Oleh : Ayu Chandra (Pemerhati Sosial, tinggal di Malang)
MuslimahTimes.com–Sudah satu setengah tahun pandemi Covid-19 membersamai Indonesia. Bukannya hilang, wabah malah semakin tak terkendali. Per 6 Juli 2021, tercatat rekor penambahan 31.189 kasus baru positif Covid-19. Kondisi lonjakan kasus positif Covid-19 ini akhirnya dijawab pemerintah dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berlaku 3-20 Juli 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali. Bahkan per tanggal 20 Juli kemarin pemerintah mengumumkan untuk perpanjangan PPKM dengan istilah PPKM level 1-4. Hal ini termaktub dalam Instruksi Mendagri No. 22 Tahun 2021 tentang PPKM Level 1-4 di wilayah Jawa dan Bali.
Sebelumnya, Menteri Agama juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 17/2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di tempat ibadah selama PPKM Darurat. Dengan surat edaran ini kaum muslim kembali dilarang melakukan syiar Islam, seperti menyelenggarakan takbiran, shalat Idul Adha di lapangan/masjid, dan pelaksanaan ibadah kurban pun diperketat.
Pengetatan aktivitas masyarakat juga dilakukan yang mencakup 100 persen WFH (work from home) untuk sektor non-esensial, 50 persen WFO (work from office) untuk sektor esensial, dan 100 persen WFO untuk sektor kritikal. Kegiatan belajar mengajar 100% dilakukan daring. Mall, toko, dan pasar dibatasi hingga jam 8 malam dengan kuota pengunjung 50%. Kartu vaksin juga wajib ditunjukkan untuk melakukan perjalanan dan wajib menunjukkan hasil swab PCR H-2 untuk pesawat udara serta swab antigen (H-1) untuk transportasi darat dan laut.
PPKM Darurat Tidak Efektif dan Kontradiktif
Banyak ahli yang meragukan kebijakan ini akan berhasil. Sebab tidak ada perbedaan kondisi saat PPKM sekarang dengan kondisi ketika diberlakukan peraturan sebelumnya seperti PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, dan Penebalan PPKM Mikro. Buktinya hingga kini kondisi ekonomi kian suram dan pandemi semakin mencekam. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra mengusulkan untuk tidak memperpanjang kebijakan PPKM Darurat. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak efektif dan pemerintah harus kembali mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan No. 6 Tahun 2018. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap warga berhak mendapatkan jaminan kebutuhan selama karantina.
Di sisi lain rakyat pun sudah bosan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sejak awal tidak memihak rakyat, bahkan terkesan mendzalimi. Rakyat masih merasakan adanya conflict of interest di level pemangku kebijakan. Sehingga kebijakan terkait pandemi sering tidak konsisten. Contohnya pemerintah sebelumnya sempat memberlakukan pembatasan aktivitas di rumah ibadah. Tetapi di saat yang sama, tempat publik lain seperti pasar, mall, restoran, dan tempat wisata masih dibuka. Pemerintah juga beberapa kali memperketat aktivitas masyarakat di dalam negeri. Sekolah dibuat daring, mudik dilarang, warga yang bepergian antar daerah diminta menunjukkan tes swab antigen dan surat keterangan telah vaksin, dan lain-lain.
Namun, pemerintah justru membiarkan akses penerbangan internasional terbuka bagi keluar masuknya WNA. Hal ini terungkap dari beredarnya video tenaga kerja asing (TKA) Cina yang mendarat di Bandara Sultan Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan pada Sabtu (3/7). Kebijakan tak konsisten ini lah yang membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah lenyap. Ketika rakyat sudah geram dan sakit hati maka kebijakan seperti apapun yang dibuat penguasa tidak akan mau dipatuhi lagi oleh rakyat.
Rakyat Butuh Keadilan
Sejatinya, rakyat dapat mengindera ketidakadilan di setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Rakyat tak buta, mereka melihat bagaimana ratusan TKA asal negara Tirai Bambu masuk ke Sulawesi saat PPKM Darurat. Namun, pada saat yang sama, ada penjual bubur di Kota Tasikmalaya terkena denda sebesar 5 juta rupiah karena masih melayani pelanggannya yang ingin makan di lokasi.
Jika kita flashback lagi, sudah beberapa kali rezim ini tak konsisten dan tidak sungguh-sungguh menyelesaikan wabah, terutama dalam kebijakan masuknya TKA. Pada tanggal 8 Mei 2021, sebanyak 157 TKA masuk ke Indonesia. Tak selang lima hari berikutnya, datang lagi 110 orang TKA melalui Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan, pada saat yang sama, diterapkan aturan larangan mudik bagi masyarakat. Mudiknya dilarang, TKA terus saja berdatangan. Pada bulan April 2021, ada 117 warga negara India yang datang ke Indonesia lewat Bandara Soekarno-Hatta. Padahal menurut data Kemenkes, 12 orang di antara warga India itu dinyatakan positif Covid-19. Tak berselang lama dari kedatangan WNA dan TKA tersebut, tiba-tiba diumumkan varian Delta telah masuk ke Indonesia.
Fakta ini menunjukkan pemerintah masih mengizinkan masuknya TKA secara bertahap dengan alasan untuk memberikan transfer teknologi dan bekerja di proyek strategis nasional. Menurut data imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, sebanyak 24.594 WNA telah memasuki Indonesia dalam rentang waktu 1 Juni-6 Juli 2021. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kasus Corona di Indonesia juga dapat disebabkan masuknya varian baru yang datang dari luar negeri. Ketika negara lain justru memperketat perjalanan internasional antar negara, Indonesia malah tetap santai. Ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat inilah yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka kepada pemerintah.
Masuknya TKA, Efek Domino Kebijakan Sistem Kapitalistik
Terus berdatangannya TKA ke Indonesia merupakan konsekuensi dari perjanjian regional yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara lain. Perizinan yang sangat mudah bagi TKA untuk bekerja di dalam negeri adalah wujud diterapkannya sistem ekonomi liberal kapitalistik di negeri ini. Adanya kebijakan UU Cipta Kerja yang disahkan di tengah pandemi juga sangat mempermudah perizinan TKA. Buktinya, semenjak Omnibus Law UU Ciptaker No. 11/2020 itu diberlakukan, TKA yang masuk tak perlu izin tertulis kepada Kemenaker dan cukup mengisi form RPTKA. Ini berbeda dengan peraturan sebelumnya di mana TKA harus memiliki surat izin dulu. Jika tidak ada surat izin, maka tetap dilarang datang ke Indonesia.
Oleh karena itu, rakyat jangan “cemburu”, karena masuknya TKA Cina ke negeri ini justru telah “sesuai” dengan peraturan yang ada. Kebijakan itu memberikan perlindungan hukum dari pelarangan masuk ke Indonesia, karena alasan yang mereka pakai adalah untuk bekerja, bukan berwisata. Meskipun kedatangan TKA diklaim sudah sesuai dengan prosedur dan pemeriksaan kesehatan yang ketat oleh pihak imigrasi, akan tetapi tidak bisa menjamin di antara WNA itu tidak membawa virus varian baru. Buktinya, negara kita kebobolan masuk varian Delta yang terdeteksi pada 28 warga Kudus beberapa bulan yang lalu.
Kalau kita mau mengkaji, semua sumber permasalahan ini akibat pemerintah terlalu membebek dan bergantung pada ideologi kapitalisme. Negara tidak mampu mandiri dalam merumuskan kebijakan yang memprioritaskan rakyat, utamanya dalam hal penyelamatan sistem kesehatan dan nyawa rakyat lebih dahulu. Bukan hanya berpikir bagaimana caranya memperbaiki perekonomian saja, tapi juga perhatikan apakah rakyat malah mati perlahan akibat kebijakan yang tidak jelas? Ekonomi kolaps bisa dipulihkan, tetapi jika kesehatan ambruk, nyawa menjadi taruhan. Inilah akibat diterapkannya ideologi kapitalisme. Pelayanan kepada rakyat dinomorsekiankan, pelayanan kepada para kapitalis dan corporate asing lebih diutamakan.
Islam adalah Solusi
Rakyat semestinya segera menyadari bahwa situasi ini akan terus terjadi. Rakyat tidak bisa berharap tiba-tiba ada pintu (jalan keluar) darurat, kecuali pintu itu justru menjerumuskan mereka pada kondisi yang lebih buruk lagi. Semua kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada asas kemanfaatan semata, karena kebijakan itu lahir dari produk pemikiran kapitalistik dan justru membuka jalan penjajahan. Kita membutuhkan perubahan yang mendasar, yaitu koreksi fundamental atas asas pengaturan kehidupan kita. Aturan yang mampu menyelesaikan problem kehidupan manusia dari A sampai Z dengan akhir yang diridai oleh Sang Pencipta (Allah Swt). Islam telah memberikan tuntunan terbaik ketika manusia diuji dengan wabah, bagaimana cara menghadapinya, baik level individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Apalagi ketika negara terpaksa harus mengambil kebijakan darurat, kondisi rakyat tak akan sampai sekarat, bahkan sampai tercegah dari pelaksanaan ibadah. Karena sejak awal, rakyat telah settle dan tingkat kesejahteraan mereka bukan dalam kondisi kolaps.
Dalam Islam, fungsi negara adalah ri’ayah syu’unil ummat, yakni mengurusi urusan umat. Jika negeri ini berlandaskan kepada ideologi yang shohih/benar, yaitu Islam, maka negara mampu berperan sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Negara akan mengutamakan pemenuhan hajat asasi/ kebutuhan primer bagi rakyat. Negara akan memproduksi SDM dengan skill yang mumpuni supaya sumber daya alam di negeri ini bisa dikelola mandiri. Tidak hanya menjadi ban serep ekonomi dengan propaganda kemandirian ekonomi ala kapitalis.
Terdapat perbedaan yang jauh antara sistem kapitalis dan sistem Islam dalam penyelenggaraan urusan bernegara. Dalam sistem kapitalis kebijakan bersumber pada asas kepentingan/manfaat yang sifatnya materiil sehingga suatu keputusan ditetapkan dengan asas apakah ia menguntungkan atau merugikan. Sudah saatnya beralih pada sistem Islam yang menjadikan halal haram (seperangkat aturan syariat) menjadi pondasi dalam membuat kebijakan/peraturan.
Kemandirian ekonomi ala Islam berbicara tentang bagaimana rakyat dapat bekerja mencukupi hajat hidup keluarganya. Bukan bagaimana rakyat menciptakan lapangan kerja sendiri untuk memenuhi hajat hidupnya. Kalau seperti itu sama saja negara “cuci tangan” dari tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Negaralah pihak yang seharusnya menyediakan lapangan kerja atau memberi modal usaha bagi rakyat.
Itulah perbedaan fungsi/peran negara yang ditopang dengan sistem kapitalisme dan negara yang ditegakkan dengan sistem Islam. Tinggal kita pilih. Mau memilih hidup diurusi negara dengan penerapan syariat Islam kafah atau lebih suka memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa peran negara di dalamnya?