Oleh. Rita Yusnita
(Pengasuh Forum Bunda Sholehah)
Muslimahtimes– Akhir 2020 dijadikan target oleh Samsat Kabupaten Sumedang untuk melakukan perubahan. Khususnya untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang nilainya mencapai 122 Miliar. Hal ini disampaikan oleh Kasi Dapen Samsat Kabupaten Sumedang, Yus Muhamad Nizar Sip MM, saat diwawancarai Sumedang Ekspres.com (10/12).
Samsat Sumedang terus berupaya menyosialisasikan dan mengimbau kepada semua kalangan dan lapisan masyarakat di Kabupaten Sumedang, untuk segera memanfaatkan program “Triple Untung Plus” yang masih berjalan. Program ini akan berakhir tanggal 23 Desember 2020. Program Triple Untung Plus ini diharapkan dapat memudahkan masyarakat pada masa pandemi saat ini. Seperti sudah dijelaskan, program ini dimulai tanggal 1 Agustus 2020 hingga 23 Desember 2020. Banyak keringanan di program ini.
Pertama, bebas pajak kendaraan BBNKB II dan tarif progresif. Kedua, adanya diskon pajak kendaraan tunggakan PKB tahun ke 5 BBNKB I. “Mudah-mudahan dengan optimalnya penerimaan PKB ini penanggulangan covid-19 di Kabupaten Sumedang bisa diatasi dan segera berakhir,” ujar Yus.
Selintas memang program di atas menguntungkan masyarakat. Memudahkan tapi dalam artian yang berbeda karena ada pembatasan waktu. Hal ini tidak lah aneh dalam sistem ekonomi kapitalis, pemasukan untuk kas negara itu hanya berasal dari pajak dan utang. Mau tidak mau rakyat harus mengikuti aturan yang sudah ditentukan oleh penguasa. Atas nama pajak, sebagian harta rakyat terkuras. Kita lihat faktanya sekarang, apa-apa dikenai pajak. Dari pajak penghasilan, pajak Bumi dan Bangunan, lalu pajak bagi para pengusaha online. Bahkan, baru-baru ini para penulis juga akan dikenai pajak atas buku yang hendak diterbitkannya.
Pajak dalam era kapitalis sangat membebani rakyat. Jauh dari manfaat, karena terbukti hasil pajak malah jadi sasaran para koruptor dan ajang kolusi mereka.
Berbeda dengan sistem Islam, pemasukan negara tidak melulu mengandalkan hasil pungutan dari rakyat ataupun utang. Saat Rasulullah Saw menjalankan roda pemerintahan, pendapatan negara diperoleh dari lima sumber. Di antaranya adalah harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai), zakat, pajak tanah (kharaj), dan pajak kepala (jizyah).
Pajak atau dharibah adalah hak negara atas harta kaum Muslim yang difardhukan atas mereka oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Tapi, pajak hanya akan dibenarkan syara jika Baitul Mal mengalami defisit harta untuk melakukan belanja negara. Sehingga, ketika Baitul Mal mengalami kekurangan dana untuk melakukan alokasi belanja negara (kecuali bagian zakat), maka negara akan menarik dharibah kepada kaum Muslim. Adapun untuk kaum non muslim, mereka tidak boleh dikenakan dharibah karena Baitul Mal mengalami defisit.
Pemungutan dharibah ini hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dalam arti, nafkah yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masih memiliki sisa. Mereka yang dipungut juga berasal dari golongan kaya menurut ketentuan syara. Besarnya pungutan diserahkan kepada Khalifah dengan memperhatikan keadilan di kalangan kaum Muslim. Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa jika Baitul Mal sudah tidak mengalami defisit, maka berakhir pula dharibah ini.
Itulah mekanisme pajak dalam Islam. Hanya diambil dari orang yang mampu saja, bukan dibebani kepada semua rakyat. Tak seperti saat ini dimana pajak dikenakan kepada semua rakyat. Tak memandang apakah ia kaya atau miskin. Sehingga rakyat semakin terbebani di tengah kesulitan hidup yang tak kunjung usai. Karenanya, kembali kepada sistem hidup yang bersumber dari wahyu Ilahi adalah sebuah kebutuhan dan kewajiban. Sistem Islam akan menjadi solusi yang tepat bagi setiap problematika negeri, tak terkecuali masalah perpajakan ini.
Wallahu’alam Bishshowab.