Oleh: Asri Supatmiati
Founder Revowriter
MuslimahTimes.com – Pemerintah Srilanka mewajibkan semua korban meninggal akibat Covid-19 untuk dikremasi. Hal itu membuat warga Muslim Srilanka protes. Mereka turun ke jalan menyampaikan petisi. Namun, 12 petisi dari masyarakat ditolak mentah-mentah.
Padahal, lembaga internasional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Uni Eropa, Amnesty International, dan badan hak asasi PBB telah berulang kali mengirim permintaan ke Kolombo untuk mempertimbangkan kembali kebijakan kremasinya.
Tidak adanya toleransi dari pemerintah berkuasa yang mayoritas didominasi etnis Sinhale beragama Budha-Hindu terhadap keyakinan Muslim, dikhawatirkan memperpanjang konflik berbau SARA di sana yang sudah meletus sejak 1983 dan baru reda 2009. Awal tahun 2019 bahkan meletus lagi kerusuhan dan kini dipicu kebijakan kremasi.
Bagi Muslim, kremasi jelas melanggar syariat. Islam melarang untuk menyakiti jenazah karena begitu meninggal dunia, jasad itu kembali kepada pemiliknya, yaitu Allah. Harus diperlakukan secara terhormat dan tidak disakiti.
Muslim yang meninggal karena wabah virus Corona cukup dilakukan upacara pemakaman sesuai protokol Covid-19. Mereka tetap dimandikan, dikafani dan disalati sesuai ketentuan menangani jenazah. Tentunya oleh pihak yang berkompeten dalam menangani jenazah Covid-19.
Namun, kejadian belum lama ini, seorang bayi 20 hari yang dinyatakan positif Covid dikremasi tanpa persetujuan keluarganya. Hal itu menimbulkan kemarahan masyarakat. Tak hanya Muslim, juga warga Kristen yang turut protes dengan kebijakan kremasi.
Demikianlah nasib Muslim Srilanka yang minoritas. Sejak perang antaretnis 1983 masih mendapatkan berbagai diskriminasi. Hal ini karena populasi mereka yang minoritas. Negara multietnis itu seolah tak henti dilanda konflik.
Etnis Sinhalese merupakan kelompok mayoritas asli dengan proporsi sekitar 75 persen dari keseluruhan populasi di Sri Lanka. Sedangkan Muslim kurang lebih hanya 10 persen. Islam masuk dibawa para pedagang Arab pada abad ke 8 Masehi dan berkembang hingga sekarang.
Sayangnya, Muslim minoritas terus mendapat perlakuan tidak adil. Sejak konflik meletus kembali 2019 lalu, telah terjadi perusakan masjid, pelecehan Muslimah berhijab, pelarangan niqab, seruan boikot bisnis Muslim hingga penangkapan ratusan Muslim sewenang-wenang.
Di tengah kesibukan dunia menghadapi pandemi, umat Muslim dunia seharusnya tidak lupa untuk mengarahkan pandangannya ke Sri Lanka. Beberapa negeri Muslim sudah menyuarakan agar Sri Lanka mencabut aturan kremasi, Misalnya Malaysia.
Semoga penguasa Indonesia sebagai representasi populasi Muslim terbesar dunia tidak lupa untuk melakukan tuntutan yang sama. Tunjukkan empati dan pembelaan terhadap saudara Muslim di Sri Lanka.
Namun, mustahil mengharapkan perhatian dunia Islam yang kini terkerat-kerat menjadi kepingan negeri-negeri kecil. Paling-paling hanya berupa seruan empati tetapi tak disertai aksi. Muslim Sri Lanka tetap tak berdaya berjuang sendiri melepaskan diri dari diskriminasi.
Demikianlah ketika Islam tidak memiliki kekuatan global. Tak ada pelindung bagi Muslim minoritas di berbagai negara. Tak bisa tanpa wadah institusi negara besar seperti yang seharusnya ditegakkan. Berbeda ketika negeri-negeri Islam bersatu dan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Negara adidaya yang memimpin secara global. Negara inilah yang bertindak sebagai junnah atau perisai yang akan melindungi hak-hak Muslim di seluruh dunia.