Oleh: Kholda Najiyah
Pemimpin Redaksi Muslimahtimes
MuslimahTimes– Nabi Muhammad Saw. adalah manusia paling berpengaruh di dunia, yang ketiadaannya masih menjadi sumber inspirasi. Bagi Muslim beliau adalah influencer sepanjang masa. Diteladani seluruh aspek kehidupannya, mulai bangun tidur hingga bangun negara. Tak ada influencer selengkap beliau, yang dicintai umatnya sejagat raya.
Sebaliknya bagi para haters, sosok Muhammad Saw. terus menghantui sepanjang zaman. Momok bagi mereka yang tertanam kebencian di hatinya. Adanya penistaan yang terus terulang adalah bukti kebencian itu.
Perancis tampaknya gudang para haters. Ada Majalah Satir Charlie Hebdo yang pada 2015 lalu memicu kemarahan dunia dengan kartunnya yang merisak Nabi. Sebanyak 12 nyawa jadi tumbal. Lalu belum lama, seorang guru, Samuel Paty, menunjukkan kartun Nabi, hingga berujung pemenggalan dirinya. Peristiwa ini melukai warga Prancis, hingga berujung kemarahan di seantero negeri.
Suasana kian panas, ketika surat kabar lokal La Nouvelle Republique merespons peristiwa itu justru dengan mempublikasikan ulang sketsa karikatur Nabi Muhammad Saw pada cover depan mereka, 18 Oktober lalu. Berdalih menyoroti ancaman dari kelompok ekstremis Islam. Presiden Prancis Emmanuel Macron berdiri bersama haters, membela mereka di balik topeng kebebasan berekspresi.
Namun, bukannya mendapat simpati, pernyataan-pernyataan Macron yang menyudutkan Islam dengan cap radikal, membuat dunia Islam berang. Para follower Nabi Muhammad Saw. berduyun-duyun membela. Mereka turun di jalan-jalan di berbagai kota di dunia Islam. Di Bangladesh diperkirakan 40 ribu orang menyesaki jalanan Ibu Kota Bangladesh, Dhaka (Merdeka).
Sementara itu, penguasa-penguasa di Timur Tengah hingga Asia juga menyerukan boikot Prancis. Walaupun dampaknya tidak signifikan terhadap perekonomian Prancis, tetapi aksi ini diharapkan menjadi pelajaran bagi Prancis agar berhenti membenci Nabi. Berhenti memancing kemarahan dunia Islam.
BEDA IDEOLOGI
Tak mengejutkan jika Prancis membenci Nabi. Survei oleh Institut Francais d’opinion Publique (IFOP) pada 2019 menemukan, hampir dua pertiga atau 61 persen orang Prancis percaya bahwa Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Prancis. Angka itu meningkat delapan persen dibandingkan penelitian sebelumnya yang dirilis Februari 2018 (Republika, 30/10/19).
Hal ini karena Prancis dan negeri-negeri kafir pada umumnya adalah negara berbasis sekular. Ideologi sekular memang bertabrakan dengan ideologi Islam sejak asasnya. Wajar jika terus berbenturan. Apa yang diteladankan Nabi, kerap dianggap miring oleh penganut ideologi sekular. Karena itu mereka menjadi haters.
Salah satu pembeda Islam dan sekular adalah soal kebebasan berekspresi. Islam tidak mengenal ide ini, karena setiap ekspresi manusia harus wujud keterikatan pada syariah. Boleh tidaknya membenci seseorang, harus berdasar aturan Allah. Orang yang dibenci hanyalah mereka yang menistakan ajaran Allah Swt, para Nabi dan kitab yang dibawanya.
Namun bagi sekularis, mereka bebas mengekspresikan apa saja. Menghina agama lain untuk mengekspresikan kebencian, bagi mereka adalah sah. Tindakan itu jelas merupakan provokasi. Apa yang dilakukan pelaku penjagal guru sejarah yang menghina Nabi, merupakan reaksi atas aksi provokasi yang terus menerus dilakukannya.
Demikian pula respons dunia Islam yang mengecam Prancis adalah reaksi atas provokasi yang mereka tabur sendiri. Padahal Dunia global tahu bahwa Islam tidak mengizinkan bentuk penggambaran fisik Nabi dengan alasan apapun. Apalagi jika sengaja digambar dalam bentuk pelecehan. Tetapi mereka sengaja benar melakukannya. Apa namanya kalau bukan memancing keributan?
LUPA SEJARAH
Prancis lupa, Islam punya jejak sejarah kuat di sana, pengaruh pemerintahan Dinasti Umayyah pada abad pertengahan. Jejak itu ditemukan Antropolog Prancis, Yves Gleize. Ditemukan tiga makam tua di Nimes berisi kerangka yang diduga tentara Muslim Berber. Tes DNA menunjukkan, ayah mereka berasal dari Afrika Utara, yang kala itu diperkirakan menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah. Mereka diyakini tergabung dalam barisan tentara Umayyah saat menggelar ekspansi besar-besaran ke Prancis, khususnya Nimes (Republika, 16/3/16).
Pengaruh dunia Arab di Prancis juga masih bisa ditelusuri hingga hari ini. Dilansir dari Republika (21/8/19), masih ada ratusan ribu warga Paris yang berbicara dalam bahasa Arab sebagai bahasa utama atau bahasa kedua mereka. Makanan Arab, seperti couscous, mezze, dan shawarma juga masih eksis.
Menurut sejarah, kedekatan itu dimulai sekitar 500 tahun silam. Prancis menjadi bangsa Kristen pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultan Turki Utsmani. “Pada akhir abad ke-18, hubungan dengan dunia Islam adalah sesuatu yang biasa, termasuk ketika melihat orang berjalan-jalan di Paris mengenakan serban,” kata Ian Coller, guru besar sejarah yang pada 2011 menulis buku tentang hubungan Prancis-Arab.
Tentu saja, hal itu karena Kekhalifahan Islam adalah negara adidaya di dunia pada zamannya. Tidak ada pilihan bagi negara-negara lain, jika ingin mengambil manfaat darinya, harus menjalin hubungan diplomatik. Prancis pun memilih berhubungan damai, artinya menerima nilai-nilai Islam secara terbuka.
Umat Muslim pun bisa beraktivitas di negeri itu untuk berbagai keperluan. Memberi pengaruh yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Tanpa ada diskriminasi atau penistaan, karena, siapa yang berani melawan kekuatan negara adidaya? Maka sungguh, andai Khilafah itu hari ini ada, dialah yang akan membungkam mulut para haters itu selamanya.(*)