Dr.Hj.Septimar Perihatini,M.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Umat)
Â
MuslimahTimes.com–Fenomena hijrah bukan lagi hal yang asing, bahkan sudah mulai menjadi tren di kalangan muslim. Hijrah dalam artian perubahan secara individu sudah biasa. Yang luar biasa adalah ajakan hijrah bersama.
Miniatur hijrah telah dicontohkan Rasulullah Saw yang dilakukan bersama-sama dengan para sahabat. Setelah masing-masing ditempa dengan iman dan takwa, terbentuk sebuah ikatan perasaan dan pemikiran yang sama dan melahirkan sikap yang tidak berbeda. Risiko, tantangan, hambatan mulai dari celaan, hinaan bahkan siksaan dan tekanan menjadi hari-hari ujian dalam mempertahankan iman. Sahabat menjadi kader-kader dakwah dan penebar risalah yang tangguh, setitik tawaran kenikmatan dunia tidak membuat mereka berpaling kembali ke masa jahiliahnya. Inilah istikamah, komitmen dalam keyakinan yang sudah tertancap kuat demi menggapai janji Allah dengan tawaran jannah. Kenikmatan yang tidak ada bandingnya, menjadi tempat abadi nanti disana.
Bahu mambahu, saling menguatkan dalam satu barisan sudah menjadi tekad yang bulat terpatri dalam jiwa-jiwa mulia sahabat Rasulullah. Kesetiaan mereka pada Rasul adalah sebagai janji atas keislaman mereka. Mengikuti Rasulullah sebagai utusan yang membawa syariat Allah Swt. Hingga datang seruan hijrah, yaitu berpindahnya Rasulullah dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Prosesi hijrah yang penuh makna dan menjadi catatan sejarah dunia, sebab hijrah inilah yang menjadi tanda batas penancapan tonggak kemenangan Islam. Keluar dari negeri kufur menuju tempat penerapan Islam secara sempurna. Madinah adalah saksi sejarah awal kejayaan Islam hingga memiliki kekuatan yang mampu menyebar hingga 2/3 dunia dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Semua keberhasilan ini, bukan karena peran Rasulullah secara individu, namun bagian dari kerjasama para sahabat. Berhijrah bersama-sama, walau harga mahal yang harus dibayar sebagai jaminannya. Meninggalkan harta benda dan tanah kelahiran, terpisah dengan sanak keluarga dan pengorbanan lainnya. Semua rela diwakafkan demi kecintaan pada Allah dan Rasul diatas segalanya.
Sejarah akan berulang, di samping Allah telah menjanjikan kemenangan kembali atas umat ini dan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah. Sebagai tanggung jawab dan kewajiban di hadapan Allah, sebagai hamba yang beriman kita tetap dituntut untuk melakukan kaidah kausalitas, memberikan kontribusi dalam upaya merealisasikan kemenangan kembali. Hijrah dalam makna hakiki, untuk keluar dari tatanan kehidupan sekuler. Kehidupan yang tidak memberikan manfaat baik dunia maupun akhirat.
Sebuah proyek besar umat, tentu saja tidak akan sanggup dipikul secara individu. Maka hijrah bersama sangat perlu, hijrah menyatukan visi dan misi, merancang masa depan umat yang baru. Menjadikan masa depan ini bagian yang sangat penting untuk diperjuangkan. Menjadi umat yang mulia, umat terbaik dalam urusan iman dan takwa.
Sebagaimana Allah memerintahkan takwa dalam Al-Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(TQS.al Hasyr : 18)
Perubahan dalam hidup adalah suatu kepastian. Begitupun hijrah untuk mengembalikan kejayaan Islam pun menjadi sebuah keniscayaan. Umat Islam akan mampu kembali merealisasikannya. Menyatukan pikiran, menyatukan misi dan menyatukan tujuan hidup. Jika mampu menjawab dengan sahih maka akan ditemukan sebuah konsep berpikir yang benar. Konsep berpikir menuju perubahan, dengan landasan syariat Islam.
Sebab serangan budaya dan serangan pemikiran menjadi salah satu target musuh-musuh Islam dalam membuat umat ini semakin lemah. Untung rugi disandarkan pada cara pandang Kapitalis yang sarat asas manfaat. Kerja keras mereka telah berhasil mengubah arah sudut pandang umat ini dengan kacamata sekuler, terbelenggu dalam ikatan tali kekangnya. Memisahkan agama dari kehidupan. Pandangan inilah yang menghambat kebangkitan. Sekalipun ada semangat untuk berubah. Semangat saja tidak cukup, harus dibarengi dengan konsep berpikir yang benar. Berpikir yang merdeka tanpa dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam.
Merdeka adalah terbebas dari bentuk penjajahan apa pun, baik fisik ataupun nonfisik. Sekalipun kita hidup di negeri yang tidak terjajah secara fisik, dan konon katanya telah merdeka dari penjajah, realitanya tetap banyak tergantung pada dominasi dan intervensi asing. Tidak memiliki kebebasan dalam menentukan sikap apalagi mengatur negeri sendiri dengan aturan Islam. Seorang pemimpin Islam saja tidak cukup, selama sistem yang dijalankan bukan Islam. Sebab penerapan hukum Islam adalah bukti berdaulatnya kekuasaan Islam dalam menata negara tanpa campur tangan asing. Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Islam memiliki khasanah ilmu dan konsep pemikiran yang komprehensif, tidak membutuhkan kepada pemikiran lain di luar Islam dalam menata kehidupan. Dan dorongan masuk ke dalam Islam secara kafah sebagai bukti kesempurnaan Islam.
Manusia diciptakan dengan kemuliaan dikaruniai akal. Akal menjadi perangkat dalam berpikir. Berpikirlah maka anda akan merdeka. Kemerdekaan berpikir dibatasi oleh kemampuan dalam menalar multi aspek dari satu fenomena. Jika seseorang sudah mengakui tiada Tuhan selain Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw utusan Allah maka seseorang itu harus memerdekakan dirinya dari ketergantungan selain Allah Swt. Inilah makna merdeka dalam berpikir.
Tentang akal, dalam Al-Qur’an al-Karim ditemukan kata kerja aqala dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing sebanyak 22 dan 24 kali. Terulangnya kata “akal” mengisyaratkan pentingnya peranan akal.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-Nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.”(TQS.al Baqarah[2]Â : 165)
Melalui akal, dan berpikir akan lahir kemampuan menjangkau pemahaman terhadap sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada puncak ketakwaan. Maka kemerdekaan berpikir dengan menggunakan metode berpikir yang diarahkan dalam Islam akan kembali mengantarkan umat ini bangkit. Lepaskan segala ikatan pemikiran-pemikiran kufur yang membelenggu. Berusaha membangun pemikiran yang cemerlang (mustanir) hingga mendapatkan satu kesimpulan bahwa satu-satunya solusi dalam berbagai masalah yang melanda negeri-negeri Islam adalah karena ketiadaan Islam. Lalu berupaya bersama-sama saling bersatu mewujudkannya. Tidak ada dikotomi dalam pemikiran baik bagi seorang ilmuwan, saintis, agama semua menyatu dalam pusaran iman dan taqwa. Sehingga dalam waktu yang bersamaan terbentuk kembali masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan yang sama dalam sebuah bingkai aturan yang sama. Inilah hasil dari kemerdekaan berpikir hingga level berpikir secara multidimensi.[]