Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–Pandemi tak hanya menguras air mata karena hilangnya orang-orang tercinta, juga menyisakan pilu bagi mereka yang ditinggalkannya. Khususnya anak-anak yang tiba-tiba menjadi yatim piatu dalam sekejap. Salah satunya Alviano Dava Raharja (8). Anak kelas 3 SD ini tiba-tiba kehilangan “dua sayapnya”, ibu dan ayahnya. Lina Safitri (31) dan Kino Raharjo (31) meninggal karena terpapar Covid-19 pada Juli 2021.
Masih banyak “Vino-Vino” lainnya di seluruh dunia. Bahkan secara global, jumlahnya bisa mencapai jutaan. Lembaga riset The Lancet memprediksi, ada 1.562.000 anak kehilangan, setidaknya satu orang tua yang meninggal karena Covid-19 sejak 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021 (kompas). Bagaimana nasib anak-anak yang kehilangan orang tua ini? Sudah siapkah pemerintah mengawal kehidupan mereka? Bagaimana Islam menyiapkan solusi hakiki atas persoalan ini?
Tanggung Jawab Negara
Keberadaan anak yatim piatu terus bertambah seiring jatuhnya korban dari para orang tua anak-anak ini. Sebagian mereka masih memiliki kerabat terdekat, seperti kakek-nenek dari kedua belah pihak, paman dan bibinya. Namun tidak sedikit yang menjadi sebatang kara. Mereka membutuhkan perhatian khusus, menyangkut keberlangsungan masa depannya.
Anak-anak yang tak punya lagi penjamin dalam hidupnya ini, sebagian harus menerima nasib, tinggal di panti asuhan. Sementara jumlah panti asuhan di Indonesia masih sangat minim. Kemensos mencatat, pada 2018, jumlah panti asuhan di Indonesia hanya 5.824, sedangkan panti asuhan yang terakreditasi 1.615 (Harian Nasional, 25/7/21).
Lebih miris lagi, ternyata jumlah panti asuhan yang notabene milik pemerintah pusat hanya 9 dan milik pemerintah daerah hanya 88. Sisanya, 5.727 panti dikelola oleh elemen masyarakat. Dari sini terlihat, kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap anak-anak yatim ini. Padahal dalam UUD 45 dijelaskan bahwa anak yatim dan orang miskin dipelihara oleh negara. Faktanya, dipelihara oleh sesama masyarakat.
Keberadaan panti asuhan yang dikelola elemen masyarakat ini pun, ternyata tidak seluruhnya telah dijangkau oleh pemerintah. Buktinya, belum ada setengahnya yang diakreditasi. Artinya, tidak semua terpantau, apakah panti mampu menjalankan fungsinya dengan benar. Apakah diketahui, bagaimana nasib mental dan spiritual anak-anak yatim ini. Tidak ada data, apakah mereka hidupnya benar-benar layak, aqidahnya terjaga dan pendidikannya terjamin.
Islam Muliakan Yatim
Anak yatim yang masih memiliki kerabat, nafkahnya ditanggung oleh keluarga ayahnya. Sebab, nafkah seorang anak berada di jalur bapak, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya: “Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkah dengan hartanya.” (QS An-Nisa’ 34).
Rasulullah saw juga menyatakan, siapa saja yang mengasuh atau memelihara anak yatim akan berada di surga bersama dirinya. Imam Al-Mardawi rahimahullah menjelaskan, “Termasuk yang wajib dinafkahi seseorang (bagi anak) adalah bapaknya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Serta anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah (bagi bapak).”
Demikian juga, Rasulullah saw bersabda: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, ‘kemudian beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau serta agak merenggangkan keduanya” (HR.Bukhari).
Namun, untuk menjamin berlangsungnya nafkah tersebut, ada peran negara. Pemerintah wajib “memaksa” pihak-pihak di atas, selama mampu, untuk menjamin anak yatim tersebut. Memastikan bahwa keluarga besarnya mampu mengasuh dan mendidik anak yatim tersebut dengan layak.
Sementara yatim yang tidak lagi memiliki kerabat, sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Termasuk menyediakan tempat tinggal yang layak, baik panti, pesantren maupun asrama. Lalu memberikan hak mereka untuk tumbuh normal dalam pengasuhan yang baik dan penuh kasih sayang.
Memang, tidak diharamkan masyarakat menyantuni anak-anak yatim dan memelihara mereka. Bahkan ini termasuk amalan yang sangat mulia. “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik,” (QS. Al-Baqarah [2]: 220).
Namun, tentu tidak cukup jika menyerahkan kepada elemen masyarakat. Negaralah yang harus berkontribusi besar, bukan cuci tangan dan menyerahkan pada lembaga sosial. Sebab, jika negara tidak ikut andil, berarti mengabaikan dan menelantarkan syariat Allah dalam pengelolaan yatim.
Selamatkan Generasi
Pandemi adalah salah satu kondisi memilukan dalam sejarah umat manusia, selain perang, bencana alam dan kelaparan. Anak-anak, lagi-lagi adalah korban yang paling tak berdaya menghadapi situasi ini. Tentu mereka tidak bisa berdiri sendiri untuk menyelesaikan persoalan hidup mereka yang masih panjang.
Peran negara sangat strategis dalam menjamin generasi yatim ini. Sebab mereka adalah calon generasi penerus bangsa yang akan menjadi bagian dari anggota masyarakat di masa mendatang. Penting untuk memastikan kesehatan fisik dan mental, serta jaminan pendidikan dan kesehatan mereka.
Negara wajib memastikan bahwa masyarakat mendirikan panti asuhan harus diniatkan dalam rangka meraih rida Allah, bukan mencari keuntungan di atas penderitaan anak-anak yang kurang beruntung ini. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan serta pengasuhan yang profesional.
Tanpa bermaksud buruk sangka pada para pengelola panti, pemantauan ini penting untuk melindungi hal-hak anak yatim ini. Seperti, hak mereka untuk tinggal di lingkungan yang layak, mendapat pendidikan agama dan sains yang memadai, makanan dan minuman yang bergizi, kesehatan yang terjamin dan pengasuhan yang penuh kasih sayang.
Jangan sampai panti asuhan menjadi tempat terjadinya kekerasan, perdagangan manusia dan eksploitasi anak. Selama ini, tak sedikit panti yang dibangun ala kadarnya oleh elemen masyarakat yang dananya juga minim karena hanya mengandalkan belas kasihan kaum dermawan. Fasilitas, sarana dan prasarana akhirnya tidak diperhatikan. Seperti toilet yang tidak layak, tempat tidur yang tidak memadai, sekadar yang penting berlabel “panti asuhan” sehingga mampu menyedot bantuan.
Seperti pernah terjadi di Panti Asuhan Tunas Bangsa di Kota Pekanbaru yang diduga terjadi kekerasan dan eksploitasi, hingga mengakibatkan seorang bayi di tempat itu meninggal dunia. Ketika lokasinya disidak, kondisinya sangat mengenaskan. WC sangat jorok, ruang kesehatan lembap penuh air hujan, tempat jemuran kumuh, dan makanan yang diberikan sangat tidak layak, bahkan ada ulatnya.(Republika, 27/10/17)
Kondisi seperti ini menjadi evaluasi bagi pemerintah. Sudahkah memastikan panti-panti yang dikelola perorangan atau yayasan ini layak? Jangan menunggu laporan setelah kejadian, tetapi seharusnya disidak secara berkala, atau jika perlu diambil alih oleh negara. Para pengelola hendaknya juga diseleksi dari pihak-pihak yang mampu, mendapat pembekalan atau pelatihan tentang mengasuh dan mendidik anak secara benar.
Tentu saja, jika pemerintah dan masyarakat masih menerapkan asas sekuler, tidak akan mampu menjamin kehidupan para yatim. Meski sudah diamanatkan dalam undang-undang, nyatanya tidak sesuai dengan fakta. Maka, hanya dengan asas Islam saja jaminan kelangsungan hidup anak yatim dapat terwujud secara hakiki.(*)