Oleh: Silvia Anggraeni, S.Pd
#MuslimahTimes — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali meraih penghargaan dunia. Kali ini dia meraih penghargaan Finance Minister of the Year for East Asia Pacific, alias Menteri Keuangan terbaik di Asia Timur dan Pasifik tahun 2020 oleh Majalah Global Markets.(detik.com, 12/10/2020)
Penghargaan tersebut tentu saja menjadikan publik terheran-heran, pasalnya dengan kondisi utang luar negeri menggunung yang dimiliki Indonesia, kondisi ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk, daya beli yang semakin rendah, inflasi yang makin tinggi, bagaimana mungkin Menteri Keuangan dilabeli sebagai pembantu Presiden terbaik di dunia, versi siapa?
Laporan Bank Dunia berjudul International Debt Statistics 2021 menunjukkan data utang negara berpenghasilan menengah dan bawah. Dalam laporan itu, peringkat Indonesia ternyata tinggi, yakni tembus posisi 6 di kalangan negara berpenghasilan menengah dan bawah. Bahkan, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 mengalami peningkatan menjadi USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.098,27 triliun (kurs 14.751 per dolar AS).
Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS, Anis Byarwati, menegaskan agar Pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan ULN. Ini lantaran Debt to Services Ratio(DSR) terus naik, yang menyebabkan ULN Indonesia masuk pada tingkat waspada.
(liputan6.com, 20/10/2020)
Namun hal ini berbeda dengan pendapat sang Menteri Keuangan. Sri Mulyani menjelaskan rasio utang yang tinggi sejatinya tak salah. Ini akan bergantung bagaimana negara mengelola utang tersebut. Ia justru berpendapat rasio utang yang rendah bisa saja memberatkan negara bila ekonominya rendah atau masuk kategori negara miskin. Hal ini karena mereka harus membayar biaya bunga lebih tinggi.(CNNIndonesia, 20/10/2020)
Dalam kacamata ekonomi Kapitalisme, utang merupakan komponen harta. Dimana Harta = Utang + Modal.Maka wajar jika memperbanyak utang (termasuk bunga riba) merupakan jalan “halal” yang ditempuh sistem ekonomi ini dalam menambah hartanya.Padahal, terus membengkaknya utang luar negeri Indonesia, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan ekonomi dan justru semakin menguatkan lilitan intervensi asing sebagai pihak pemberi hutang.
Defisit anggaran yang selalu ditutup dengan utang hal ini seolah membawa Indonesia ke pusaran kelam yang kian dalam, sementara harta kekayaan negara sesungguhnya, yaitu sumber daya alam yang sangat melimpah, justru direlakan untuk diangkut oleh negara-negara asing.
Lalu, dalam menumpuk hutang hingga menggunung dan mencekik rakyat untuk membayarnya, dimana bentuk prestasinya? Lalu Menteri Keuangan Indonesia memperoleh gelar terbaik di mata asing, Atas dasar apa?
Diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira ketergantungan utang luar negeri akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Dampak pertama yang ditimbulkan ialah pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot supply dolar di dalam negeri.
“Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang,”
Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service mengalami peningkatan. “Kalau utangnya valas, ya harus dicari sumber valas. Padahal ditengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya resiko kegagalan bayar utang makin besar,” bebernya.
Lalu Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan resiko portfolio. Pasalnya, investor asing yang beli utang easy in dan easy go akibatnya apabila terjadi penurunan minat pembeli utang valas bisa capital outflow besar besaran. (SINDOnews.com, 14/7/2020).
Dan yang paling dikhawatirkan adalah kegagalan dalam pembayaran utang tersebut. Seperti cerita naas yang dialami Zimbabwe, akibat gagal bayar utang pada Cina akhirnya mata uang mereka harus diganti dengan mata uang Cina. Berikutnyaerikutnya Nigeria. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur. Begitu juga Sri Lanka. Setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Tak ketinggalan Pakistan. Pembangunan Gwadar Port bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus rela dilepas.
Rentetan peristiwa tragis yang dialami negara yang gagal membayar utang seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk tak melakukan kesalahan yang sama. Karena bukan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi pada Indonesia.
Lalu bagaimana Islam memandang perkara utang?
Nabi Muhammad SAW berkata bahwa utang menyebabkan kesedihan di malam hari dan kehinaan di malam hari.Di lain kesempatan Rasulullah pernah menolak untuk mensholatkan jenazah ketika diketahui bahwa orang itu mempunyai utang sedangkan ia tidak meninggalkan warisan apa pun guna membayar hutangnya tersebut.
Namun, dalam kondisi yang amat terpaksa Islam memperbolehkan utang. Hal ini sesuai firman Allah SWT:“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah [2] : 245)
Memberikan piutang kepada saudara yang membutuhkan memiliki keutamaan seperti yang tertulis dalam ayat di atas.Dan yang harus diperhatikan dalam urusan utang piutang adalah tidak ada riba di dalamnya:“Para ulama sepakat bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan mempersyaratkan 10% dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba.” (Al Ijma’, hal. 99, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 6: 276)
Karena jelas Allah telah mengharamkan riba, tersurat dalam firman Nya:Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. Ali ‘Imran Ayat 130)
Keagungan Islam selalu menaungi para pengembannya dengan hukum syariat yang mengaturnya. Tak ayal jika Islam diterapkan maka kemuliaan yang menjadi imbalannya. Dan sebagai pelaksana hukum syariat, Khilafah selalu berada dalam aturan Islam termasuk dalam masalah keuangan daulah. Bahkan ketika daulah mengalami kekurangan dalam hal anggaran.
Anggaran defisit seperti ini adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis-sekular, negara sosialis/komunis, maupun di negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Yang berbeda hanyalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.
Ada 3 (tiga) solusi universal untuk mengatasi masalah defisit anggaran, yaitu: menambah pendapatan, mengurangi belanja, dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang. (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari, 2010).
Langkah Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran
Pertama, meningkatan pendapatan. Setidaknya ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
(1) Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Khalifah boleh saja menjual atau menyewakan tanah-tanah di dalam kota untuk membangun pemukiman, pasar-pasar, gudang-gudang, dan sebagainya. Khalifah boleh juga mengelola tanah perkebunan milik negara, baik sebagian atau seluruhnya, dengan akad musaqah, yakni bagi hasil dari merawat pohon, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.
Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun, ada catatan penting, bahwa ini tak berarti negara menjadi pedagang atau pebisnis yang berpikir dan bertindak sebagaimana lazimnya pedagang atau pebisnis, yaitu selalu berusaha mencari profit dan menghindari risiko atau kerugian. Negara dalam hal ini wajib tetap mengedepankan fungsinya menjalankanpengaturan urusan rakyat. Dengan demikian ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu‘un (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 86-87).
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan jihad fi sabilillah dan apa saja yang terkait dengan jihad. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan jihad atau yang terkait dengan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persejataan), pembiayaan latihan militer, dan sebagainya. Jadi pendapatan dari tambang Papua itu tak boleh digunakan untuk keperluan lainnya, misalnya untuk mengentaskan kemiskinan, atau membiayai pendidikan, dan sebagainya.
Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., misalnya tatkala Rasulullah saw. melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pernah pula melakukan hima pada Ar-Rabdzah, khusus untuk unta-unta zakat, dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 76-77).
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya.
Kedua, menghemat pengeluaran.Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Yaitu kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/125).
Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua):
(1) Utang-utang luar negeri itu pasti menarik bunga, yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275).
(2) Utang luar negeri itu pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘ [4]: 141). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla, hlm. 200-207).
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), Khalifah boleh berutang (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122-123).
Allahu ‘alam bisshowab