Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
MuslimahTimes.com – Membuka hari, mendengar berita duka, salah satu sahabat meninggal dunia. Semula mengira karena Covid-19, ternyata karena sakit yang lain. Tanpa berita apapun sebelumnya, sahabat yang selalu murah senyum dan memanggil saya ustaza (meskipun saya sering menolak) kini sudah dipanggil Allah dan tak lagi bersama kecuali tinggal kenangan.
Seketika ingat bahwa kitapun senantiasa diintai oleh “Sesuatu” yaitu kematian. Allah merahasiakannya dari setiap jiwa tentu ada maksudnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Al-Mulk: 2, yang artinya:
“Allahlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Artinya kita bakal mati, namun juga tak salah jika berharap untuk terus hidup, tentu dalam rangka mengumpulkan amal baik. Namun, tabiat manusia selalu tergesa, ada beberapa orang yang mengumpat setiap kali ada yang meninggal, mengapa bukan dia? Dengan gusar mereka mengatakan capek dan bosan, bisa karena sakit yang menahun ataupun karena sulit mendapatkan pekerjaan. Cobalah membuka lembaran mushaf Al-Qur’an dan bacalah ayat di atas, tentu hati akan tertunduk sebab melihat kebenaran di dalamnya.
Ada yang ketakutan setengah mati hingga menjaga dirinya dengan penjagaan yang lain, entah peregangan, susuk, bantuan ghaib dan rapalan-rapalan tak jelas sumbernya. Dasar kapitalis, penyerongan akidah ini justru menjadi celah mendapatkan manfaat, larislah profesi orang pintar, bahkan hingga ada festifal Persatuan Perdukunan Nusantara ( PERDUNU).
Ada pula yang menyangka akan hidup selamanya sehingga dia lalai, mengumbar syahwat terhadap isi dunia. Bahkan arogan kepada yang lain. Ia lupa, intaian pesuruh Allah tak pernah terlewat sedikitpun. Jika sudah tepat waktunya tak bisa diundur atau dimajukan. Sebanyak apapun tebusannya, tetap tak akan bisa mengubah apa yang sudah menjadi ketentuan Allah Swt.
Allah Swt kembali berfirman dalam Al-Quran al-Jumuah:9QS. Al-Jumuah: 8 yang artinya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu hindari itu, maka sesungguhnya kematian itu pasti akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang maha mengetahui perkara yang ghaib dan yang nyata. Lalu Dia akan memberitahukan segala apa yang telah kamu kerjakan”.
Kematian ditakuti untuk dipersiapkan
Kematian memang bagi manusia secara fitrah menakutkan. Bahkan ada yang berlebihan, jika ada kematian tetangganya tak mau takziyah karena takut melihat mayat. Semua karena kematianlah pemutus segala kenikmatan dunia, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw, “Perbanyaklah kalian dalam mengingat penghancur segala kelezatan dunia, yaitu kematian,” (HR at-Tirmidzi). Sikap yang tepat adalah dengan mempersiapkannya.
Telah banyak informasi mengenai persiapan apa saja yang harus dilakukan, yang paling penting adalah selalu menjaga aspek ruhiyah kita, yang dimaksud bukanlah ruh nyawa, namun kesadaran hubungan kita dengan Allah. Artinya setiap kali hendak beramal, maka terlebih dahulu adalah banyak mengingat Allah.
Mengingat Allah Swt bukan pula maknanya sekadar “eling” sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang penganut keyakinan kepada Tuhan YME sebagaimana yang tenar di tahun 1980-an. Namun menyatukan antara materi ( amal) dengan ruh ( kesadaran), agar benar-benar sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan larang.
Maka jaga lisan, jangan sampai keluar kalimat “ingin cepat mati” sebab itu artinya mengkhianati kepercayaan Allah. Renungkanlah, jika hari ini masih diberi nafas, artinya kita masih diberi rezeki, diberi kesempatan oleh Allah untuk mengadakan perbaikan, perubahan dan pertaubatan. Sekaligus kita dianggap mampu untuk melewatinya. Sebab Allah tidak akan membebani seseorang diatas kemampuannya.
Jika kita menolak dengan menunjukkan sikap putus asa, depresi, insecure dan lain-lain jelas kita menunjukkan ketidakpercayaan kita kepada Allah, sungguh resikonya lebih berat. Dan lucunya, jika melihat masyarakat hari ini, mereka takut mati tapi tidak juga beranikan diri untuk berubah. Ketika diberitahu sesuatu yang tak disukai Allah, Sang Pemilik Nyawa, tetap saja mereka mengerjakan. Sedangkan apa yang Allah sukai, mereka tak lakukan, atau jikapun melakukan dengan enggan.
Sikap seperti ini bukan terbentuk sehari dua hari, namun genap 100 tahun sejak runtuhnya Daulah Khilafah di Turki Ustmani tahun 1924, sejak itulah pula tak ada pemimpin yang senantiasa menjaga dan mengingatkan akidah masyarakat ketika menurun. Kegiatan amar makruf jadi dianggap tabu apalagi nahi mungkar, pasti dicap teroris.
Ilmu Allah Swt meliputi segala sesuatu, sedang ilmu kita hanya setetes air yang jatuh dari ujung jari kita jika kita celupkan di air samudra. Semestinya inilah pendorong terkuat untuk mulai mengadakan persiapan terbaik, sehingga ketika Sang Pengintai benar-benar datang karena telah datang pula perintah untuk mengakhirkan nyawa dari dalam jazadnya kita setidaknya sudah siap dengan bekal cukup. Wallahu a’ lam bish showab.