Oleh. Salma Shakila
Muslimahtimes.com – Beberapa tahun terakhir kita dihadapkan pada opini perempuan bekerja seolah lebih tinggi statusnya daripada ibu rumah tangga. Bahkan stigmasi negatif atas seorang ibu rumah tangga terdengar cukup keras. Labelnya ‘hanya ibu rumah tangga’.
Astagfirullah. Apa yang salah ketika ia menjadi ibu rumah tangga yang tidak bekerja? Apakah dengan tidak bekerja lantas perempuan tidak berharga? Padahal bukankah jika peran ibu dalam tataran domestik ini dilakukan secara optimal maka ini akan berpengaruh baik terhadap ketahanan keluarga?
Begitupun dengan standar wanita yang bekerja. Semakin tinggi penghasilan, maka semakin tinggi juga status sosialnya. Tak masalah antara lama atau tidaknya waktu bekerjanya. Ada banyak perempuan yang harus bekerja dengan melalui 3 shift. Atau bahkan bekerja perhari lebih dari 12 jam. Juga tak masalah jika harus meninggalkan keluarga demi merantau ke negeri orang selama bertahun-tahun, yang penting kiriman untuk keluarga lancar. Ada apa ini?
Lantas, jika demikian lamanya waktu dibutuhkan untuk bekerja bagaimana dengan keluarga terutama anak-anak? Ada anggapan, yang penting kan ‘quality time’. Lantas apa tak penting ‘quantity time’? Eh, sudahlah dia berlama-lama meninggalkan keluarga karena bekerja, perempuan ini juga menuntut ada ‘me time’ agar tidak stress karena bekerja. Jadilah antara ibu dan anak seolah terbentuk jarak.
====
Belum lagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa permasalahan tidak hanya terkait panjangnya durasi bekerja yang menyebabkan perempuan lebih banyak di luar rumah dan mengurangi porsinya ketika di dalam rumah. Bahkan lebih parahnya mengabaikan urusan domestik yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga.
Bukankah kita pernah tahu, ada artis yang terpaksa tampil di panggung untuk menyanyi padahal suaminya baru saja meninggal karena serangan jantung yang mendadak? Dia dipaksa tetap tampil karena terikat dengan kontrak. Kemudian banjir dukungan pun datang, meminta artis ini untuk kuat dan tetap tersenyum di panggung walau hatinya perih dan dadanya sesak karena masih berduka atas kematian suaminya yang mendadak. Dukungan macam apa ini? Jelasnya dukungan demi kapitalisme.
Kemudian ada juga artis yang walau sakit tetap dipaksa untuk berakting, sampai-sampai dalam satu scene tangan sang artis terlihat masih menggunakan perban bekas infus. Kemudian karena beban bekerja yang terlalu berat, akhirnya si artis tumbang juga. Dia jatuh sakit dan tak bisa syuting. Alur cerita pun diubah. Ya hanya karena artisnya sakit dan tak bisa menjalani syuting. Tapi sakitnya artis ini tetap dieksploitasi. Dia tetap harus bermake up tebal serta senyum di hadapan kamera. Dan live menyiarkan keadaannya pada para netizen. Untuk apa? Walau sakit dan tak bisa syuting, itu tetap bentuk dukungan untuk menaikkan ratting sinetron yang dia bintangi. Lihatlah, sakit pun tetap dieksploitasi.
Itu belum fakta para perempuan yang harus bekerja berat dalam durasi waktu yang panjang tapi upah mereka sangat rendah. Dan hati mereka juga tak tenang karena mereka terikat dengan kontrak kerja yang pendek seperti buruh-buruh pabrik. Jumlah perempuan yang seperti ini sangatlah banyak.
====
Alih-alih memberdayakan perempuan agar levelnya menjadi tinggi dan bisa setara dengan peran laki-laki dalam kehidupan yang terjadi malah eksploitasi perempuan demi menaikkan PDB negara dan dunia secara global. Perempuan menjadi objek yang disasar untuk ikut menggerakkan perekonomian negara.
Dalam sistem kapitalisme, perempuan ditempatkan sebagai aset ekonomi sehingga mereka dipaksa menjadi tulang punggung keluarga bahkan negara. Perempuan diberdayakan dengan diarahkan untuk bekerja agar bisa mandiri secara ekonomi. Aktivitas bekerja yang sesungguhnya mubah atau boleh-boleh saja bagi perempuan, berubah menjadi wajib karena perempuan harus menghidupi dirinya sendiri maupun keluarganya, atau orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Dalam sistem kapitalisme, perempuan dianggap aset yang dinilai secara materi. Lihat saja, banyak sekali iklan yang mengeksploitasi perempuan walaupun barang yang diiklankan tidak ada kaitannya dengan perempuan. Perempuan dieksploitasi baik tubuhnya maupun tenaganya. Mereka dilibatkan untuk menggerakkan roda-roda ekonomi sehingga bisa menaikkan pendapatan negara. Tentu saja ini sangat menggiurkan bagi para kapitalis, para pemilik bank, para pemilik lembaga keuangan, para pemilik pabrik, dan para pemilik usaha. Terlibatnya perempuan akan sangat menguntungkan mereka.
====
Dalam Islam muslimah tak butuh ide-ide pemberdayaan perempuan seperti itu. Sistem Islam telah memiliki berbagai mekanisme untuk menjamin nafkah perempuan. Mulai dari nafkah dari walinya, santunan negara, sedekah, dan zakat bagi perempuan yang tidak mampu. Islam memiliki sistem ekonomi yang handal. Dengan itu, Khalifah mampu menjamin nafkah perempuan tanpa mengharuskan perempuan bekerja. Hukum bekerja boleh-boleh saja. Jika perempuan bekerja maka ia akan mendapat upah yang layak. Sama halnya dengan laki-laki.
Lebih dari itu, dalam Islam perempuan dijamin untuk hidup sejahtera tanpa perlu jargon kesetaraan. Meski Khalifah adalah seorang laki-laki, Islam mengharuskan dia memperhatikan kebutuhan perempuan sebagaimana kebutuhan laki-laki. Pasalnya keduanya mempunyai kedudukan yang sama sebagai rakyat.
Selain itu, Islam melindungi hak-hak perempuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum syariah Islam. Islam juga akan menjamin perlindungan perempuan tanpa harus mendudukkan mereka sebagai pemimpin dalam kekuasaan.