Oleh. Intan H.A
MuslimahTimes.com – Lara, kala netra ini menangkap sebuah kabar pembunuhan yang rasanya tak kunjung usai mewarnai ruang kebebasan penuh sesak ini. Kali ini aku dibuat terperangah, saat menyaksikan pemberitaan di sebuah stasiun televisi mengenai penemuan sesosok mayat wanita di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang jasadnya ditanam di sebuah pondasi rumah di tepi jalan. Kasus menghabisi nyawa manusia dari hari ke hari semakin tidak mampu dijamah oleh nalar. Nasib yang menimpa wanita ini sungguh miris, berawal dari kisah perselingkuhan hingga akhirnya berujung hilangnya nyawa.
“Astaghfirullah, tambah parah aja ya, pergaulan saat ini. Suami sedang mengais rezeki di negeri jiran. Eh, istrinya malah menjalin hubungan sama lelaki lain. Na’udzubillah,” ujar salah seorang kerabatku yang ikut menyaksikan berita tersebut.
Di era serba canggih seperti saat ini, kita dihadapkan dengan kondisi di mana keadaan manusia mengalami degradasi moral. Interaksi pria-wanita tanpa batas sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Mereka menganggap bahwa kebebasan berperilaku adalah hak setiap indivudu. Ini tak lain penyebabnya adalah pengadopsian budaya Barat yang masuk ke negeri-negeri kaum Muslimin.
Barat memandang bahwa hubungan antara pria dan wanita, hanya berkutat pada pemenuhan naluri jinsiyah belaka. Bilamana hal ini tidak dipenuhi, maka akan berakibat fatal yakni akan mengalami kematian. Inilah penilian mereka mengenai potensi yang ada pada diri manusia berupa gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan). Sehingga, kebebasan interaksi antara pria-wanita patutlah untuk diapresiasi. Dan ini merupakan tujuan dari adanya penciptaan naluri tersebut.
Maka, nampak jelas kita amati bagaimana pergaulan antara dua insan ini di negeri-negeri Barat sangatlah mengerikan. Mereka dengan mudahnya bergonta-ganti pasangan, merebaknya kaum gay, lesbian, atau yang semisalnya, hal ini merupakan ekspresi mereka atas penilaiannya yang salah dalam memandang gharizah nau’ yang ada pada diri manusia. Pada akhirnya, kerusakan dan kehancuran moral pun meliputi para generasi, seperti aborsi, penghilangan nyawa manusia, dan sebagainya, hal ini menjadi opsi untuk menutupi perilaku bejat yang mereka perbuat.
Inilah dampak yang ditimbulkan dari adanya ide liberalisme-sekular yang menimpa manusia. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit kaum muslimin yang terjebak dengan budaya yang bukan berasal dari Islam ini. Bahkan mereka menganggapnya sebagai suatu kemajuan di abad ini. Sehingga tak heran, kebinasaan dan kenestapaan pun meliputi mereka . Ini merupakan balasan yang ditimpakan oleh Allah untuk para pelakunya.
“Tidaklah merebak pada suatu kaum zina dan riba, melainkan mereka telah menghalalkan untuk diri mereka siksa Allah.” (HR. Abu Ya’la)
Lain halnya dengan Islam. Islam memiliki pandangannya yang khas dan aturan yang baku mengenai hubungan yang terjalin antara dua insan ini. Bahwasannya Islam memandang interaksi yang terjalin antara pria-wanita di dasari atas hubungan ta’awun (tolong-menolong). Keduanya bisa melakukan kerjasama sesuai dengan batasan syar’i yang telah ditentukan, yakni seputar pendidikan, muamalah, kegiatan belajar-mengajar, dan perihal kesehatan. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya interaksi yang terjalin antara keduanya di luar batasan syar’i, seperti pacaran, ikhtilat, dan sebagainya. Jika ditemui adanya pelanggaran, maka negara akan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku zina, sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam berupa hukuman cambuk bagi mereka yang belum menikah, dan hukum rajam bagi para pelakunya yang sudah menikah. Dengan begitu, akan mudah bagi negara dalam memberantas kasus perselingkuhan dan pergaulan bebas yang merebak di tengah-tengah masyarakat.
Inilah keindahan Islam dalam mengatur interaksi pria-wanita. Dengan adanya aturan ini, keberlangsungan hidup akan dapat terjaga. Tidak ada lagi anak yang terlahir tanpa nasab bapaknya, tidak ada lagi nyawa manusia yang dikorbankan. Sebab Islam mengatur bahwa perwujudan gahrizah nau’ adalah dalam rangka melestarikan keturunan, dan hal ini hanya dapat direalisasikan dalam ikatan pernikahan.
Jika Islam dijadikan standar dalam menilai dan mengatur kehidupan, maka tidak akan ditemui kerusakan moral yang terjadi seperti saat ini. Alhasil, hanya Islam lah satu-satunya sistem yang mampu memimpin dunia. Mengarahkan manusia menjalani hidup sebagaimana mestinya.
“Rindu ya, ketika Islam memimpin dunia. Para generasi tidak hanya tersibuki pada urusan pelampiasan nafsu belaka. Tapi, mereka akan diarahkan untuk lebih produktif dalam menghasilkan karya, seperti al-Khawarizmi, ibnu Sina, Maryam as-Trulabi, Fatima al-Fihry, dan para ilmuwan lainnya. Kapan ya, Islam tegak lagi di bumi ini?”
“Insya Allah bu, Allah akan menepati janjinya. Sekarang tinggal kita saja, mau atau tidak ikut andil dalam mewujudkannya? Semoga bisyarah Rasulullah dengan tegaknya kembali Islam di muka bumi ini tidak lama lagi,” ujarku menutup perbincangan sore itu.
“Aamiin,” sahut orang-orang disekelilingku.
Luapan harapan akan kembalinya peradaban Islam yang gemilang terpancar jelas menghiasi wajah-wajah kami.[]