Oleh: Ragil Rahayu, SE
Seorang artis ibukota yang juga ibu dari dua putra membuat pengakuan mengejutkan. Dia blak-blakan mengaku telah menemani anak-anaknya saat menyaksikan film porno. Artis lawas ini berdalih, tindakannya itu dilakukan sebagai pembelajaran tentang seks sejak dini.
Dia meyakini bahwa saat ini tidak mungkin ada remaja yang tidak nonton film porno. Maka dia memilih menemani anaknya, daripada melarangnya.
Tindakan artis ini sontak menuai respons negatif dari publik. Salah satunya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
“Konten porno itu konten berbahaya. Dampak negatifnya serius bagi tumbuh kembang anak. Maka, konten porno tak boleh dilihat anak. Meski ditemani, menonton konten porno tak dibenarkan,” kata Ketua KPAI, Susanto. (detik.com, 26/6/2021)
Liberalisasi Seksual
Tindakan kontroversial yang dilakukan artis ini merupakan bagian dari arus global. Dunia tengah diaruskan untuk memberikan pendidikan seksual nan liberal pada anak.
Pada tahun 2009, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) merilis draf pedoman berjudul “International Guidelines on Sexuality Education” yang meliputi enam konsep, yaitu hubungan nilai-nilai; sikap dan keterampilan; budaya, masyarakat, dan hukum; perkembangan manusia; perilaku seks; serta kesehatan reproduksi dan seksual. (kompas.com, 1/9/2009)
Draf ini menuai kecaman banyak pihak karena mengajarkan tentang tindakan seks, aborsi, dan homoseksual. Pada tahun 2019, UNESCO menyarankan setiap negara (termasuk Indonesia) untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif. Anak-anak sejak usia dini, yaitu usia lima tahun, dan remaja diharuskan menerima pendidikan seksual komprehensif sebelum menjadi aktif secara seksual. (cnnindonesia.com, 14/6/2019)
Pendidikan seksual sejak dini ini dianggap akan mampu menyelesaikan ppersoalan-persoalan, seperti kehamilan di usia muda, HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS), dan kekerasan seksual. Pendidikan yang sarat racun liberalisme/kebebasan ini diharuskan untuk diberikan pada anak-anak melalui jalur pendidikan formal di sekolah, yakni melalui kurikulum. Nantinya, konten ini akan diajarkan pada siswa di kelas, sebagaimana yang sudah dipraktikkan di Barat.
Di Eropa, pendidikan model ini telah diterapkan. Akibatnya, aktivitas LGBT dianggap sebagai hal yang wajar. Bahkan Hungaria terancam dikeluarkan dari Uni Eropa karena Juni lalu telah meloloskan RUU untuk melarang seluruh materi dan program pendidikan anak-anak yang dianggap mempromosikan nilai LGBT dan konsep seksualitas menyimpang. (cnnindonesia.com, 26/6/2021)
Bisa dibayangkan, jika konsep pendidikan seksual yang komprehensif ini diberikan pada anak-anak muslim, mereka akan mengadopsi pandangan yang liberal ala Barat. Mereka akan toleran terhadap tindakan maksiat seperti zina dan liwath (homoseksual), dan bahkan bisa menjadi pelakunya. Efek selanjutnya adalah kehancuran generasi karena pemenuhan naluri seksual secara salah dan menyimpang. Zina akan merajalela di mana-mana, nasab manusia menjadi tidak jelas, hubungan mahram kacau balau, institusi keluarga runtuh, PMS menyebar luas, dan keberlangsungan manusia pun akan terancam punah.
Manusia akan berperilaku layaknya binatang, atau bahkan lebih rendah. Menuruti nafsu sesuka hati, dengan siapa saja, tanpa peduli halal dan haram. Kerusakan generasi seperti ini tentu bukan hal yang kita inginkan.
Haram
Zina merupakan perkara yang haram dan dibenci dalam Islam. Allah Swt. telah berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al Isra: 32)
Maraknya perzinaan bahkan disebut sebagai salah satu tanda tibanya hari kiamat.
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ، وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat yaitu diangkatnya ilmu dan kebodohan nampak jelas, dan banyak yang minum khamar dan banyak orang berzina secara terang-terangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Naudzubillahi mindzalik.
Para orang tua muslim harus menolak pendidikan seksual ala Barat nan liberal ini. Sebagai muslim, kita sudah punya pedoman hidup, yaitu Islam. Islam itu sempurna dan paripurna. Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi. Maka, kita tidak butuh konsep pendidikan ala Barat yang ujungnya mencetak manusia berperilaku ala binatang.
Pendidikan Islam
Dalam Islam, pendidikan seksual bukanlah hal yang dipuja-puja sebagai solusi persoalan seksual. Pendidikan seksual diposisikan sebagai bagian integral dari pendidikan anak, bukan topik yang terpisah.
Pendidikan anak dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yakni keimanan pada Allah Swt., Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir. Aspek pertama yang harus dipahamkan pada anak adalah bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. Tubuhnya bukan miliknya, tapi milik Allah,
sehingga harus diperlakukan dan dipergunakan sesuai syariat yang Allah Swt. turunkan.
Anak dipahamkan bahwa, bukan hanya tubuhnya, tapi seluruh manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah ciptaan Allah Swt. Dialah Al-Khaliq (Sang Pencipta) dan Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Maka manusia harus taat pada-Nya.
Tidak ada istilah “my body, my authority” dalam Islam, karena tubuh adalah ciptaan Allah Swt., sehingga kelak manusia harus mempertanggungjawabkan pada Allah Swt. di hari akhir tentang bagaimana dia menggunakan tubuhnya. Apakah untuk ketaatan, ataukah untuk kemaksiatan. Ketaatan akan membawa pada kebahagiaan di surga, sedangkan kemaksiatan akan mengantarkan pada kepedihan siksa neraka.
Setelah aspek mendasar ini dipahami anak, selanjutnya anak dikenalkan syariat Islam, yakni fikih Islam.
Baligh adalah fase yang tidak sekadar dimaknai sebagai kesiapan secara reproduksi, tapi juga gerbang mukallaf, di mana setiap amal akan dihisab. Maka saat sudah baligh, seseorang bukan lagi anak-anak, meski umurnya masih di bawah 18 tahun. Dia wajib taat syariat Islam. Syariat ini akan melindungi perempuan dari dosa, fitnah, dan juga kejahatan.
Sejak dini anak diajarkan tentang aurat. Ketika usia tamyiz, anak dibiasakan untuk menutup aurat, meski di depan saudara atau sesama perempuan. Tidak boleh tidur satu selimut atau mandi bersama, meski dengan sesama perempuan. Orang lain juga tidak boleh menyentuh auratnya, kecuali orang tertentu untuk keperluan tertentu. Misalnya ibu ketika menceboki, atau dokter ketika memeriksa kesehatan.
Menjelang baligh, anak dijelaskan tentang pernikahan sebagai satu-satunya jalan halal bagi laki-laki dan perempuan asing untuk berhubungan erat. Di luar hubungan pernikahan, laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan berduaan (khalwat), ikhtilat (campur baur), apalagi sampai zina. Institusi pernikahan merupakan ikatan yang sakral karena disebut mitsaqan ghalidza, sehingga untuk melangkah ke sana butuh kesiapan ilmu dan skill berumah tangga. Sehingga pernikahan, di usia berapa pun, bisa membawa pada sakinah mawaddah wa rahmah, bukan malah bubrah.
Tampak bahwa pendidikan seksual dalam Islam diajarkan dalam rangka ketaatan, bukan kebebasan (liberalisme). Tujuan pendidikan adalah membentuk sosok bertakwa, bukan sosok yang liberal. Outputnya adalah muslim/muslimah yang taat.
Adapun terkait maraknya kasus kekerasan seksual, HIV/AIDS, kehamilan di luar nikah, dan PMS, bukan disebabkan rendahnya pendidikan seksual, tapi karena tata kehidupan sekuler liberal yang diterapkan saat ini. Sistem ini meminggirkan agama dari kehidupan, sehingga kerusakan sosial merajalela. Maka solusi terhadap permasalahan tersebut adalah kembali pada syariat Islam kafah, bukan justru menggunakan solusi liberal. Maka, mana yang kita inginkan, kehidupan yang rusak karena sistem sekuler liberal, ataukah kehidupan yang berkah dengan Islam?[]