untuk diinvestasikan, namun secara langsung mengelolanya. Maka Daulahpun akan mendorong sektor industri untuk maju, begitupun dengan sektor yang lain akan saling bersinergi mewujudkan Daulah mandiri dan mampu berdaulat. Maka jika memang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat, pajak nol persen bukan hanya untuk bidang otomotif. Namun ditiadakan dan diganti dengan sistem pengelolaan ekonomi yang shahih.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah Saw , dari Ibnu Abbas RA berkata sesungguhnya Nabi saw bersabda,”Orang Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir (HR Ibnu Majah).
Keuntungan materi yang didapat dari investor asing yang menginvestasikan (baca:eksploitasi) modalnya dianggap sebagai keuntungan negara dan cara itulah ekonomi bisa bergerak. Sungguh pemikiran yang salah, sekian banyak investor sudah diundang ke negeri ini namun faktanya masih banyak rakyat rakyat yang miskin dan lapar.
Sebab investor asing cenderung menguasai penguasa dengan cara menguasai pembuatan UU investasinya. Dengan modal yang mereka miliki, mereka bisa dengan mudah “menukar” dengan keuntungan yang lebih berlipat dari apa yang diterima penguasa. Inilah bentuk penjajahan gaya baru, mana mungkin akan berakhir sejahtera?
Ingat ungkapan Ibnu Khaldun bahwa tanda akan hancurnya sebuah negara ialah makin bertambah besarnya pajak yang dipungut. Maka, sudah saatnya kita menyudahi kebijakan pajak dipungut terus menerus dan secara zalim dengan sebuah peraturan yang lebih masuk akal, yaitu Islam. Wallahu a’ lam bish Shawab.