Oleh. NS Rahayu (Pengamat Masalah Sosial)
Muslimahtimes.com – Kasus perceraian dari tahun ke tahun semakin meninggi, apalagi di saat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama lebih kurang 1 tahun, namun juga belum menampakkan akan usai. Pandemi dianggap sebagai salah satu penyebab tingginya jumlah angka perceraian. Faktor tertinggi karena masalah ekonomi, KDRT, dan suami yang tidak bertanggungjawab.
Dilansir dari Nusadaily.com, (1/4/21) bahwa selama pandemi Covid-19 jumlah janda dan duda baru di Kabupaten Magetan menurut Pengadilan Agama (PA) Magetan sebanyak 1.254 kasus. Menurut Panitera Muda PA Magetan, Siti Marfu’ah dari data cerai gugat oleh istri, selama 11 bulan lebih ada 911 kasus, sedangkan cerai talak ada 337 kasus. Ekonomi masih menjadi faktor dominasi.
Jika menelisik lebih mendalam, kasus perceraian tidak hanya terjadi saat pandemi. Sebelum pandemi alasan ekonomi sudah menjadi penyebab tertinggi terjadinya perceraian. Terlebih ketika bangunan keluarga tidak dibangun atas dasar ibadah dan keimanan, maka akan sangat rapuh dan mudah tumbang saat ada permasalahan yang menerpa.
Permasalahan ekonomi merupakan faktor pemicu saja. Semua terjadi karena ada hal yang salah dalam cara pandang mengenai pernikahan. Saat ini pernikahan yang suci mulai dianggap tidak lagi sakral (desakralisasi pernikahan), hal ini justru membahayakan bangunan rumah tangga sendiri.
//Desakralisasi Pernikahan Buah dari Sistem Salah//
Cara pandang seperti itu hal yang lazim, ketika sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di tengah kehidupan. Sistem ini telah menjadikan tolok ukur kebahagiaan terletak pada materi. Pernikahan dinilai sebagai bentuk kapital, sehingga ketika ada guncangan ekonomi maka lebih memilih jalan pintas untuk menyelesaikannya, yakni dengan perceraian.
Apalagi sekularisme telah akut mewarnai di tengah masyarakat, sehingga aturan yang diterapkan adalah aturan manusia yang banyak sekali kelemahannya. Manusia bebas mengatur dirinya sendiri, tanpa mau dibatasi oleh aturan norma maupun agama. Tolok ukur kesenangan hanya pada kepuasan individu, sehingga ketika kepuasan yang dicarinya tidak ditemukan pada pasangannya, maka dengan mudah memutuskan untuk bercerai.
//Peran Negara Mencegah Perceraian//
Meningkatnya angka perceraian, bukan hanya persoalan individu saja. Namun harus ada peran negara dalam memberikan solusi demi mencegah perceraian. Permasalahan yang menumpuk dalam keluarga juga menjadi permasahan negara.
Banyaknya perceraian yang terjadi saat ini penyebabnya antara lain peran negara yang abai terhadap tanggungjawabnya, menganggap pernikahan adalah ranah individu. Padahal perceraian terjadi karena faktor-faktor sistemik, di antaranya sulitnya mencari pekerjaan bagi kaum lelaki, akhirnya perempuan menjadi tulang punggung, kebutuhan pokok semakin mencekik, gaya hidup hedonis yang menyerang keluarga muslim dll.
Jika ditelisik secara mendalam, akar masalah dari maraknya perceraian justru lebih ditimbulkan pada gaya hidup liberalis, hedonisme, pandangan kesetaraan gender dan feminisme yang lahir dari sistem kapitalis sekuler itu sendiri.
Penerapan sistem kapitalisme sekuler berdampak pada desakralisasi pernikahan. Meski perceraian adalah sesuatu yang halal dalam pandangan Islam, tetapi dibenci Allah Swt. Mirisnya sekarang menjadi perkara yang digampangkan, dan saat ini justru lebih banyak talak gugat istri.
Maraknya perceraian dan dominasi gugat cerai istri, tak semata karena kelalaian pasangan suami istri, tekanan ekonomi, tidak pahamnya hak dan kewajiban atau tidak paham hukum agama. Semua terjadi disebabkan tidak berfungsinya peran negara dalam membentuk ketahanan keluarga.
Sistem kapitalis sekuler menempatkan urusan keluarga pada ranah individu saja, negara lepas tangan begitu saja ketika banyak perceraian terjadi, meski jumlahnya makin ambyar.
//Islam Mengokohkan Bangunan Rumah Tangga//
Berbeda dengan sistem Islam yang mengatur kehidupan dengan aturan Allah Swt sebagai pencipta dan pengatur segalanya. Negara Islam menganggap segala urusan adalah tanggung jawabnya dan amanah yang rakyat berikan kepadanya. Sehingga tugas khilafah, juga memberi perhatian khusus masalah keluarga.
Sebagaimana dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda:
“Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Khilafah wajib memberi perhatian pada kebutuhan warga negaranya, termasuk urusan keluarga agar menjadi ikatan utuh yang kokoh, yaitu membekali setiap individu dengan akidah Islam, sehingga dalam menjalani kehidupan akan selalu menggunakan tolok ukur Islam sebagai konsekuensi keimanan.
Negara juga membekali masyarakat tentang sistem pergaulan dalam Islam agar terjaga kehormatan baik laki-laki dan perempuan hingga terjadi aqad nikah, tujuannya semata menjalankan ibadah. Sekaligus pasangan nikah saling tahu hak dan kewajiban suami istri dalam bangunan keluarga, agar tidak mudah rapuh oleh badai rumah tangga.
Hal penting yang harus dilakukan negara lainnya adalah membuka dan menyediakan lapangan kerja yang luas, gaji yang pantas, dan pemenuhan sarana publik yang baik. Hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh kepala keluarga agar mampu menafkahi keluarganya.
Upaya yang dilakukan oleh negara Islam ini terbukti mampu untuk mencegah perceraian, sekaligus membekali keluarga agar bisa mendapatkan keluarga yang kuat dan kokoh.
Sementara kondisi saat ini sangat memprihatinkan, tingginya perceraian membuktikan bahwa ketahanan keluarga sangat rapuh. Jika ingin bisa menjadi kuat kembali, harus meninggalkan sistem salah saat ini dan mengambil syariat Islam sebagai pengatur kehidupan. Sebab pelaksanaan hukum syariat dapat membawa pada keberkahan, baik individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Wallahu a’lam bishshawab.