Oleh : Nurhayati, S.Kom
#MuslimhTimes — Bukan sulap, bukan sihir. ASN lenyap, gaji terus mengalir. Publik digegerkan dengan temuan 97 ribu data PNS misterius tak berwujud yang hingga 2015tetap mendapatkan gaji bulanan dan iuran pensiun.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana, pun angkat suara. Dia mengatakan, mengantisipasi adanya PNS yang tidak masuk dalam database pemerintah, pihaknya melakukan kickoff meeting yang membahas pemutakhiran data mandiri ASN dan Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) non-ASN. (kompas.com, 26/5/2021)
Berdasarkan hasil Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) yang dilakukan pada September-Desember 2015, BKN juga sudah merilis penjelasan mengenai 97 ribu PNS yang tidak terekam datanya. Adapun penyebab ribuan data tersebut tidak terekam, yakni karena mengalami kesulitan akses melakukan pendaftaran ulang, status mutasi, status meninggal, status berhenti atau sejenisnya yang tidak dilaporkan oleh Instansi kepada BKN.
Sebanyak 97.000 data PNS itu kemudian ditindaklanjuti oleh BKN sejak 2015 dengan mengeluarkan Surat Kepala BKN Nomor K 26-30/V 2-1/99 tentang Tindak Lanjut e-PUPNS tanggal 5 Januari 2016. Kemudian, berdasarkan tindak lanjut yang dilakukan BKN sejak PUPNS 2015 digulirkan, per Mei 2021, kini tinggal 7.272 PNS yang terdata belum mengikuti PUPNS 2015. Sehingga nantinya, 7.272 PNS yang belum terdata akan ditelusuri apa penyebabnya untuk diketahui status keaktifan kepegawaiannya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, mengaku kaget dan prihatin mendengar kabar terkait 97 ribu PNS fiktif. (nasional.sindonews.com, 26/5/2021)
Menurutnya, tak menutup kemungkinan terjadi persekongkolan sejumlah pihak dalam kasus puluhan ribu PNS fiktif ini. Dia menilai, bisa jadi kucuran dana yang terus-menerus untuk PNS palsu itu terjadi akibat kolusi dengan institusi atau atasan yang bersangkutan. Sehingga ia mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas temuan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ini.
Senada dengan Guspardi, Rifqinizamy Karsayuda juga mengatakan bahwa terungkapnya data PNS fiktif sebanyak 97 ribu orang adalah musibah dalam penataan kepegawaian di tanah air. (metropolitan.id, 26/5/2021)
Menurut legislator Fraksi PDI Perjuangan DPR RI ini, perlu penjelasan yang komprehensif dari berbagai pihak terkait temuan adanya 97 ribu PNS dan pensiunan yang ternyata orangnya tidak ada. Sebab selama puluhan tahun, 97 ribu PNS misterius itu masih mendapat alokasi gaji dari negara.
“Negara telah dirampok triliunan rupiah akibat hal ini. Dengan asumsi satu orang PNS berpangkat III/A menerima gaji (pokok) Rp 2 juta per bulan. Maka potensi kerugian negara hampir Rp2,5 triliun per tahun,” terangnya.
Rifqi menambahkan, jika ini telah terjadi selama puluhan tahun, maka nilainya tentu sangat fantastis dan miris di tengah krisis APBN akibat pandemi Covid-19 saat ini.
//Bobroknya Tata Kelola Kepegawaian Negara//
Mencuatnya kasus PNS palsu ini telah membuka mata publik untuk melihat betapa bobroknya tata kelola kepegawaian negara dan lemahnya sistem pemutakhiran data. Sehingga kejadian memalukan ini telah membuat negara membayar SDM tanpa kontribusi kerja.
Dugaan adanya kolusi dengan birokrasi juga tentu perlu diusut tuntas. Sebab bertahun-tahun negara mengeluarkan miliaran rupiah untuk menggaji PNS palsu ini. Ini jelas perampokan uang rakyat, di tengah himpitan hidup rakyat makin bertambah akibat krisis pandemi yang justru kembali meningkat parah.
Namun bukan hal baru di tengah berjalannya sistem kapitalisme saat ini, telah membuat manusia mencari uang tanpa memperhatikan halal dan haram. Apalagi saat menduduki kekuasaan, dijadikan kesempatan mendapatkan uang besar yang sejatinya milik rakyat dan harus dialokasikan untuk kepentingan rakyat.
Di samping itu, gaya hidup hedonis yang diajarkan dalam sistem hidup kapitalisme sekuleristik saat ini, telah membuat manusia memandang kekayaan adalah sumber kebahagiaan. Sehingga hidup bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, namun hidup adalah untuk memenuhi gaya hidup. Ditambah negara punya regulasi yang lemah dan sistem sanksi yang tidak tegas, sehingga mendorong berbagai penyimpangan, seperti pencurian harta negara ini. Karena itu, sistem ini berhasil melahirkan pegawai ataupun pemimpin yang tidak amanah, bahkan berkhianat kepada rakyat.
//Mekanisme Islam Merekrut Pegawai Negara//
Berbeda halnya dengan sistem kapitalisme sekuleristik, Islam memandang pengurusan urusan umat dalam konteks menjadi pegawai atau pemimpin adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Oleh karena itu, standar dalam menjalankan amanah dan standar kebahagiaan bagi penerima amanah (pegawai) adalah hukum syariah yang muaranya adalah keridaan Allah, bukan sekadar untuk mengumpulkan materi. Lebih-lebih dengan cara yang haram, menipu, manipulasi, ataupun kolusi.
Rasul Saw bersabda,“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus,” (HR.Bukhari dan Ahmad).
Karena itu, perekrutan calon pegawai asasnya adalah ketakwaannya kepada Allah, dengan indikasi ketaatan calon pegawai kepada syariat Allah. Sebab ketakwaan inilah yang akan menjadi kontrol diri, sehingga dia menjalankan amanahnya dengan totalitas dan penuh integritas, bukan sekadar terdata namanya sebagai pegawai di atas kertas.
Di samping itu, Islam juga menetapkan pengangkatan pegawai harus didasarkan pada keahlian calon pegawai pada bidang yang akan diampu. Rasulullah Saw bersabda,“Jika ditetapkan suatu urusan kepada selain ahlinya, maka tunggulah waktunya (menuju kehancuran),” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat yang lain juga diceritakan bahwa Abu Dzar ra. Pernah bertanya kepada Rasulullah Saw,“Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak mengangkatku menjadi wakilmu ?”Kemudian Rasulullah Saw menepuk-nepuk pundak Abu Dzar dengan kedua tangannya seraya berkata,“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, padahal kekuasaan itu adalah amanah. Kelak dihari kiamat kekuasaan itu akan menjadi kehinaan dan kesedihan, kecuali orang yang mengambilnya dengan kebenaran dan menunaikan segala kewajibannya,” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, Islam menetapkan penggajian para pegawai negara didasarkan pada kinerja mereka atas amanah yang dipercayakan kepadanya, bukan sekadar karena nama mereka terdata sebagai pegawai negara. Islam juga menetapkan keharusan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dengan seperangkat syariatnya yang agung. Sehingga pegawai maupun pemimpin benar-benar menjadi pelayan umat dan memberikan teladan dengan takwa, bukan malah mempertontonkan korupsi yang membudaya.
Di samping itu, pengaturan urusan rakyat juga harus didasarkan pada aturan Allah. Hal ini akan menjauhkan manusia agar tidak mengurus hajat hidup publik menggunakan hawa nafsunya, yang dapat berujung pada kezaliman. Hanya saja, pengaturan Islam dalam urusan publik saat ini tentu tidak memungkinkan di tengah masih bercokolnya sistem kapitalisme sekuleristik, yang banyak melahirkan pegawai ataupun pemimpin korup. Oleh karena itu, umat harus mencampakkan sistem kapitalisme sekuleristik ini, kemudian beralih kepada sistem Islam agar membawa kebaikan dan keberkahan bagi rakyat dan negara.
Wallahu’alam.