oleh. Aya Ummu Najwa
MuslimahTimes.com – Kondisi kehidupan hari demi hari semakin carut marut dan meresahkan. Bagaimana tidak, umat seakan dikepung dengan berbagai persoalan, dari masalah ekonomi yang semakin menyesakkan, masalah keadilan yang tebang pilih, pendidikan yang kian mahal namun jauh dari kualitas, belum lagi masalah kesehatan, pandemi yang kiat merajalela tanpa penanganan yang tepat namun masih ditambah dengan biaya pengobatan yang mahal tapi minim pelayanan, korupsi, pungli, kebijakan zalim seperti omnibuslaw yang tak berpihak kepada rakyat kecil, dan banyak lagi kebijakan yang tak pro rakyat.
Namun yang paling memilukan adalah begitu terlihatnya, sikap petinggi negeri ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Semua yang berbau Islam seakan menjadi musuh negara. Umat Islam masih terus menjadi tumbal kekuasaan, didekati jika ada manfaatnya untuk mendongkrak suara, setelah itu kembali dibuang. Ajaran Islam satu demi satu terus diusik dan didebat, diutak-atik agar tak membahayakan negara.
Di luar negeri, islamophobia masih terus berlangsung. Pembantaian umat Islam masih terus berlanjut. Palestina, Suriah, Rohingya masih terus membara. Muslim Uyghur masih merana. Bahkan Rasulullah pun diusik dan dihina. Islam masih terus dilecehkan.
Menyadari itu semua, maka sangat wajar jika umat Islam ingin bangkit dari keterpurukan. Karena sejatinya segala permasalahan dan kekacauan ini adalah buah dari diterapkannya sistem rusak yang merusak yaitu kapitalisme. Maka ibarat orang yang sakit menginginkan kesembuhan yang total maka sudah sewajarnya umat Islam mencari sistem pengganti yang lebih mumpuni , yang telah terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan, dialah sistem Islam dengan khilafah Rasyidah, yang akan membawa lagi kemakmuran dan kedamaian, meninggalkan dan mencampakkan sistem kapitalis yang telah terbukti gagal membawa kebaikan bagi manusia.
Maka sungguh disayangkan, dakwah Islam yang diemban oleh umat Islam sebagai bentuk kecintaan pada negerinya, telah disalahartikan oleh sebagian petinggi negara, bahkan sebagian ulama seolah para pencari solusi ini berbahaya dan perlu disadarkan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyinggung soal sistem khilafah yang ingin diterapkan kelompok tertentu di Indonesia. Dia meminta seluruh masyarakat, khususnya umat Islam moderat, untuk terus menyadarkan kelompok-kelompok ini. “Kita harus terus memberikan pengertian-pengertian yang sewajarnya, artinya menyadarkan mereka tentang apa yang sudah dibuat oleh para pendiri bangsa ini, oleh ulama kita terdahulu,” kata Ma’ruf Amin dalam keterangan video yang diterima di Jakarta, Senin (Ayobogor.com, 9/11/2020).
Sungguh Khilafah adalah ajaran Islam, mengenai dalil dan sumbernya pun sudah sangat jelas dan lengkap. Dari ayat Al-Qur’an, hadits Rasulullah, kesepakatan para sahabat, hingga tidak ada perselisihan di kalangan para ulama. Allah sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an mengenai hal ini;
(وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰۤىِٕكَةِ إِنِّی جَاعِلࣱ فِی ٱلۡأَرۡضِ خَلِیفَةࣰۖ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [TQS al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil Alquran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
Dari dalil as Sunnah pun Rasulullah telah bersabda yang diantaranya dari Ibn Abu Asim di dalam kitab al-Sunnah, halaman 489;
من مات وليس عليه إمام مات ميتة جاهلية
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].
Berdasarkan hadits di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda Shalallahu alaihi wasallam harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]
Begitupun dalil dari Ijmak Sahabat telah menerangkan wajibnya mengangkat imamah dalam Islam.
Kedudukan ijmak sahabat sebagai dalil syariah setelah Alquran dan as-Sunnah sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat dapat menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan pondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
Karena itu, ijmak sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan Alquran atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
“Sungguh para Sahabat Radhiallahu Anhum telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Bahkan sudah diketahui bersama, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh per individu, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
Kemudian ada dalil dari kesepakatan para Ulama Aswaja.
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan juga masih banyak dalil lainnya yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,
“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].
Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Ijma ulama Islam adalah dalil yang wajib dipegang.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (115)
“Barang siapa yang berseberangan dengan Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang yang beriman, niscaya Kami biarkan ia terjerembab dalam kesesatannya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An-Nisa [4]; 115)
وَقَوْلُهُ: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى} أَيْ: وَمَنْ سَلَكَ غَيْرَ طَرِيقِ الشَّرِيعَةِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَارَ فِي شِقٍّ وَالشَّرْعُ فِي شِقٍّ، وَذَلِكَ عَنْ عَمْد مِنْهُ بَعْدَمَا ظَهَرَ لَهُ الْحَقُّ وَتَبَيَّنَ لَهُ وَاتَّضَحَ لَهُ. وَقَوْلُهُ: {وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ} هَذَا مُلَازِمٌ لِلصِّفَةِ الْأُولَى، وَلَكِنْ قَدْ تَكُونُ الْمُخَالَفَةُ لِنَصِّ الشَّارِعِ، وَقَدْ تَكُونُ لِمَا أَجْمَعَتْ عَلَيْهِ الْأُمَّةُ الْمُحَمَّدِيَّةُ، فِيمَا عُلِمَ اتِّفَاقُهُمْ عَلَيْهِ تَحْقِيقًا، فَإِنَّهُ قَدْ ضُمِنت لَهُمُ الْعِصْمَةُ فِي اجْتِمَاعِهِمْ مِنَ الْخَطَأِ، تشريفًا لهم وتعظيما لنبيهم [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] . ..، وَالَّذِي عَوَّلَ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي الِاحْتِجَاجِ عَلَى كَوْنِ الْإِجْمَاعِ حُجَّةً تَحْرُم مُخَالَفَتُهُ هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ، بَعْدَ التَّرَوِّي وَالْفِكْرِ الطَّوِيلِ. وَهُوَ مِنْ أَحْسَنِ الِاسْتِنْبَاطَاتِ وَأَقْوَاهَا، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ قَدِ اسْتَشْكَلَ ذَلِكَ وَاسْتَبْعَدَ الدِّلَالَةَ مِنْهَا عَلَى ذَلِكَ (2) .
Firman Allah Subhanahu wa Taala: “Barang siapa yang berseberangan dengan Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya.” (Qs. An-Nisa: 115)
Barang siapa yang menempuh jalan selain jalan syariah yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, maka ia berada di suatu lembah, sedangkan syariah sendiri berada di lembah yang lainnya. Hal tersebut dilakukannya dengan sengaja sesudah tampak jelas baginya jalan kebenaran.
Firman Allah Subhanahu wa Taala: dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nisa: 115) Makna firman ini saling berkaitan dengan apa yang digambarkan oleh firman-Nya yang pertama tadi. Tetapi adakalanya pelanggaran terjadi terhadap bunyi teks syariah, dan adakalanya bertentangan dengan ijma yang telah disepakati oleh umat Muhammad dalam hal-hal yang kesepakatan mereka diketahui secara’ jelas. Karena sesungguhnya kesepakatan mereka telah dipelihara dari kekeliruan, sebagai karunia Allah demi menghormati mereka dan memuliakan Nabi mereka… Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafii yang menunjukkan bahwa ijma’ adalah hujah (sumber hukum) yang haram ditentang; hal ini dijadikan sebagai rujukannya setelah pemikiran yang cukup lama dan penyelidikan yang teliti. Dalil ini merupakan suatu kesimpulan yang terbaik lagi kuat. Sebelum itu kesimpulan ini sulit ditemukan oleh sebagian kalangan ulama, karenanya jangkauan pemikiran mereka tidak sampai kepada kesimpulan ini. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/412).
Maka, jika dikatakan mendakwahkan khilafah adalah sebuah keabnormalan dan perlu disadarkan, sedang dalil terkait wajibnya menegakkan khilafah sendiri begitu lengkap tak terbantahkan, bukankah ini merupakan sebuah kesalahan fatal bagi seorang pejabat publik yang notabene dia seorang muslim bahkan bisa dikatakan merupakan seorang ulama? Dan ini sangat berbahaya bagi umat, karena dapat menimbulkan kerancuan, bahkan bisa menggiring umat untuk menjauhi dan membenci agamanya sendiri.
Sungguh, Islam itu pertama kalinya dia asing, maka dia akan kembali asing, maka berbahagialah bagi mereka yang asing.
Wallahu a’lam.