Oleh. Uqy Chan
(Komunitas Pena Ngopi, Ngobrol Seputar Opini)
Muslimahtimes– Fenomena nikah pada usia dini kini menjadi sorotan publik. Faktanya kebanyakan dipelopori oleh kalangan anak muda di bawah umur. Terlebih di masa pandemi. Menurut data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2020 lalu, sekitar 64.000 anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi. Padahal UU Perkawinan telah direvisi, tapi masih ada ‘celah’ yang memungkinkan pernikahan warga di bawah 19 tahun. Terlebih adanya pemberian dispensasi atau keringanan batas minimal usia dalam pernikahan anak usia dini. Maka dianggap menjadi persoalan yang harus diusut tuntas.
Dalam Konferensi Pers respons terhadap kasus promosi perkawinan anak, Kamis (11/2) yang digelar secara virtual, Ketua pengurus Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Nursyahbani Katjasungkana mengatakan persoalan dispensasi atau keringanan batas minimal usia pernikahan yang diberikan Kantor Urusan Agama (KUA) harus diusut. Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti memaparkan data bahwa pada Januari-Juni 2020 setidaknya terdapat 33.664 dispensasi usia menikah yang dikabulkan di seluruh wilayah Indonesia. Angka itu, merujuk pada data yang dihimpun Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung. Ia mengatakan angka riil soal pernikahan di bawah umur mungkin lebih besar dari itu karena tak mencakup perkawinan secara agama atau siri dan adat. (www.cnnindonesia.com, 12/2/2021).
Pernikahan dini seolah menjadi sebuah persoalan besar. Mengingat angka perceraian yang bertambah, kematian bayi meningkat, PHK (Putus Hubungan Kerja), dan lain sebagainya menjadi faktor dampak dari menikah di usia muda. Namun, benarkah demikian? Bahkan tak jarang tuduhan miring terhadap agama yang membolehkan menikah usia muda menjadi salah satu faktor. Semua ini perlu dikaji kebenarannya secara tuntas pula agar tak salah dalam menilai perihal menikah dini. Salah menilai justru akan fatal akibatnya sebab menilainya tidak secara obyektif terlebih salah sasaran.
//Menikah Usia Muda, Membawa Musibah?//
Menikah bisa saja menjadi musibah atau tidak tergantung pandangan masing-masing. Yang jelas, menikah bukan perkara yang mudah. Menikah juga bukan main-main. Sebab pelakunya akan dibebani dengan hukum-hukum syariat. Karenanya melaksanakannya pun bukan main-main. Bukan secara instan namun belajar dari nol. Situasi yang dihadapi masing-masing berbeda kondisinya. Menikah akan membawa kebersihan bagi yang menjalankannya sesuai yang dituntun agama. Karenanya tak boleh disepelekan dan menyepelekan. Menikah dini kembali dipersoalkan adalah upaya agar meminimalisasi adanya pernikahan dini. Lebih jauh lagi agar dapat menekan laju pertumbuhan penduduk.
Pun anggapan bahwa menikah dini tak mampu menghadapi persoalan perempuan dan anak. Seperti masalah kehamilan, kematian ibu dan bayi, dan lain-lain. Maka tentu tidak bisa dianggap persoalan tersebut mutlak akibat dari menikah dini. Tak dipungkiri, memang menikah perlu memahami seputar hukum terkait kehamilan, menyusui, dan mendidik anak sebelum memasuki gerbang pernikahan agar kelak mampu menghadapi persoalan rumah tangga. Tentu bukan seperti yang terjadi saat ini. Ketika tak mampu hadapi konflik rumah tangga, tak ayal perceraian menjadi pilihan dan masalah yang lainnya muncul.
Hal ini sebagai akibat dari penerapan sistem Kapitalistik yang menuntut serba materi. Padahal kondisi masyarakat yang minim dalam mengakses pendidikan yang layak, kesehatan, bahkan tak mampu memenuhi sandang, pangan dan papan. Menikah dini seolah musibah bagi penganut ide sekuler liberal, yang bebas nilai dan tak peduli halal haram. Padahal faktanya lebih banyak kasus kematian ibu dan bayi akibat aborsi yang terjadi dari pasangan tidak sah, namun mengapa perkara seperti ini tidak diusut? Justru kejadian seperti inilah yang harus dikatakan sebuah musibah.
//Solusi Menikah Usia Muda//
Namun demikian bukan berarti nikah usia muda menjadi suatu pelarian agar terhindar dari suatu persoalan. Seperti masalah ekonomi, sosial, keamanan, dan lain sebagainya. Bukan hanya anggapan menikah sebagai musibah, akan tetapi semua pemahaman yang keliru mengenai menikah dini perlu diluruskan. Sebab persoalan menikah usia muda harusnya tak boleh dikaitkan dengan fakta di atas. Menikah merupakan sunnah Nabi Saw. Dalam hadits beliau bersabda “Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
Ketika usia muda menuntut untuk menikah sedangkan ia mampu secara materi, sekalipun belum cukup umur, maka tak boleh dipersoalkan. Karena dalam agama Islam telah disyariatkan kebolehannya. Islam telah menuntun hukum-hukum yang berkaitan tentang menikah, kehamilan, menyusui, dan mendidik anak secara rinci dan harus dipahami oleh pasangan yang belum atau yang sudah menikah.
Demikian pula memahami hak dan kewajiban suami istri. Saat ini, banyak pasangan yang sudah menikah namun banyak yang tak paham hak dan kewajibannya sehingga wajar muncul persoalan.
Ditambah minimnya perhatian pemerintah terhadap persoalan ini, yang terkait pula dengan pemenuhan kebutuhan rakyat menambah deretan masalah rumah tangga. Namun anehnya, perkara menikah dini justru disinyalir menjadi suatu penyebab persoalan perempuan dan anak. Beginilah jika syariat Islam tidak dijadikan pedoman. Justru merevisi undang-undang tentang pernikahan hanya akan semakin melegalkan sistem sekuler yang sudah akut ini? Melarang menikah dini bukankah menyalahi perintah agama? Islam sudah pasti solusi bagi perkara apapun apalagi jika diterapkan di negeri ini untuk melindungi perempuan dan anak dari pengaruh kehidupan sekuler liberal yang rusak. Wallahu a’lam bisshowab.