Oleh: Nurintan Sri Utami, S.Psi., M.Si
MuslimahTimes.Com-PPKM Darurat yang mulai diberlakukan sejak tanggal 3-20 Juli 2021 banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Meski memang hal ini sangat dibutuhkan untuk menekan angka kematian dan penyebaran virus Sars CoV-2. PPKM Darurat disinyalir bukanlah kebijakan yang efektif untuk antisipasi kegentingan dan ledakan Covid. Hanya berubah istilah dari kebijakan sebelumnya yang tidak terbukti ampuh dan justru membingungkan. Bahkan angka kematian akibat Sars CoV-2 meningkat signifikan.
Bagi pekerja buruh dan pedagang kecil, kebijakan ini menjadi beban tersendiri. Apalagi mungkin yang terkena PHK akibat kebijakan sebelumnya yang semakin sulit untuk mencari pekerjaan baru. Bantuan sosial juga tidak merata diberikan kepada semua orang. Pemerintah pilah-pilih dalam memberikannya padahal penduduk Indonesia secara keseluruhan terkena dampak pandemi.
Pandemi tidak pandang bulu dan menyebabkan kondisi keuangan masyarakat juga tidak menentu. Tidak bisa pula kita katakan orang kelas atas dan menengah kemudian tidak memerlukan bantuan. Masyarakat yang kaya atau miskin semuanya kini terkena dampak pandemi. Meskipun mereka masih bisa bekerja, namun kemungkinan pendapatan turun drastis sedangkan pengeluaran untuk kebutuhan hidup tetap tinggi.
Belum lagi ketika pembatasan jam malam, aparat pemerintahan terkadang kasar saat menertibkan pedagang kecil untuk tutup, padahal mereka tak punya penghasilan lagi selain berjualan di malam hari. Terkadang pemerintah juga tidak memberikan solusi untuk hal ini.
Psikologis masyarakat dibuat terombang-ambing, berada pada ketidakpastian hidup dan bisa terdorong untuk melakukan cara cepat dalam memenuhi kebutuhan perut yang lapar tanpa memperhatikan aturan. Inilah yang dapat memicu terjadinya pencurian, perampokan, dan tindak kejahatan lainnya. Jika pun tidak memicu kejahatan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan meningkat.
Bagaimanapun kebutuhan pokok sehari-hari seperti pangan, sandang, kesehatan, pendidikan maupun listrik menjadi hal utama yang harus terpenuhi. Jika melakukan pembatasan aktivitas harusnya pemerintah konsekuen dalam memberi kompensasi. Jadi, tidak bisa menyalahkan masyarakat juga saat tidak taat prokes atau masih bepergian sedang pemerintah sendiri tidak bisa menjamin pemenuhan kebutuhan sehari-hari tersebut. Padahal tiap tahun masyarakat juga dibebani pajak yang begitu tinggi yang kadang tak masuk akal karena banyak sekali pos yang harus dibayar.
Masyarakat juga tahu jika pemerintah bingung dalam menetapkan kebijakan dan terkesan melakukan coba-coba di balik istilah pembatasan yang beragam serta membingungkan. Akhirnya ada yang meremehkan, ada pula yang ikut bingung dan berjalan dengan pemikirannya sendiri. Inilah yang menjadikan pemberlakuan pembatasan tidak efektif bahkan meningkatkan risiko kematian akibat serangan virus Sars CoV-2 dan serangan ekonomi yang lesu. Bahkan analisis ekonometrika menyebutkan bahwa pandemi ini secara efektif menyebabkan meluasnya krisis kesehatan dan kerusakan ekonomi (El Keshky, Basyouni & Al Sabban, 2020).
Pemerintah Bertanggung Jawab dan Masyarakat Patuh
Ketahanan psikologis pemerintah dan masyarakat sungguh sangat diuji saat ini. Saat kondisi sedang sulit dan genting, pemerintah dituntut untuk bertanggung jawab, sedang masyarakat dituntut untuk patuh pada pembatasan aktivitas. Akhirnya ego muncul dari masing-masing pihak, sama-sama tak mau disalahkan dan menyalahkan yang lain.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika sejak awal pandemi, pemerintah sebagai induk pemutus kebijakan memikirkan dengan serius dan tidak menghindari tanggung jawab sebagai pengurus masyarakat dalam kondisi apa pun. Sayangnya di awal pandemi, pemerintah meremehkan virus Sars CoV-2 dan kelabakan saat ini.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto, menjelaskan bahwa jika kebijakan seperti sekarang, tanpa ada upaya komprehensif, tegas, dan tanpa tindakan-tindakan yang revolusioner, kita tinggal melihat angka-angka kematian atau penularan setiap hari naik (bbc.com, 22/6/2021).
Pemerintah memang membuat kebijakan, namun kebijakan yang diterapkan sangat tidak solutif. Lonjakan kasus positif Sars CoV-2 ini terjadi juga karena pelonggaran aktivitas manusia untuk menggerakkan roda ekonomi. Pemerintah terang-terangan menantang bahaya jika terus menggunakan kebijakan model seperti ini. Pemerintah tidak memberikan solusi efektif dan pencerdasan kepada masyarakat. Pemerintah hanya terlihat kokoh berpijak pada pemikiran kapitalis yang tidak akan mengorbankan keuntungan materi atas nama penyelamatan ekonomi.
Padahal semestinya pemerintah fokus pada penyelamatan nyawa terlebih dahulu. Jika manusia sehat, maka ekonomi dapat berjalan lancar. Namun tanpa pengaturan ekonomi yang benar, kesehatan manusia juga tidak akan terjamin. Maka seluruh sistem kehidupan dalam negara ini saling berinteraksi. Sistem ekonomi dan politik bersatu padu dalam membangun sistem kesehatan yang baik.
Inilah yang harus kita pahami bahwa sistem ekonomi dan politik yang benar harusnya berlandaskan pada pencipta dan pengatur kehidupan, yaitu aturan Allah Swt dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang jelas tahu kondisi manusia dan tentunya solutif. Maka semestinya pemerintah dan masyarakat sama-sama harus kembali menerapkan aturan dari Sang Pengatur Kehidupan, yaitu aturan Islam agar masalah pandemi bisa teratasi.
Pemerintah bertanggung jawab dengan posisi sebagai pengurus urusan rakyat dan masyarakat patuh kepada pemerintah karena ketaatan tersebut adalah bentuk implementasi ketaatan pada aturan pencipta.