Oleh. Tari Ummu Hamzah
MuslimahTimes.com – Pandemi memang melahirkan situasi dan perilaku baru bagi masyarakat, tapi sayangnya perilaku korupsi tak juga berubah di negeri ini. Pandemi yang sejatinya menghantam seluruh sektor ekonomi negara, seharusnya menjadi renungan besar bagi para pejabat di negeri ini. Rakyat mengharapkan banyak strategi baru dalam perekonomian, dalam menghadapi pandemi. Setidaknya strategi yang mampu menyelamatkan rakyat dari sulitnya memenuhi kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sehingga rakyat tak lagi merasa was-was dalam situasi pandemi.
Tapi faktanya pandemi tak menjadikan pejabat negeri ini menahan diri, mereka malah melakukan aksi kejahatan korupsi, menikung sana-sini demi memperkaya diri. Sungguh miris! Di tengah situasi pandemi yang mengakibatkan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, rakyat masih terombang-ambing dalam menggantungkan hidup, berjuang mati-matian untuk menafkahi keluarga, menahan diri untuk tidak mengeluarkan anggaran sia-sia, bergelut dengan virus, ternyata harus dipaksa menelan pil pahit lagi dan lagi. Kasus korupsi di tengah pandemi seolah membuktikan bahwa pejabat negeri ini sedang merendahkan diri mereka sendiri di hadapan rakyat.
Naasnya para pejabat ini menggasak uang negara yang dialokasikan untuk dana batuan sosial, dan yang paling miris adalah korupsi ini dilakukan oleh Menteri sosial beserta rekan-rekannya di Kemensos. KPK telah menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. Diduga Juliari menerima dana sebesar Rp 17 miliar.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. (Detiknews.com)
Pengadaan dana bansos yang digelontorkan pemerintah memang tidak sedikit. Triliunan malah! Akan tetapi dana sebanyak ini rawan untuk diselewengkan. Ibarat kata “Ada gula, ada semut”. Dimana ada gelontoran dana besar, pasti diserbu pejabat korup. Tapi yang paling mudah melakukan korupsi dana bantuan sosial pastinya dari kemensos itu sendiri, karena merekalah yang bersinggungan langsung dengan dana-dana tersebut.
Inilah demokrasi, banyak celah dalam regulasi sistem ini yang mampu ditembus oleh para koruptor. Adanya celah-celah dalam demokrasi ini malah sengaja dibuat “kanal-kanal” demi mendapatkan aliran dana haram. Tak cukup sampai disitu, setelah kasus korupsi diusut, “kanal” ini tidak sepenuhnya ditutup oleh pemerintah. Pemerintah tetap saja membiarkan “kanal” tersebut. Sehingga tak ayal akan memunculkan aktor korup selanjutnya yang akan menggunakan “celah” dan “kanal” tersebut untuk melakukan korupsi.
Di samping itu, kebebasan dalam berperilaku sangat digembar-gemborkan. Perilaku ini justru melahirkan manusia-manusia yang tak berprikemanusiaan. Bebas semau hatinya. Bebas ingin membuat aturan sendiri, tak peduli apakah aturan itu akan membebankan rakyat, atau justru mengorbankan rakyat. Sungguh sejatinya demokrasi lahir dengan kecacatan di setiap sendinya.
Bertahun-tahun sejak sistem ini diterapkan di Indonesia, rakyat dipaksa untuk selalu berharap pada sistem ini. Pemilu demi pemilu diadakan, demi mencari sosok pemimpin idaman rakyat. Sayangnya bukan harapan indah yang didapat, tapi “pil pahit” mengandung racun yang diterima. Sungguh! Sistem ini tak pernah berpihak kepada rakyat.
Ribuan “Drama” di dalam sistem demokrasi jelas tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Islam yang memang sejatinya paripurna telah berhasil mengantarkan umat manusia dalam kesejahteraan dan kehidupan yang mulia selama empat belas abad lamanya. Kesejahteraan ini bisa dirasakan baik itu Muslim atau nonmuslim. Karena didalam sistem Islam jabatan bukanlah wadah untuk memperkaya diri, tetapi amanah untuk melayani rakyat sesuai dengan syariat Islam.
Para pejabat dalam Islam hanya diberi santunan dari negara. Pejabat juga tidak diperbolehkan menerima pemberian dari rakyat. Sebab dikhawatirkan ada aktivitas suap. Jadi tidak ada pejabat yang saling berlomba-lomba meraup dana rakyat, sebab begitu ketatnya aturan Islam dalam memelihara urusan umat.
Negara juga akan menempatkan pejabat sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Sebab khalifah tidak akan sembarangan menempatkan seseorang dalam memangku tugas dan amanah. Perilaku pejabat dalam Islam yang demikian, adalah akibat dari dorongan ketakwaan dan keimanan kepada Allah. Ini pula didukung dengan suasana keimanan di dalam negara Islam. Suasana keimanan dan penerapan hukum syariat Islam haruslah tegak di atas institusi sebuah negara, yaitu khilafah.
Sudah saatnya demokrasi diakhiri. Dan sudah saatnya khilafah yang dinanti. Sebab umat mendamba pemimpin yang taat, bukan pemimpin yang bermaksiat.