* Inspirasi Ramadan (3)
Oleh Kholda Najiyah
Pasti pernah dengan pepatah “air susu dibalas air tuba,” yang artinya kebaikan dibalas dengan keburukan. Hm, kalau susu, semua juga tahu rasanya enak. Tuba? Menurut kamus, itu nama pohon yang akarnya beracun, dapat memabukkan. Jadi kalau orang berbuat baik dibalas keburukan, ibarat dikasih susu dibalas racun.
Manusia seperti itu banyak. Sama banyaknya dengan “air susu dibalas air susu” atau “air tuba dibalas air tuba”. Orang yang berbuat baik pada kita, biasanya juga akan kita baik-baikin. Demikian pula, orang yang berbuat buruk pada kita, ya, nggak kita baik-baikin. Iya, kan?
Maka, yang sulit adalah mewujudkan “air tuba dibalas air susu.” Keburukan dibalas kebaikan. Dengan begitu, benarlah jika pribadi Rasulullah SAW itu sungguh istimewa. Telah berabad lalu beliau mencontohkan membalas air tuba dengan susu. Jauh sebelum pepatah itu ada, barangkali.
Bukankah buku-buku bacaan anak-anak banyak mengisahkan bagaimana ketegaran Rasul yang dicaci, tapi tidak balas mencaci, dimaki tidak balas memaki, difitnah juga tidak balas memfitnah? Didikan langsung Rasulullah itu pun, mengalir deras pada diri sahabat kala itu. Sebagaimana kisah perselisihan antara Abu Bakar dan Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslamy, berikut ini:
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di Mustadroknya, ia berkata, “Ini adalah hadits shohih menurut syarat Muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya”. Dari Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslamy ia menuturkan: Rasulullah SAW memberiku sebidang tanah, dan ia juga memberi Abu Bakar sebidang tanah. Lalu kami berselisih pada sepokok kurma. Ia (Robi’ah) berkata, “Maka datanglah dunia”. Maka Abu Bakar berkata, “Ini termasuk dalam batas tanahku”. Aku pun menyanggah, “Tidak .. akan tetapi ini termasuk dalam batas tanahku”.
Lantas Abu Bakar melontarkan kepadaku kata-kata yang tidak aku sukai. Dan dia menyesali kata-katanya itu. Maka ia berkata kepadaku, “Hai Robi’ah, ucapkanlah kepadaku seperti apa yang telah aku katakan kepadamu sehingga menjadi qishosh”. Aku menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”. Abu Bakar kembali berkata, “Demi Allah, engkau harus mengucapkan kepadaku seperti ucapanku kepadamu sehingga menjadi qishosh atau aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah SAW”.
Aku berkata, “Tidak, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”. Maka Abu Bakar tidak menerima pembagian tanah tersebut, dan ia mendatangi Rasulullah SAW. Sementara aku (Robi’ah) mengikuti di belakangnya. Sekelompok orang dari suku Aslam (suku Robi’ah) berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dia yang telah melontarkan kata-kata itu kepadamu, kenapa dia yang mengadukanmu kepada Rasulullah?”.
Aku berkata, “Tahukah kalian siapa ini? Ini adalah Abu Bakar .. teman Rasulullah SAW di dalam gua. Orang yang dituakan oleh kaum muslimin. Jangan sampai ia menoleh dan melihat kalian membelaku, sehingga dia marah lantas Rasulullah ikut marah karena kemarahannya, maka Allah akan marah pula karena kemarahan keduanya. Jika sampai itu terjadi celakalah Robi’ah. Pulanglah kalian!!”.
Robi’ah bergegas menyusul Abu Bakar. Sesampai Abu Bakar di hadapan Nabi SAW, ia menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Robi’ah. Rasulullah SAW berkata kepada Robi’ah, “Hai Robi’ah, ada apa antara kamu dengan Ash- Shiddiq?”. Robi’ah menceritakan apa yang terjadi dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya. Dan keengganannya membalas Abu Bakar dengan ucapan yang sama. Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Baiklah, jangan katakan kepadanya seperti yang dikatakannya kepadamu, akan tetapi katakanlah ‘Semoga Allah mengampunimu hai Abu Bakar”. Maka Abu Bakar pergi meninggalkan majelis tersebut sambil menangis …[1]
Abu Bakar adalah sahabat mulia, namun sempat tak sengaja keceplosan lidah. Begitu menyadari, segera ia menuntut qhishos agar kekhilafannya diampuni. Abu Bakar menunjukkan sikap adil, tawadhu dan tidak sombong.
Namun, Robi’ah pun menunjukkan jiwa besar. Tidak mendendam. Ia tahu betul, Abu Bakar adalah kekasih Rasulullah. Ia tak ingin menyakiti Abu Bakar dengan perkataan serupa, walau diminta. Robi’ah sungguh khawatir Rasul akan marah jika ia mau melontarkan ucapan tersebut. Maka, mereka memilih mencari penengah yang adil dan memberikan solusi dengan baik. Rasulullah SAW justru meminta Robi’ah mendoakan Abu Bakar dengan perkataan yang baik.
Demikianlah, dalam muamalah dengan sesama, tentu akan terjadi gesekan-gesekan kecil yang kadang tak terhindarkan. Dalam hal ini tidak berlaku hukum qishos. Janganlah keburukan dibalas dengan keburukan (beda dengan perbuatan kriminal alias jarimah, seperti pencurian, perampokan atau pembunuhan, ada qhisos di sana). Maka, tidak boleh cacian dibalas cacian, makian dibalas makian, kerusakan dibalas dengan kerusakan. Jika terjadi perselisihan, carilah keadilan di hadapan orang yang berwenang mengadili.
Dewasa ini, apa yang diingatkan Robi’ah dengan perkataannya “datanglah dunia” telah terjadi. Dunia dan perhiasannya adalah penyebab banyak perselisihan antara sesama muslim. Banyak manusia yang berselisih, bertengkar, dan saling memutus silaturahmi hanya karena masalah “sepele’. Berebut harta, tanah atau warisan dan urusan dunia lainnya.
Tak terkecuali di jagad maya. Cuit-mencuit, caci-maki dan fitnah keji kian tak terhenti. Betapa mudahnya jari-jemari menuliskan komentar sengit, sinis dan nyelekit. Jika pihak tersebut tak terima, dibalas lebih sengit lagi. Malah, ujung-ujungnya, sedikit-dikit lapor polisi.
Maka sungguh bijak orang yang mampu menahan diri. Sabar atas cacian, terlebih jika mampu membalas dengan kebaikan. Yakinlah, setitik kebaikan jika terus dan terus dilakukan, niscaya akan menghancurkan keburukan. Semoga Allah menjadikan kita teladan Rasul dan para salafusaleh.(*)