Oleh: Kholda NajiyahÂ(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com – Warga Negara Indonesia (WNI) ramai-ramai ke Amerika Serikat (AS) untuk berburu vaksin COVID-19 dengan merek Pfizer, Moderna atau Johnson & Johnson. Seperti diketahui, efektivitas ketiga merek vaksin tersebut lebih tinggi dibanding Sinovac yang digunakan secara resmi oleh pemerintah Indonesia.
Dikutip ABC News, Senin (19/7/2021), salah satu WNI yang pergi ke AS adalah Mrs Razak. Kunjungannya ke AS sambil menengok anaknya yang sedang menyelesaikan pendidikan. Sekalian saja memanfaatkan promo wisata vaksin. â€Preferensi saya adalah Pfizer, tetapi kami tidak tahu kapan bisa mendapatkannya di Indonesia, sampai kami memutuskan kesempatan ke AS,” tambahnya.
Seperti diketahui, beredar promo wisata vaksin mulai biaya belasan hingga puluhan juta rupiah. Salah satu marketing agen wisata, Executive ATS Vacations, Josephine menjelaskan tingginya minat warga Indonesia pada program ini. “Antusiasmenya bagus sekali. Karena bisa jalan-jalan ke Amerika sekaligus vaksin gratis,” kata Josephine.
Apalagi, biaya yang ditawarkan terbilang miring. Paket 6 hari 3 malam di Los Angeles dibanderol dengan harga Rp13,99 juta. Lalu paket 27 hari 24 malam di Los Angeles dipatok Rp27,99 juta. Harga ini sudah termasuk tiket pesawat, hotel, makan dan minum, dan tes PCR di AS. Bagi orang kaya, uang itu tentu tak seberapa dibanding kekebalan tubuh yang didambakan. Itulah sebabnya, meski perjalanan cukup berisiko, tetap dilakukan.
//Kurangnya Solidaritas//
Memang hak orang kaya yang berduit untuk mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik. Namun, dalam kondisi warga Indonesia kebanyakan saat ini yang sedang dilanda krisis ekonomi, tindakan tersebut sungguh melukai hati nurani. Terpampang jelas jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin, termasuk dalam layanan kesehatan.
Saat rakyat kebanyakan berebut tabung oksigen, sekadar untuk bisa bertahan hidup, di sisi lain, orang kaya dengan mudahnya mendapat layanan kesehatan premium. Uang betul-betul berbicara. Saat rakyat kebanyakan menjerit karena pemberlakuan kebijakan pembatasan ketat dalam aktivitas ekonomi, di sisi lain orang kaya melenggang, berwisata untuk bersenang-senang. Sungguh mengiris kalbu.
Begitulah. Sistem sekuler kapitalisme telah melahirkan jurang kesenjangan, sekaligus mengikis rasa solidaritas antarsesama. Tidak ada saling kebersamaan, yang ada masing-masing berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Orang kaya itu tidak salah, karena ingin mendapat fasilitas layanan kesehatan yang terbaik. Toh, mereka mendapatkannya dengan harta mereka sendiri, tanpa merugikan siapa pun, tanpa merugikan negara. Tetapi yang salah adalah negara yang tidak mampu melayani mereka, sehingga harus mendapatkan layanan sampai ke negara AS yang jauh di sana. Sungguh mengusik kedaulatan di bidang kesehatan. Malu.
//Respons Menggelikan//
Lebih aneh respons pemerintah menghadapi fenomena ini. Bukan menginisiasi gerakan moral untuk menumbuhkan sikap solidaritas, hingga setidaknya “menghambat†kepergian orang-orang kaya ini. Lantas berusaha menyediakan layanan yang mereka butuhkan, membeli vaksin terbaik sesuai preferensi mereka. Malah, pemerintah akan meniru cara AS mendatangkan turis.
Ya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, berencana meniru wisata vaksin untuk menggalakkan kembali wisata ke Bali. Respons ini tentu saja menggelikan. Jika untuk warga negaranya sendiri saja belum mampu menyediakan layanan fasilitas vaksin yang lebih baik daripada yang ditawarkan AS, alih-alih untuk turis. Lagipula, dalam situasi ledakan kasus Covid-19, di mana warga negara asing saja ramai-ramai ditarik pulang ke negaranya, mana ada yang justru mau masuk ke Indonesia?
//Revolusi Mental//
Perginya orang berduit hingga ke Amerika “hanya†untuk mendapatkan vaksin terbaik, semakin meneguhkan lemahnya penanganan pandemi di negeri ini. Kita menyesalkan, andai saja negara ini memiliki kemampuan membuat vaksin Covid-19 sendiri, sebagaimana negara maju lainnya. Tentu tidak perlu menghamburkan sumber daya hingga ke mancanegara.
Ya, begitulah. Mental kemandirian bangsa belum ada, yang ada adalah mental impor. Mental sebagai konsumen dan bukan produsen. Memang, kita maklum bahwa untuk mendapatkan vaksin harus berburu dengan waktu. Ketika produksi dalam negeri belum mampu, pemerintah harus buru-buru preorder ke produsen vaksin yang lebih dulu mampu membuatnya saat itu. Dan, Sinovac yang pertama dan cekatan menerima pesanan vaksin dibanding merek belakangan.
Mengorder vaksin dalam jumlah ratusan juta dosis bukanlah perkara mudah. Indonesia harus berebut dengan negara-negara lain di dunia untuk mendapatkan vaksin dengan segera. Karena itu, maklum jika belum mampu memberikan vaksin yang terbaik saat ini. Hal Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi penguasa akan pentingnya kedaulatan di bidang kesehatan. Negara besar dengan jumlah penduduk besar, seharusnya sudah mandiri dalam hal vaksinasi. Bahkan sejak puluhan tahun lalu, hingga ketika pandemi seperti saat ini, telah memiliki sistem yang mumpuni untuk mengatasi.
//Edukasi Vaksin//
Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan edukasi vaksin kepada rakyatnya dalam memerangi pandemi. Bukan buru-buru membuka sektor pariwisata saat lonjakan kasus sedang tinggi-tingginya. Keberhasilan menekan angka penularan, salah satunya adalah dengan vaksinasi. Namun, tingkat penolakan, khususnya di kalangan ibu-ibu dan lansia masih cukup tinggi.
Penolakan terjadi karena minimnya literasi, kurangnya edukasi dan banyaknya hoax-hoax yang memperkeruh situasi. Pernyataan-pernyataan kontravaksin sangat mengganggu situasi yang sedang panas, namun tidak ada upaya gerakan moral dari penguasa untuk meredamnya. Rakyat dibiarkan bertikai sendiri tanpa ujung, antara provaksin dan antivaksin.
Padahal jelas-jelas wabah ini sangat berbahaya. Cara mengatasi pandemi secara global, sistemik dan masif memang dengan vaksinasi. Menjaga imun dengan olahraga dan makan sehat adalah solusi individual. Vaksinasi adalah solusi komunal. Kita, anak-anak dan cucu kita hari ini, bisa bebas dari penyakit-penyakit menular berbahaya seperti polio, campak, hepatitis dan penyakit menular lainnya, bukan hanya karena faktor imunitas pribadi. Bukan cuma karena minum ramuan-ramuan tradisional. Bukan karena sekadar yakin dan tawakal. Bukan.
Itu karena keberhasilan dunia kesehatan menemukan vaksin untuk mencegah tertularnya penyakit berbahaya. Sekali lagi, karena penemuan di dunia kesehatan yang mampu mengubah dunia kesehatan secara revolusioner. Penemuan revolusioner yang menyelamatkan manusia dari bencana kematian massal.
Sejarah dunia mencatat itu semua. Pembahasan vaksin vs antivaksin seharusnya sudah selesai puluhan tahun lalu sejak polio, campak, hepatitis dll bisa ditekan penyebarannya dari dunia ini. Menyelamatkan kita hari ini, dan anak cucu kita kelak di kemudian hari. Jadi, solusi ranah personal vs komunal itu semua harus diikhtiarkan. Dan, yang memimpin solusi ini tentu saja penguasa.
Namun, sulit mengharapkan penguasa yang tidak menerapkan sistem Islam. Terlalu banyak pernyataan yang tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Kepercayaan rakyat turun drastis di titik nadir. Apapun kebijakannya selalu blunder. Rakyat kehilangan rujukan. Rakyat kehilangan perisai dan penggembalanya.
Semoga dunia segera bebas dari pandemi Covid-19, seiring gerakan vaksinasi global yang menggeliat di seluruh penjuru dunia. Namun yang terpenting, semoga dunia segera bebas dari cengkeraman sistem sekuler kapitalis, berganti dengan sistem Islam, agar rakyat segera memiliki penggembala dan perisai yang melindungi mereka.(*)