Oleh: Sari (Tulungagung)
MuslimahTimes.com – Di masa pandemi akibat corona ini, seharusnya yang dievaluasi di bidang pendidikan adalah apakah peserta didik menguasai pelajaran yang diberikan secara daring, khususnya anak-anak SMK yang fokus lulusannya mempunyai keahlian dan siap kerja. Sudah setahun lebih mereka belajar daring, otomatis jam belajar praktik mereka di lapangan berkurang, apa jadinya? Harusnya permasalahan-permasalahan itu yang perlu penanganan lebih lanjut. Tapi nyatanya justru yang diurus oleh pemerintah adalah masalah seragam.
Kejadian beberapa waktu lalu yang viral tentang aksi protes siswa terkait seragam di sekolahnya berbuntut panjang. Bahkan sampai menteri, Pemda setempat, anggota DPR, dan Komnas HAM ikut memberikan komentar. Dan alhasil pemerintah mengeluarkan aturan terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
SKB 3 menteri itu menyatakan bahwa Pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Menag menyebutkan, lahirnya SKB 3 Menteri ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Ia mengatakan, SKB 3 Menteri bukan memaksakan agar sama, tetapi masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik. (kompas.com, 05/0202021).
Pernyataan ini jelas tidaklah tepat adanya. Islam dengan seperangkat syariat yang wajib kita laksanakan tidak membutuhkan simbol. Hijab yang dipersoalkan bukanlah simbol semata, tapi ini adalah bentuk ketundukan seorang muslimah kepada Rabbnya, bentuk ketaatan akan perintah Allah untuk menutup auratnya.
SKB ini pada akhirnya menimbulkan polemik, termasuk dari Ketua MUI Pusat, Dr. Cholil Nafis yang juga memberikan pandangannya. Ia melihat SKB tiga menteri itu wajib ditinjau ulang atau dicabut karena tak mencerminkan lagi adanya proses pendidikan. “Kalau pendidikan tak boleh melarang dan tak boleh mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, ini tak lagi mencerminkan pendidikan. Memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB 3 menteri itu ditinjau kembali atau dicabut,” kata Cholil di akun twitternya. Ia pun menambahkan agar jangan melarang ketika guru agama Islam mewajibkan jilbab kepada murid muslimahnya karena itu kewajiban dari Allah.(hidayatullah.com, 06/02/2021).
Tak bisa dipungkiri, pembentukan karakter seorang anak selalu dimulai dari pembiasaan yang diajarkan sehingga memunculkan kesadaran. Jika dari pihak sekolah memberikan aturan untuk berjilbab bagi siswa perempuan muslim tentu akan berdampak positif untuk siswa itu sendiri dan lingkungan sekitar. Mengingat kasus pergaulan bebas remaja dan pelecehan seksual yang makin meningkat, menutup aurat yang sudah menjadi kewajiban adalah solusi. Selain itu siswa laki-laki pun akan lebih terjaga pandangannya.
Selain itu SKB 3 Menteri ini justru bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk mencipta insan bertakwa, karena berdalih pemakaiann seragam dan atribut adalah hak setiap siswa. Alih-alih mendidik menaati agama, malah mendorong kebebasan berperilaku. Tidak heran memang, karena sistem pendidikan yang diterapkan berkiblat pada kapitalis yang senantiasa menggiring pendidikan ke arah sekuler liberal, sehingga dunia pendidikan dijauhkan dari agama. Hal ini bisa menimbulkan kepribadian ganda pada siswa dan karakter yang terbentuk pada siswa pun akan jauh pula dari agama.
Sebagai contoh dalam prinsip ekonomi selalu ditanamkan, “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya” Jelas ini bertentangan dengan prinsip ekonomi dalam Islam dimana standar yang digunakan adalah halal haram. Begitu juga pada mata pelajaran biologi menyangkut asal muasal manusia hasil dari proses evolusi juga bertentangan dengan penciptaan Adam sebagai manusia yang pertama di dunia. Ini masih sebagian contoh kecil tapi efeknya bisa luar biasa karena bisa menimbulkan bentrokan antara akidah dan tsaqofah yang tidak berlandaskan pada Islam, sehingga apa yang ditampilkan berbeda dengan yang diyakini.
Lebih dari itu, dengan terbitnya SKB 3 menteri ini siswa muslim di daerah minoritas justru akan terus dirugikan karena SKB ini tidak mungkin menghapus regulasi daerah yang melarang memakai identitas agama. Jadi, harapan adanya kebebasan berjilbab bagi siswi muslimah Bali dan lain-lain tidak terwujud melalui SKB ini. Anehnya, kasus yang seperti ini jauh dari pemberitaan. Tapi begitu satu siswa nonmuslim yang melakukan aksi protes, seketika semua bersuara. Ini semakin menegaskan syariah fobia rezim sekuler semakin nyata adanya.
Sedangkan permasalahan seragam, bukankah lebih baik dipaksa masuk surga dari pada dengan ikhlas masuk neraka? Di sinilah peran penguasa seharusnya ada. Sudah seharusnya kewajiban menutup aurat dijadikan aturan justru tidak hanya di sekolah tapi dalam aturan negara. Jadi negara tidak hanya memikirkan keselamatan rakyatnya di dunia tapi juga di akhirat.
Keyakinan akan akhirat tertancap betul, menjadi perhatian dan akan memengaruhi kebijakan negara demi kebaikan rakyat dan demi tanggung jawab penguasa di hadapan Allah terkait pemeliharaan terhadap rakyatnya. Maka, mewajibkan hijab sebagai penutup aurat bagi seorang muslimah akan menjadi kebijakan sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih sayang sekaligus sebagai refleksi nyata dari keimanan terhadap akidah dan syariah dalam kehidupan publik.
Bukankah sangat indah Islam memuliakan wanita sehingga seluruh muslimah menutup auratnya dan wanita nonmuslim akan tetap terjaga, sedangkan para lelakinya senantiasa terjaga pandangannya, semua di bawah penjagaan negara.