Oleh: Fera Ummu Tufail
MuslimahTimes.com – Baru-baru ini muncul rencana Undang-undang yang ramai diperbincangkan publik. Kali ini adalah tentang rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat RI. RUU ini menjadi sorotan publik karena mengatur sanksi pidana bagi orang yang mengonsumsi minuman beralkohol; yaitu pidana penjara paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun, atau denda paling sedikit 10 juta sampai 50 juta. Sanksi semakin bertambah dengan semakin besarnya dampak yang ditimbulkan pada masyarakat.
Sanksi diberikan kepada mereka yang memproduksi, memasukkan, menyimpan dan mengedarkan, dan menjual minol. RUU minol tersebut tentunya diusulkan guna mengendalikan peredaran minuman keras ditengah masyarakat. Dikatakan RUU ini terkandung tujuan mulia untuk mewujudkan lingkungan masyarakat yang baik dan sehat, bahkan disinggung pula terkait hak setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan kehidupan yang baik, sehat dan sejahtera lahir dan batin yang merupakan kewajiban negara berdasarkan UUD 1945.
Tetapi, pada faktanya RUU minuman beralkohol yang diajukan DPR ini menuai kontroversi. Tidak semua menyetujui pelarangan minol. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh sejumlah fraksi di DPR yang mengusulkannya, RUU Minol ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul akibat minol.
Minol Jelas Berbahaya!
Berdasarkan temuan kepolisian, banyak tindakan kriminal yang dilatarbelakangi oleh minuman keras (minol). Salah satu dampak mematikan dari minuman keras adalah kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan karena berada di bawah pengaruh alkohol. Belum ada data yang merinci penyebab kecelakaan di Indonesia, seperti faktor pengendara mabuk. Namun, berdasarkan laporan Global Status Report on Road Safety 2018 yang dirilis oleh WHO, diperkirakan bahwa 5-35 persen dari semua kematian di jalan raya di dunia, diakibatkan kecelakaan karena mabuk (detiknews.com, 18/11/2019).
Minuman beralkohol (minol) atau miras, baik yang legal atau oplosan sama-sama berbahaya. Ia bisa merusak kesehatan manusia. Dalam jangka pendek setelah minum minol, seseorang akan merasa mabuk yang diikuti dengan sakit kepala berat sehingga menyebabkan mual sampai muntah. Sementara dalam jangka panjang mengkonsumsi minol dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti sakit liver, jantung, kanker, masalah mulut dan pencernaan, sampai pada keracunan alkohol yang berujung pada kematian.
Minol juga bisa menyebabkan kecanduan luar biasa karena kandungan zat aditif di dalamnya. Apabila dikonsumsi secara kontinyu, akan memicu kerusakan saraf otak yang mengakibatkan pengkonsumsinya menjadi gampang kehilangan akal, kesetimbangan dan menurunnya kemampuan indera perabanya. Selain itu, minol juga bisa menyebabkan perubahan perilaku dan gangguan kesehatan mental seperti frustasi dan depresi.
Tidak hanya pada diri sendiri, minol juga berdampak bagi masyarakat sekitarnya. Banyak kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengemudi yang mabuk. Tindakan kriminal juga banyak yang bermula dari mabuk karena minol, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan maupun pembunuhan. Jadi, jelas minol ini tidak hanya merugikan diri peminumnya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya akan turut merasakan dampak buruknya.
Para penentang RUU ini berargumen sebaliknya, menurut mereka tidak ada korelasi minol dengan tindak kriminal. RUU ini juga dianggap mengancam sejumlah sektor yang berhubungan dengan sejumlah kepentingan bisnis seperti industri miras, pariwisata dan perhotelan..
Khamr Haram
Dalam kitab lisan Al-arab, khamr secara bahasa adalah sesuatu yang memabukkan dan dihasilkan dari perasan anggur. Dalam kamus Al Muhith, disebutkan khamr adalah sesuatu yang memabukkan. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tantang hal ini. Banyak nash Al-Qur’an dan Hadist yang menunjukkan keharamannya. Allah telah mengharamkan khamr secara mutlak.
Allah berfirman dalam QS. al-Maidah: 90; “Wahai orang orang yang beriman sungguh minuman keras, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. karena itu jauhilah perbuatan itu agar kalian beruntung.”
Dari Ibnu Umar ra, Nabi bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah khamr, setiap yang memabukkan hukum nya haram, siapa saja yang meminum khamr didunia, lalu ia mati, sedangkan ia masih meminumnya dan tidak bertobat maka ia tidak akan meminumnya di Akhirat (tidak masuk surga)” (HR Muslim).
Larangan tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi perintah yang tegas bagi orang-orang yang beriman untuk menjauhi minuman keras/beralkohol. Bukan hanya karena pertimbangan kesehatan saja, melainkan juga ada efek adiktifnya, hingga mengakibatkan kerusakan organ vital bagi yang kecanduan alkohol.
Bagi kaum Muslim, larangan Allah tersebut menjadi hukum yang tegas dan jelas bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, baik itu pembuatnya, pengedarnya, penjualnya, hingga peminumnya, Selain larangan minum khamr, Allah juga memberikan jaminan bahwa kita akan beruntung jika meninggalkan minuman beralkohol itu.
Namun sayang, aturan dalam dalam sistem demokrasi tidak mengizinkan supremasi agama menjadi pengatur kehidupan warga negara. Sebaliknya, akal dan pertimbangan materialistik adalah yang menjadi pertimbangan pertama saat akan menetapkan regulasi.
Sadar bahwa ini akan menuai kontroversi, para pengusung RUU ini berusaha mengakomodir pihak-pihak yang tidak menyetujui RUU tersebut diketok palu. Sehingga kemudian muncullah pasal 8 bab III tentang pengecualian RUU Minol yang diberikan untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan di tempat-tempat yang diizinkan oleh perundang undangan. Melarang miras, namun memberikan kelonggaran kepada yang lainnya menurut UU untuk boleh mengonsumsi miras.
Inilah regulasi setengah hati para pengusung yang tidak mampu menolak pendapatan legit yang didapat oleh negara dari bisnis tersebut. Alih-alih melindungi rakyatnya dari bahaya minol, negara malah menjadi penaung atau pelindung para korporat yang tidak rela bisnisnya diamputasi. Tahu bahayanya, namun tak mau kehilangan manfaat darinya.
Oleh karena itu, dalih untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif minuman beralkohol sebagaimana pasal 3 tersebut jelas sulit terealisasi. Karena adanya anggapan minol masih dibutuhkan negara untuk meraup pundi-pundi pendapatan.
Fenomena ini semakin membuktikan bahwa amat sulit memperbaiki sistem dari dalam. Upaya yang dilakukan hanyalah seperti tambal sulam. Demikian adanya kehidupan dalam sistem kapitalis sekuler. Sesuatu yang sudah jelas keharamannya, nyatanya masih menjadi bahan perdebatan, bahkan ditanyakan pula urgensi dari pembahasan RUU Minol tersebut.
Karena itu, tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan tersebut jika tidak diatur dengan aturan Islam secara paripurna. Solusi yang efektif adalah dengan penerapan hukum Islam secara totalitas. Wallahu a’lam bish-shawab[]