Oleh: Maya
Pembangunan besar-besaran dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi. Seiring dengan itu, ragam kebijakan barupun dikeluarkan menyusul rencana reformasi sosial dan ekonomi melalui ‘Vision 2030’. Program yang digagas oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman ini merupakan wujud nyata dari keseriusan Saudi agar masuk dalam kelompok 15 negara dengan perekonomian terbesar dunia melalui diversifikasi ekonomi non minyak bumi.
Program ‘Vision 2030’ ini memfokuskan diri pada sektor hiburan dan industri pariwisata. Sehingga tidak heran jika bulan April lalu, Raja Salman meresmikan pembangunan taman hiburan raksasa di Qiddiya, dekat dengan Riyadh. Proyek seluas 334 km persegi tersebut diyakini dapat menyaingi taman hiburan Walt Disney (Kompas 29/4). Pintu bagi turispun akan dibuka lebar. Padahal sebelumnya, visa terlarang bagi pengunjung untuk alasan apapun. Termasuk bekerja dan berkunjung ke tanah suci. (Tempo 4/1)
Di samping itu, kehadiran bioskop kini juga bisa dinikmati kembali oleh warga Saudi setelah 35 tahun pelarangannya diberlakukan oleh pemerintah. Kebijakan ini kemudian dipandang sebagai peluang besar oleh jaringan internasional dengan pasar film bernilai US$ 1 miliar.
Seolah belum cukup, Vision 2030 nantinya juga akan menyasar perempuan dalam meningkatkan perekonomian. Dimana persentase keterlibatan mereka di dunia kerja yang semula hanya 22% menjadi 30%. Untuk menunjang keberhasilan kebijakan ini, mulai Juni mendatang perempuan dibebaskan mengemudi sendiri. Mereka pun diijinkan untuk menonton pertandingan olahraga di tiga stadion besar Saudi.
Pertanyaannya, apakah kebijakan-kebijakan baru atas nama modernisasi visi 2030 ini bisa membawa kemaslahatan bagi dunia Islam dan kaum Muslimin? Tentu saja tidak. Sebaliknya, fenomena ini justru semakin memperlihatkan keberhasilan ghazwul fikr (perang pemikiran) yang disodorkan Barat untuk melemahkan negeri-negeri muslim secara umum. Termasuk Indonesia. Perang tak kasat mata namun berbahaya inilah yang akhirnya menjadi pelumas massifnya sekulerisme. Sebuah virus yang akan membimbing mata senantiasa condong pada peluang-peluang duniawi.
Lihat saja arah kebijakan yang diberlakukan. Rata-rata orientasinya hanya berpusat di nominal pemasukan dan mengabaikan kemungkinan tergerusnya aqidah individu oleh arus kebebasan. Wabilkhusus kaum perempuan, tuntutan keterlibatan mereka di sektor publik harus dibayar mahal dengan hilangnya rasa aman, rusaknya tatanan masyarakat serta sosial.
Dari segi perekonomianpun sama. Sekulerisme membiarkan terjadinya privatisasi BUMN untuk kepentingan pribadi. Sehingga, segala pelayanan dan fasilitas yang mestinya bisa didapat secara cuma-cuma atau dengan biaya rendah, akan beralih fungsi sebagai layanan komersil yang diperjualbelikan dengan harga sesuka mereka..
Sejatinya, kemajuan suatu peradaban Islam tidak akan terwujud dengan mengadopsi nilai-nilai Barat. Barat hanya menawarkan peradaban duniawi yang bersifat fisik semata. Di balik bangunan megah dan sains teknologi yang mewabah, sejatinya Barat tengah menabur benih-benih kehancuran akibat keringnya jiwa dari keimanan.
Sehingga, merupakan kesalahan besar dan kemunduran berpikir apabila negeri, kelompok atau individu masyarakat masih mengekor hukum asing untuk membangun peradaban Islam yang mulia. Karena, agamanya sendiri sudah begitu sempurna mengatur segala urusan manusia. Bukti penerapannya telah tercatat oleh sejarah dunia. 13 abad lamanya Islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Menghasilkan kemajuan peradaban yang tidak hanya memuliakan manusia di dunia, tapi juga akhirat. Peradaban seperti inilah yang harus kita wujudkan. Peradaban yang berasas pada syariat Islam. Wallahu’alam.