Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes.com – Pemilihan kepala daerah telah digelar secara serentak 9 Desember lalu. Setelahnya media sosial dipenuhi oleh berita perhitungan cepat dan klaim kemenangan sementara dari beberapa paslon.
Sebelum itu, seorang sahabat gencar bertanya kepada saya soal Pilkada ini. Diawali dengan pertanyaan, ” Besok nyoblos nggak zah?” Begitu bunyi chatnya via WhatsApp, dengan panggilan khasnya zah, kepanjangan dari ustazah. Masih saja beliau menyebut saya dengan nama itu, padahal usia beliau jauh di atas saya. Hanya karena kita sering diskusi soal agama hingga politik, kemudian menjadi “sah” beliau menyebut saya ustazah.
Nama yang berat, amanahnya nggak tanggung-tanggung, bisa terkategori dunia akhirat. Tapi memang hidup ini adalah memilih bukan? Saya tidak sepakat jika ada pendapat bahwa hidup adalah pilihan, sebab kesannya kita tak punya hak pilih dan hanya pasrah dengan kehendak Sang Pencipta atau keadaan. Sungguh tak adil jika benar demikian, sebab Allah Maha Pengasih dan Penyanyang, mana mungkin otoriter?
Dari pertanyaan di atas itulah contoh nyata, bahwa hidup itu memilih bukan pilihan. Pada pilkada sebelumnya beliau sebenarnya sudah bertanya pertanyaan yang sama, namun tahun ini nyatanya beliau kembali tergoyahkan dengan beberapa mantra sesat seperti jangan golput, itu haram sebab akan menjadikan suara kita digunakan orang kafir untuk menguasai kita. Jangan golput, lebih baik kita memilih mudharat yang lebih ringan. Jangan golput, bukankah kita ingin Islam menang?
Dan masih banyak yang lain, semua tak ada landasan dalilnya. Kalimat-kalimat ini bergentayangan setiap kali pesta rakyat dalam alam demokrasi dimulai . Penghembusnya masih berkeyakinan tingkat keberhasilannya cukup tinggi, mengingat mereka yang tergoyahkan pun tak pernah berkurang. Terutama generasi milenial yang tahun ini pertama kali memiliki hak pilih.
Orang-orang tak bertanggungjawab ini memanfaatkan keinginan masyarakat yang sudah muak dengan sistem hari ini namun tak tergambar perubahan apa yang seharusnya diperjuangkan, maka yang terjadi jauh panggang dari api, yang diinginkan perubahan namun yang diterima lagi-lagi keadaan yang makin buruk. Di sinilah memilih atau pilihan berperan besar dan itu butuh kesadaran.
Sebagaimana sahabat saya di atas, akhirnya saya katakan hidup itu memang harus memilih, kitanya yang harus kuat mempertahankan idealisme yang sahih ini. Dan berusaha menyingkirkan pendapat-pendapat yang lemah , pertama, sejak kapan kita akan dikuasai kafir jika tidak memilih? Sebab ketika sudah memilih pun wakil yang kepadanya kita wakilkan akod perwakilan kita nyatanya malah mengundang kafir masuk ke seluruh pelosok negeri dalam bentuk eksplorasi, investasi, utang berbasis riba, latihan perang bersama, pembelian senjata bekas, kerjasama pasar bebas, justicial killing, sertifikasi dai, sahkan omnibus law dan lain-lainnya. Bukankah itu semua kebijakan di luar Islam dan mengarah kepada Islamopobia?
Kedua, pilihlah kemudharatan yang teringan, dalil ini telah mengalami pemelintiran luar biasa hingga keluar dari makna yang sesungguhnya. Sebab asbabul nuzulnya adalah ketika kita berada pada pilihan antara hidup dan mati ketika tak memilih sesuatu, makanan itu atau minuman itu. Misalnya jatuh dari pesawat dan terdampar di sebuah wilayah yang tak berpenghuni dan hanya ada makanan dan minuman yang diharamkan syariat namun sangat berguna untuk menyambung hidup maka syariat memberi keringanan.
Namun pernahkan kejadian jika tak memilih salah satu Paslon kemudia berakhir pada kematian? Yang ada jari kita menanggung dosa selama lima tahun sebab telah memilih melanggengkan sistem yang tak berpihak pada kaum Muslim. Sungguh, jebakan ini menyakitkan , sebab dibuat oleh sesama Muslim yang hanya melihat manfaat pribadi dalam kekuasaan yang bakal diraihnya, padahal ada yang lebih besar dari itu, yaitu azab Allah disebabkan keberpihakan mereka pada hukum selain Allah. Dan mereka sedang mengukir nama mereka sendiri dalam daftar azab itu, nauzubillah …
Kembali hidup itu memilih, bukan pilihan. Alquran telah menjelaskan dalam berbagai surat jalan bagaimana yang seharusnya kita pilih sebagai kaum mukmin. Maka yang harus kita kembalikan hari ini ketika banyak godaan adalah mengubah mindset kita terhadap apa yang dimaksud dengan pemilihan pemimpin. Dalam Islampun ada kegiatan ini, untuk tiga orang yang sedang melakukan safar saja Rasulullah memerintahkan untuk memilih pemimpin apalagi untuk sebuah wilayah yang disitu ada masyarakat.
Memilih itu mubah, yang haram adalah jika kita memilih pemimpin yang tak akan pernah menerapkan Islam Kaffah. Sebab artinya kita masih tak sesuai dengan perintah Allah dalam Quran surat Al Baqarah : 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan…,”. Secara pribadi kita sulit melaksanakan perintah itu, maka kita harus punya pemimpin yang semisi sevisi dengan kita untuk mewujudkannya. Jika tidak ada, maka apakah berdosa jika kita tidak memilih?
Bukankah itu artinya kita sedang memilih untuk hidup lebih baik sebagaimana yang Allah tetapkan untuk kaum Muslim yaitu hidup dalam keadaan khoiru umat? Wallahu a’ lam bish showab.