Oleh. Maya Ummu Azka
MuslimahTimes.com- Jenuh… Lelah, belum lama mencoba untuk kembali bernapas lega, beraktivitas layaknya manusia normal. Namun nyatanya harapan itu harus kembali pupus. Grafik pasien yang terpapar virus Covid-19 justru menanjak. Korban jiwa berjatuhan, dalam sehari pengumuman kematian terdengar lebih dari sekali, rumah sakit-rumah sakit kewalahan menampung pasien. Satu per satu kenalan, kerabat, tetangga, bahkan anggota keluarga berpulang ke Rahmatullah akibat terinfeksi Covid-19.
Entah berapa kali dalam sehari ambulans mondar-mandir mengangkut pasien. Para tenaga kesehatan sebagai garda terdepan penanganan penyakit juga banyak yang bertumbangan, sebagian karena terpapar virus, sebagian lainnya karena kelelahan.
Tak ayal kita tergopoh-gopoh. Pertahanan yang mulai kendor harus segera diperkuat lagi. Persediaan suplemen dan vitamin mulai diperbanyak. Pertemuan-pertemuan yang mulai dirancang, kembali dimentahkan. Anak-anak yang sedianya direncanakan mulai bersekolah luring harus menelan kecewa, entah kapan mereka bisa merajut mimpi dan mengejar prestasi bersama teman-teman sebayanya.
Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Keteledoran penguasa yang berulang berbuntut pandemi berkepanjangan. Kesalahan pengambilan keputusan telah dilakukan sejak awal pandemi. Dan kesalahan itu diulang kembali saat ini, salah satunya keengganan menutup akses dari luar negeri sebagai sumber masuknya virus. Ditambah lambannya penanganan yang tak berbanding lurus dengan kecepatan virus Covid-19 bermutasi.
Berbagai reaksi muncul, banyak pihak yang angkat bicara terkait pandemi yang berlarut-larut ini, mulai dari epidemiolog, kalangan tenaga medis, praktisi bisnis, bahkan musisi. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Menyempurnakan ikhtiar. Itulah yang seharusnya kita lakukan sebagai manusia beriman. Jangan lagi berpikir untuk diri sendiri. Bukankah kondisi ini membuat kita saling bergantung, dan seharusnya saling menjaga? Menjalani protokol kesehatan semaksimal mungkin, memakai masker dan mencuci tangan, menghindari kerumunan, meningkatkan imunitas, dan bepergian hanya jika benar-benar terpaksa.
Memang semua tak mudah, apalagi bagi rakyat yang berpenghasilan harian. Berdiam di rumah artinya tak ada penghasilan, tak ada nafkah bagi anak dan istri. Mengandalkan tetangga atau lingkungan juga tak bisa seterusnya, kondisi mereka juga sama-sama terjepit oleh pandemi. Sementara negara tak bertindak selayaknya pelindung rakyat. Pada akhirnya mereka harus tetap berjuang menjalankan kewajiban menafkahi keluarga dengan risiko tertular.
Ikhtiar selanjutnya adalah tak lelah memahamkan rakyat akan solusi terbaik mengakhiri pandemi adalah dengan lockdown syar’i , sebagaimana contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan terus menyeru negara agar mengambil metode tersebut dan kembali pada paradigma pelayanan terhadap rakyat.
Pada akhirnya kondisi ini seharusnya semakin menyadarkan kita untuk bersegera mencampakkan sistem gagal Kapitalisme. Keadaan ini juga seharusnya mengantarkan umat semakin memahami urgensi taajul furudh (mahkota kewajiban), ialah penerapan syari’at Islam kafah di seluruh lini kehidupan, dalam naungan institusi Khilafah. Aktivitas mendukung dan turut serta memperjuangkannya adalah bagian penyempurnaan ikhtiar. Bahkan menjadi ikhtiar terbesar agar kesulitan hidup ini segera berakhir dan pandemi berkepanjangan tak terulang kembali di masa mendatang. Wallahu a’lam