Judul buku : Qimatuz Zaman ‘Indal ‘Ulama’
Judul Terjemahan : Manajemen Waktu Para Ulama
Penulis : Syaikh Abdul Fatah
Penerbit : Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyah
Penerjemah : Abu Umar Basyir dkk.
Tahun terbit : 2020
Cetakan : VI
Ketebalan : 212 hal
ISBN : 978-602-8975-33-9
Semboyan ‘hidup bagai air yang mengalir’, ‘menjalani hidup apa adanya’, menjadi umum dikenal dan dipraktikkan banyak orang zaman ini. Ini adalah zaman dimana banyak orang menjadi panjang angan-angan. Merasa masa muda berarti hidup masih panjang. Hidup harusnya dijalani dengan melakukan hal- hal menyenangkan. Sehingga hasilnya banyak orang menghambur-hamburkan harta paling berharga miliknya tanpa rasa sayang, hanya untuk santai. Harta itu bernama waktu.
Ya, setuju kan kalau saya katakan waktu adalah harta manusia paling berharga. Satu lagi adalah kesehatan. Bila keduanya dalam dimanfaatkan maksimal beruntunglah manusia. Sebaliknya sesiapa yang lalai dialah yang merugi. Lagi-lagi buruknya zaman kapitalis sekuler hari ini. Kalaupun ada yang memandang waktu sangat berharga, kebanyakan orientasinya adalah dunia.
Time is money, begitu semboyan mereka. Berharganya waktu terletak pada kemampuannya, untuk memberi kesempatan siapa saja mengasah kemampuan, guna mengumpulkan pundi-pundi harta. Memiliki harta terbanyak adalah puncak kesuksekan. Wajar jika Nagita Slavina berkata pencapaian harta keluarga mereka belum apa – apa. Mereka belum merasa sukses meski harta telah berlimpah. Meski sang suami sudah pantas digelari sultan oleh netizen, sangking kayanya. Mereka masih mengejar tangga – tangga kesuksesan yang sudah lebih dulu dimiliki orang lain. Itulah harga kehidupan bagi kaum pencinta dunia. Waktu digunakan untuk kejar mengejar dalam meraih harta.
Pantas saja ketika sejarah kehidupan ulama zaman keemasan Islam menampilkan hal berbeda, para pencinta jalan hijrah mengagumi mereka. Seperti buku ini yang edisi terjemahannya telah naik cetak sebanyak 5 kali.
Dalam buku ini ditampilkan model kehidupan para pemilik ilmu yang sangat langka di zaman sekarang. Mereka manusia biasa seperti kita. Bedanya mereka terdidik dengan zaman dimana akidah Islam dijadikan dasar bagi kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara.
Alhasil, mereka (para ulama) memiliki orientasi hidup yang lurus. Hidup untuk mengumpulkan bekal di akhirat. Sebab mereka sadar dunia hanya persinggahan, ditinggali sebentar. Akhiratlah kehidupan kekal. Surga sebaik-baik tempat tinggal. Bagaimana agar misi hidup tercapai, maka mereka mengatur waktu semaksimal mungkin untuk amal salih.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah Swt dan Rasul-Nya ingatkan dalam al Qur’an dan as Sunnah. Salah satunya dalam surat pendek yang bisa dilantunkan saat salat. Intinya, manusia akan rugi kecuali jika menggunakan waktunya untuk beramal salih. (QS. Al Asr)
Dalam buku ini terungkap bahwa para ulama beraktivitas berdasarkan prioritas amal yang diatur dalam Islam. Amal yang wajib seluruhnya dikerjakan, yang sunnah diperbanyak, yang makruh dan haram ditinggalkan dan yang mubah dipilih-pilih.
Setidaknya aktivitas utama ulama terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu ibadah, belajar dan mengajar. Kalau orang zaman sekarang senang ngobrol hal-hal remeh temeh, sekedar haha hihi. Kalau ulama hanya membicarakan hal berbau ilmu alias solusi. Kalau ngobrol ngalor ngidul maka sang alim seperti tabi’in Amir bin Abdi Qais akan berucap, “Tahanlah matahari. Baru aku akan ngobrol denganmu”.
Saat ini dunia kuliner cukup digemari. Wisata kuliner hingga muk bang menjadi istilah yang sudah familiar bagi kita. Ternyata kalau bagi ulama makan itu yang penting halal dan thayyib sebagaimana petunjuk Islam. Enggan mereka menghabiskan waktu untuk urusan makan. Makanya dulu ada ulama yang makan malamnya saja disuapi saudara perempuannya selama 30 tahun seperti Syekh Ubaid bin Ya’isy karena beliau sibuk menulis hadis. Atau seperti Syekh Ibnu Suhun yang makan malam disuapi pembantunya karena beliau sedang sibuk menyusun buku. Ulama lainnya ada yang lebih memilih makanan lembut agar tak banyak waktu mengunyah makanan. Rata-rata ulama makannya sedikit. Makan saat lapar. Ini turut membuat mereka sehat selalu.
Itu baru soal makan. Kita akan menemukan banyak hal menakjubkan lainnya dalam buku ini. Seperti tidurnya ulama yang sebentar. Kurang lebih seperti Pak Habibie, tidurnya sedikit. Tapi yang seperti Pak Habibie saat ini sangat sedikit. Lebih sedikit lagi yang rela tidur sedikit demi meraih pahala dihadapan Allah Swt.
Cara ulama mengatur strategi untuk memaksimalkan waktu mengerjakan kewajiban dan efisiensi waktu dalam aktivitas mubah akan kita ketahui di buku ini. Diantara contohnya, mereka memanfaatkan waktu berjalan menuju suatu tempat untuk membicarakan soal ilmu. Atau seperti Syekh Ibnu Taimiyyah Al-Jadd yang meminta seseorang membacakan kitab sementara dia buang hajat.
Maka kita tak perlu heran jika para ulama dulunya menghasilkan karya-karya tulis yang melampaui orang-orang di zaman setelahnya. Di saat sarana menuntut ilmu belum secanggih sekarang, masih mengandalkan alat tulis manual kuno, tapi bukunya berjilid-jilid. Yang sampai ke kita diantaranya kitab tafsir Ibnu Katsir ya, yang cukup tebal. Kitab Hadist Bukhari, Tafsir at Thabari dan lain sebagainya, yang ditulis hingga ratusan ribu lembar dengan tangan.
Bisa dikatakan menulis jadi tradisi saat itu. Penulis sangat banyak. Kita sekarang, membaca apalagi menulis justru jauh dari kebiasaan banyak orang. Kalaupun geliat dunia literasi dianggap lagi naik saat ini. Tapi karya buku yang dihasilkan kebanyakan adalah novel- novel roman picisan ala remaja, minim pesan kebaikan.
Akhir kata, meski tiap kisah di buku ini ditulis secara singkat, poinnya tetap dapat ya. Jadi bagi saya menginspirasi untuk memperbaiki cara diri selama ini menggunakan waktu. Buku ini bermanfaat. Cetakan terbaru masih fresh. Monggo dibaca teman-teman.