Oleh. Sri Astuti Am.Keb (Aktivis Muslimah Peduli Negeri)
MuslimahTimes.com- “Karena wanita ingin dimengerti,” begitulah penggalan lirik sebuah lagu dari grup musik ternama di Indonesia. Mirisnya di tengah berbagai gejolak persoalan di negeri ini, kehidupan perempuan belum mampu dimengerti dengan baik. Hal tersebut tentu menjadi salah satu persoalan yang juga tak lepas dari perhatian masyarakat umum. Bahkan tak jarang perempuan menjadi korban tindak kejahatan kriminalitas, baik itu kejahatan kekerasan secara seksual, fisik, maupun psikis.
Dilansir dari, Detikcom, (16/1/2021), melalui Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menyatakan apresiasi terhadap DPR RI atas penetapan RUU P-KS dalam Prolegnas Prioritas 2021, setelah mengalami penundaan selama 8 tahun.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), selama pandemi Covid-19 jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 892. Data tersebut setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang tahun 2019. (katadata.co.id, 21/1/2021).
Apa yang Salah?
Jika dicermati dengan saksama, persoalan kekerasaan terhadap perempuan merupakan cerminan cara pandang kehidupan masyarakat dan negara yang berorientasi pada kebebasan. Kebebasan dijadikan asas dalam bertingkah laku dan membuat aturan. Cara pandang tersebutlah yang merupakan akar permasalahan mengapa tindakan kekerasaan terus meningkat.
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia senantiasa merujuk pada kebijakan yang bersumber pada lembaga resmi internasional, yaitu PBB. Pada tahun 1979, PBB, melalui Majelis Umum menetapkan Convention of Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) bertujuan untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Dengan demikian, secara tidak langsung RUU P-KS merupakan program Barat untuk semakin menguatkan pengaruhnya pada negeri Muslim, termasuk Indonesia sebagai negera dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Menjadi hal yang berbahaya ketika suatu negara mengadopsi pemikiran bahkan aturan yang mengusung kebebasan, yang selama ini identik dengan kapitalisme yang bersumber dari Barat.
Mereka membuat aturan berdasarkan kepentingan bukan pada solusi tuntas untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia. Akan tetapi pada faktanya justru makin menambah masalah baru. Karena aturan yang dibuat telah jauh dari fitrah manusia, yaitu menjauhkan aturan agama yang bersumber dari Sang Pencipta kehidupan, manusia, dan alam semesta. Serta menjauhkan umat Islam dari aturan syariat merupakan sasaran utama kepentingan Barat, agar eksistensinya dalam menguasai negeri jajahannya dengan berbagai produk kebijakan dan pemikiran Barat.
Bukan hanya dari sisi aturan atau sistem kenegaraannya saja yang menjadi sebab kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, namun juga dari sistem pergaulan yang tidak sehat serta sanksi hukum dalam sistem kapitalisme yang tidak memberikan ketegasan.
Oleh sebab itu, berharap kekerasaan terhadap perempuan dapat diatasi dalam sistem kapitalisme dan cara pandang hidup yang penuh kebebasan adalah hal yang tidak mungkin. Kita harus membuang jauh pemikiran dan aturan Barat, lalu beralih pada pemikiran dan peraturan yang sesuai dengan fitrah manusia yaitu Islam.
//Islam Solusi Tuntas//
Dalam Islam, kekerasan terhadap perempuan atau bisa disebut kejahatan seksual tidak bisa memandang dari sisi fakta tunggal, tetapi harus dilihat secara menyeluruh. Ada dua faktor baik itu secara internal maupun eksternal. Secara internal, faktornya bisa karena lemahnya pondasi agama, khususnya ketakwaan kepada Allah Swt. sehingga keterikatan terhadap hukum syariat pun tak terwujud. Kemudian ditambah dengan faktor dari luar yang sangat kuat, baik pergaulan, lingkungan masyarakat, hiburan berupa tontonan, maupun sistem yang rusak.
Kaitan antara faktor internal dengan faktor eksternal merupakan satu kesatuan yang harus diatasi secara bersamaan, adapun beberapa hal yang memengaruhi antara lain:
Pertama, pergaulan sehat. Islam memandang kehidupan laki-laki dan perempuan haruslah terpisah. Laki-laki dan perempuam memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dalam syariat Islam, yang membedakan adalah dari fitrahnya. Sebagai seorang perempuan, memiliki kewajiban untuk menutup aurat dalam kehidupan umum. Tak sekadar menutup aurat tetapi juga diharamkan untuk berdandan (tabarruj), baik dengan parfum yang berlebihan, bentuk lekuk tubuh maupun yang lainnya. Laki-laki dan perempuan juga diperintahkan dalam Islam untuk menundukan pandangannya.
Dengan begitu, dapat dipastikan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan secara individu, masyarakat dan negara benar-benar sehat, hal itu tidak akan memicu tindakan kriminal. Tak hanya itu, akan tercipta juga kehidupan yang berlandaskan amar ma’ruf nahi mungkar, menyebarkan dakwah Islam keseluruh dunia. Sehingga masyarakat hanya akan disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat bukan pada hal-hal yang membawa kemaksiatan dan kesia-siaan.
Kedua, sanksi yang tegas. Karakter khusus sistem sanksi hukum dalam Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Adapun hukum ditegakan berdasarkan kadar pelanggarannya.
Kedua hal di atas harus memiliki institusi resmi dalam menerapkan semua aturan yang berasal dari syariat Islam. Sebagaimana Imam al-Ghazali berkata: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi, pasti runtuh. Sedangkan sesuatu tanpa kekuasaan, pasti hilang.”
Maka, mengembalikan sistem Islam dalam sebuah negara adalah kebaikan dan kewajiban bagi kaum Muslimin. Dengan begitu, persoalan kekerasaan terhadap perempuan dapat teratasi dengan tuntas. Karena hukum yang berlaku adalah bersumber dari Allah Swt. sehingga kemuliaan dan kehormatan perempuan senantiasa terjaga.