Oleh: Difira Auliyandani, SEI
#MuslimahTimes.com — Imam Besar/Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Fokus program ini adalah kajian kesetaraan gender dalam perspektif ajaran Islam. Disebutkan oleh Nasaruddin Umar bahwasanya Istiqlal berambisi mencetak ulama-ulama baru yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun berharap akan terwujud pmberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan basis masjid. Menteri PPPA berharap Masjid Istiqlal meluncurkan program untuk merubah cara pikir dan cara pandang masyarakat agar ramah dan responsif terhadap perempuan dan anak.
Dan salah satu poin ruang lingkup Nota Kesepahaman ini adalah peningkatan kualitas dan kuantitas ulama yang responsif gender dan peduli hak anak, khususnya kader ulama perempuan yang menguasai keilmuan Islam berbasis gender melalui pemahaman Islam yang moderat.
Dari wacana program ini kita bisa melihat bahwasanya ada penyudutan Islam sebagai agama yang tidak berpihak pada perempuan. Lagi-lagi nampak kriminalisasi terhadap ajaran Islam.
Bahaya Wacana Ulama Wanita Untuk Penghapusan Bias Gender
Program ini memang senada dengan program imperialisme barat yang sedang terus dijalankan di hampir semua dunia Islam. Sebagaimana diketahui, PBB telah meluncurkan General Recommendation 30 CEDAW yang menekankan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender akibat berbagai macam konflik, termasuk dalam konflik terorisme. Indonesia turut menandatangani pada 1980 dan meratifikasinya pada 1987 melalui UU 7/1984. Maka program pendidikan ulama perempuan untuk penghapusan bias gender adalah salah satu program turunannya. Kaderisasi ulama perempuan dalam lingkup ini akan menciptakan rujukan bagi publik untuk memperkuat moderasi dan sekularisme.
Jika melihat pada ajaran dan peradaban Islam sesungguhnya, maka kita akan menemukan bahwasanya dunia Islam tidak pernah mengalami hal-hal yang selama ini diperjuangkan atas nama kesetaraan gender. Karena tidak ada dalam sejarah Islam posisi perempuan yang dimarjinalkan atau didiskriminasi.
Penderasan paham gender ini justru akan menjauhkan Islam dari hakikat sejatinya sebagai ajaran yang kaffah. Umat muslim tidak seharusnya ikut dikte dari pejuang gender ala sekularis. Islam punya aturan sendiri yang sudah sempurna dan terbukti mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat.
Bagaimana Ulama Berkontribusi Pada Perbaikan Kualitas Keluarga
Islam telah memberikan posisi yang terbaik bagi wanita yang tidak pernah dikenal pada peradaban lain. Islam memandang wanita bukan sebagai produk atau benda namun Islam menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga.
Ulama dan penguasa memiliki peran sentral dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis pada keluarga. Ulama perempuan berposisi penting dalam penyadaran umat terkait hukum-hukum Islam yang sempurna termasuk di dalamnya hukum terkait keluarga di ranah domestik dan politik keseluruhan secara umum.
Ulama perempuan harus aktif membongkar kerusakan program dan ide-ide Barat dan bukan malah mengikut arus yang dibuat oleh musuh Islam. Peran amar ma’ruf nahi mungkar merupakan aktivitas yang tidak boleh terpisah dari para ulama baik ulama perempuan maupun laki-laki.
Jangan sampai umat dibodohi karena ulama mengobok-obok hukum Islam agar sesuai dengan moderasi ala Barat. Karena masalah yang menimpa perempuan dan anak-anak sejatinya tidak terlepas dari diabaikannya syariat Islam. Tentunya nasib perempuan dan anak-anak tidak terlepas dari konsep politik yang dipakai dan ideologi yang mendasarinya. Selama sekularisme yang dianut maka hukum Islam tidak akan bisa sempurna diterapkan. Dan tidak diterapkannya hukum-hukum syariat domestik dan publiknya akan berdampak pada perempuan dan anak-anak juga.
Ulama harus menderaskan tsaqofah Islam di tengah masyarakat agar hukum Islam bisa diterapkan dari ranah keluarga hingga negara.
Pentingnya Negara Berbasis Syariat
Sudah puluhan tahun gerakan feminis dari deklarasi CEDAW berjalan, namun belum nampak perbaikan pada permasalahan perempuan. Hal ini wajar karena solusi pegiat gender tidak sesuai dengan fitrah manusia dan tidak akan pernah membawa kebaikan. Umat Islam memiliki solusi yang sempurna atas segala permasalahan. Untuk menyelesaikan permasalahan, solusi ini perlu untuk diterapkan dan bukan hanya diwacanakan serta dipelajari saja di madrasah-madrasah. Namun tidak semua hukum Islam bisa diterapkan secara individual. Banyak syariat islam seperti hal nya pada dimensihablu minannas yang mencakup hukum-hukum muamalah harus dilaksanakan oleh negara. Allah Yang Maha Tahu telah memberikan jawaban atas permasalahan manusia.
Negara berbasis syariat akan menjamin dengan diterapkannya sistem pergaulan Islam yang sungguh menjaga kehormatan wanita. Begitupula jaminan dengan sistem media yang tidak menjadikan wanita sebagai obyek komersil serta mengeksploitasinya. Sistem ekonomi islam pun akan menempatkan wanita tidak menjadi buruh pejuang nafkah hingga ia bisa menjaga generasi di rumah-rumahnya. Sistem sanksi Islam pun akan menghukum dengan tegas pelaku pelecehan, pemerkosaan, dan kekerasan lainnya.
Negara berbasis Islam ini adalah Khilafah. Karena Khilafah adalah ajaran Islam, bukan tradisi Arab atau ajaran dari luar Islam.
فكان مما سألني عنه الخلافة هل
“Dan di antara yang ditanyakan kepadaku adalah soal khilafah, apakah ia memiliki dasar di dalam syariat Islam dan dimuat di hadits-hadits Nabi, ataukah ia sekedar tradisi yang dibuat oleh orang-orang?
Maka aku jawab: Subhanallah, hal begini saja tidak tahu sampai ditanyakan!? Khilafah adalah sebuah ajaran pokok yang agung di antara ajaran-ajaran pokok di dalam Islam, yang telah ditegaskan oleh syara’ dan dimuat oleh banyak hadits dan khabar.” As-Suyuthi Asy-Syafi’i, Al-Inâfah fî Ratbatil Khilâfah.