Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
#MuslimahTimes — “Salat Id di zona PPKM Darurat ditiadakan ” (Yaqut Cholil Qoumas).Begitu yang disampaikan Menteri Agama Indonesia saat menggelar rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Polri, Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat lalu. (liputan6.com, 2/7/2021)
Tak hanya larangan sholat Id, dilansir dari laman akurat.co, larangan ini berlaku mulai dari takbiran keliling, arak-arakan, dan penyembelihan hewan qurban. Karena kegiatan itu berpotensi menimbulkan kerumunan. (2/7/2021)
Peniadaan Kegiatan Peribadatan
Setelah sempat diberlakukan penutupan tempat peribadatan, Kementerian Dalam Negeri merevisi aturan PPKM. Dalam aturan itu disebutkan bahwa tempat ibadah baik Masjid, Mushola, Gereja, Pura, Vihara, dan Klenteng serta tempat ibadah lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah kbali dibuka namun tidak diperkenankan mengadakan kegiatan peribadatan atau keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM Darurat (cnnindonesia.com, 10/7/2021).
Alasan potensi kerumunan menjadi landasan kebijakan ini. Shaf shalat pun dianjurkan untuk di renggangkan agar memberi jarak aman. Jangankan shalat Id, sholat Jum’at yang hanya dilakukan tiap minggu saja kini tak bisa dilakukan. Padahal, berbeda dengan sholat Id yang hukumnya sunnah muakad, hukum shalat Jum’at bagi pria muslim yang baligh adalah wajib. Meninggalkannya berarti dosa.
Namun, apalah daya, memasuki tahun kedua dalam dekapan pandemi, yang terinfeksi virus kian banyak. Rumah sakit dan para tenaga kesehatan kewalahan. Tempat pemakaman pun penuh dengan kedatangan para ambulans yang membawa jenazah pasien covid.
Demi kebaikan bersama semua harus rela ibadah dibatasi. Walau sadar diri harus tetap mendekat pada Sang Pencipta.
Salah Penanganan Pandemi
Banyak yang sudah dilakukan oleh para ujung tombak pejuang pandemi. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawa pun banyak yang berguguran. Pembatasan aktivitas, edukasi, hingga kini vaksinasi dilakukan. Namun, belum nampak hilal akhir pandemi ini.
Ada yang harus dievaluasi dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi. Mengapa lockdown sebagai opsi terbaik enggan dilirik? Benarkah ada ketakutan atas tanggung jawab menanggung kebutuhan rakyat jika opsi ini diambil? Padahal, jika pemerintah berani mengambil resiko tersebut, pandemi takkan separah dan selama ini, dan kerugian ekonomi tak sebesar sekarang.
Hal ini diperparah dengan sikap menyepelekan pandemi dari mulai kalangan pejabat hingga rakyat. Merasa aman dari corona karena jauh dari negara asalnya, Wuhan. Padahal, pintu kedatangan orang asing masih terbuka lebar. Hingga kini terlihat jelas akibat sikap ini.
Rakyat Enggan Taat, Kenapa?
Langkah pembatasan aktivitas setengah hati yang ditempuh oleh negara terbukti bertepuk sebelah tangan. Rakyat tak menyambutnya dengan baik. Ketika keluar peraturan larangan mudik Lebaran, tim keamanan pun diterjunkan, bahkan sampai dibekali dengan persenjataan lengkap. Ini dilakukan karena pemerintah kesulitan mendisiplinkan rakyat. Faktanya banyak yang bersikukuh tetap pergi mudik.
Semua ini terjadi karena ketidaksesuaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di satu sisi tempat ibadah dan aktivitas keagamaan benar-benar dibatasi bahkan ditiadakan. Namun di sisi lain, proyek konstruksi tetap berjalan 100 persen.
Kalaulah proyek konstruksi boleh tetap berjalan 100 persen dengan alasan ada pemberlakuan prokes yang ketat. Mengapa peribadatan tak bisa tetap dilakukan dengan melakukan prokes yang ketat pula?
Rakyat Merindukan Keadilan
Rakyat kini bukan rakyat yang bisa dibodohi. Berita begitu cepat menyebar luas. Rakyat mengindera ketidakadilan dari para penguasa dalam menjalankan syariat. Masjid dan aktivitas peribadatan dibatasi, sementara para TKA dibiarkan masuk dalam negeri begitu saja demi proyek konstruksi.
Rakyat tambah sakit hati saat pemerintah justru tetap membuka tempat hiburan malam yang ada di hotel sampai pukul 17.00 WITA (detik.com, 7/7/2021). Padahal telah jelas bahwa hiburan malam penuh dengan kemaksiatan berbanding terbalik dengan aktivitas peribadatan.
Kegagalan Sekulerisme
Inilah potret kegagalan Sekularisme Kapitalisme menangani pandemi. Kebijakan yang dikeluarkan bukan menjadi solusi malah menimbulkan problematika baru. Karena kebijakannya berfokus pada keuntungan para pemilik modal, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat, apalagi urusan ibadah. Maka boleh-tidaknya aktivitas pun disesuaikan dengan kepentingan para kapital, bukan rakyat.
Padahal, dalam Islam negara menjadi tempat berlindung bagi semua rakyatnya. Negaralah yang menjadi pelindung terdepan bagi keamanan jiwa rakyat. Dengan ditemani pemupukan keimanan pada jiwa rakyat serta keteladanan para pemimpin sehingga rakyat rida atas semua kebijakan yang dikeluarkan negara. Sabar menaati semua aturan yang ada.
Negara dalam Islam pun hadir untuk menerapkan Syari’at Islam secara menyeluruh, termasuk mengurus pelaksanaan ibadah dan kegiatan keislaman. Maka ia akan berupaya sekuat tenaga untuk kelancaran kegiatan di tempat peribadatan. Kalau pun terpaksa dibatasi karena pandemi, takkan dibiarkan terlalu lama.
Ibadah dalam artian ibadah ritual takkan dinomorduakan seperti saat ini. Justru keberadaan musibah pandemi harus disikapi dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bukankah hanya Allah Azza wa Jalla yang mampu menghilangkan segala musibah? Maka Negara akan memastikan penanggulangan pandemi seiring sejalan dengan jaminan pelaksanaan ibadah bagi rakyatnya.
Jika demikian, masihkah kita berharap solusi lahir dari Rahim Kapitalisme? Sudah saatnya kita kembali pada aturan Ilahi, penerapan Islam secara kaffah dalam semua lini kehidupan.
Wallahua’lam bish shawab.