Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
Muslimahtimes– “Semua wanita Muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih,” tulis Aisha Weddings di sebuah laman.
Sontak hal itu membuat semua pihak geram, karena dianggap promosi nikah di usia dini yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 tahun 2016. Usia 12 tahun menjadi sorotan. Seolah-olah agama Islam adalah provokator nikah bocah.
Faktanya, jauh sebelum heboh Aisha Weddings, pernikahan usia anak-anak memang masih marak. Seperti di Jawa Tengah. Satu dari 10 anak di provinsi ini menikah usia anak-anak. Jumlah ini berarti 10 persen dari populasi anak-anak di Jateng. Data BPS 2019 menyebutkan, dari 34,7 juta penduduk Jateng sepertiganya adalah anak-anak (Detik, 19/11/20).
Usia anak di sini yang dimaksud adalah di bawah 19 tahun versi UU Perkawinan atau di bawah usia 18 tahun versi UU Perlindungan anak. Artinya, jika ada anak perempuan atau laki-laki yang menikah di bawah usia 18 maka dikategorikan nikah anak. Meskipun faktanya, ada juga yang ketika menikah sudah tidak pantas disebut anak-anak. Misal usia 17, 18 atau 19.
Tetapi, tulisan ini menyorot pernikahan usia anak, misal di bawah 15 tahun yang mestinya tidak cukup kuat alasan untuk buru-buru menikah. Sebab mereka masih usia sekolah. Namun, penerapan sistem sekuler kapitalis telah menciptakan lingkaran setan yang menjebak anak-anak dalam pusaran masalah. Hak-hak anak di usia pelajar terabaikan. Andai punya pilihan, mereka pasti memilih untuk menunda menikah hingga usia lebih matang.
Faktor Pemicu
Ada faktor pemicu nikah, antara lain ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya, pendidikan, dan gaya hidup. Penerapan sistem sekuler kapitalis yang tidak adil dalam distribusi kekayaan, telah menciptakan jurang kemiskinan yang lebar antara si miskin dan si kaya. Mata rantai kemiskinan ini, diharapkan putus dengan jalur pernikahan.
Tak heran jika di zaman modern, ternyata masih banyak anak-anak yang dinikahkan karena motif ekonomi. Kuat dugaan adanya traficking atau perdagangan manusia pada kasus-kasus pernikahan anak. Misal karena orangtua miskin, sehingga anak “dijual” untuk meningkatkan kesejahteraan. Menikahkan dengan orang kaya karena motif harta.
Contohnya Ratna (nama samaran) di Kabupaten Rembang. Gadis 14 tahun dari keluarga miskin itu hendak dinikahkan dengan juragan kapal dengan mahar Rp150 juta. Ketika diinterogasi, ternyata ia belum mau menikah dan masih ingin sekolah. Rencana pernikahan pun dibatalkan.
“Sekarang ia duduk di kelas 11 di Madrasah Aliyah. Dia tinggal di pesantren. Biaya sekolah dan di pesantren ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Bahkan para donatur pun ada yang sanggup membiayai,” ujar Abdul Baastid, salah satu pendamping di Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Rembang yang menelusuri dugaan traficking tersebut.
Oleh karena itu, jika ingin memutus mata rantai nikah anak, berantas dulu kemiskinan. Karena kemiskinan inilah hak anak-anak akan kesejahteraan diri dan pendidikan terabaikan. Masih banyak Ratna-ranta lain di luar sana yang terpaksa menanggung konsekuensi menikah usia bocah hanya untuk melepaskan diri dari beban ekonomi yang memberatkan orangtuanya.
Sementara itu, rendahnya taraf pendidikan juga memicu maraknya nikah anak. Di zaman modern ini, masih ada lapisan masyarakat yang kurang mementingkan pendidikan. Apalagi pendidikan untuk anak perempuan. Anak-anak putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi mau apalagi kalau tidak lantas menikah. Padahal, semakin tinggi taraf pemikiran seseorang, ia akan semakin banyak wawasan dan ilmu, sehingga memiliki sudut pandang kehidupan yang lebih luas. Ia akan berpikir untuk mencapai cita-cita dulu, tanpa buru-buru memikirkan nikah. Ingin berkontribusi untuk umat dan menikah pada saat yang tepat.
Karena itu, berikan hak pendidikan kepada anak-anak setinggi mungkin. Pendidikan yang baik juga akan memutus mata rantai kemiskinan, sehingga anak-anak tidak perlu “dijual” untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Ia akan mampu menciptakan kehidupan yang lebih layak dengan sendirinya.
Pendidikan yang baik, juga mencegah anak-anak terjerumus dalam pergaulan bebas yang menyebabkan hamil di luar nikah. Ia tidak akan menistakan diri dalam kegiatan yang sia-sia, seperti mengakses tayangan-tayangan porno yang membahayakan di usianya yang masih belia. Terutama pendidikan agama yang mengajarkan rasa takut pada Sang Pencipta.
Sudah bukan rahasia lagi, sebagian pernikahan anak terjadi karena didahului hamil di luar nikah. Akibatnya, dorongan menikah kebanyakan anak-anak sekarang adalah karena motif biologis. Gaya hidup liberal memicu anak-anak ini pacaran hingga zina. Ditambah informasi masif tentang hal-hal berbau seksual dan kepornoan, membangkitkan syahwat anak-anak hingga terjerumus dalam pelampiasan yang salah.
Jadi, maraknya pernikahan anak bukan dilandasi oleh provokasi agama (baca: Islam). Sebaliknya, mereka menikah justru karena jauhnya dari tuntunan agama. Anak-anak yang dididik dengan agama yang kuat dalam keluarganya, tidak mudah terpapar provokasi hal-hal berbau syahwat. Mereka dididik dan disiapkan sebagai generasi calon pemimpin bangsa.
Tegakkan Sistem Islam
Jangan salahkan agama jika nikah anak marak, tapi salahkanlah ideologi sekuler kapitalis liberal. Sistem sekulerlah yang bertanggungjawab atas hal ini. Gaya hidup yang diterapkan sistem ini hanya didominasi perbincangan dan pergaulan berbau syahwat, termasuk di kalangan anak-anak. Sistem ini juga gagal memberikan hak-hak anak hingga mereka terjerumus nikah anak.
Islam memang tidak membatasi usia pernikahan, selama sudah baligh dan siap mental. Namun bukan alasan untuk promosi nikah anak. Provokasi nikah anak di alam sekuler, sama saja menjerumuskan anak-anak dalam masalah. Sebab, rumah tangga yang dibangun di sistem sekuler akan berhadapan dengan banyak masalah. Mulai kesulitan ekonomi, ketidak-harmonisan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Tak ayal jika perceraian tinggi. Usia belasan tahun, sudah kawin cerai beberapa kali.
Islam menyiapkan anak-anak menikah pada usia yang tepat dengan motif yang benar dan cara yang sehat sesuai syariat. Anak-anak tidak mudah terprovokasi menikah jika pondasi aqidah ditanamkan secara kuat sejak dini. Mereka ditanamkan tentang konsep dasar penciptaannya, tujuan hidup di dunia dan bagaimana konsekuensinya setelah mati. Paham konsep amal dan keterikatan terhadap hukum syara.
Anak-anak dipahamkan tentang visi besar penciptaannya untuk membela agama dan menjadi manusia yang berguna untuk umat. Pendidikan Islam yang baik dan benar, mengarahkan mereka pada visi keumatan. Masa anak-anak akan diliputi dengan semangat belajar dan berkarya untuk mencapai cita-cita besarnya. Tidak mudah terseret arus liberalisme yang dikepung gelegak syahwat.
Namun, semua ini hanya bisa terwujud jika sistem hidup sekuler diganti dengan sistem Islam. Anak-anak yang hidup dalam naungan peradaban Islam akan mendapatkan hak-haknya dalam pendidikan. Mereka tidak lagi sempat memikirkan hal-hal berbau syahwat. Mereka sibuk bergaul dengan Alquran. Asyik mengkaji Islam. Mendalami ilmu. Menempa diri menjadi pemuda-pemudi tangguh yang merupakan calon pemimpin dan pembela agama. Angka-angka nikah anak yang mencemaskan berbagai pihak akan turun dengan sendirinya. Karena itu, mustahil mencegah nikah anak jika sistem sekuler masih dipertahankan.(*)