Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–Hampir dua tahun masa pandemi, banyak pelajaran hidup yang kita alami. Termasuk persoalan kesehatan, baik fisik maupun mental. Pandemi juga menjadi pembuktian, bagaimana kita mampu menyikapi setiap persoalan dengan sudut pandang akidah dan mendudukkan solusi berdasarkan syariat. Banyak hikmah yang bisa kita gali karena adanya pandemi. Antara lain:
1. Menguji Kekuatan Akidah
Kita diuji pandemi agar mampu mengaplikasikan, sejauh mana keyakinan kita akan kekuasaan Allah Swt. Kita diberi pilihan, apakah percaya atau tidak dengan keberadaan makhluk kecil yang tidak kasat mata itu. Sebab, hari ini, masih banyak elemen masyarakat yang menyangkal akan keberadaan virus tersebut. Padahal para ahli sudah membuktikan keberadaannya, namun tetap saja tidak percaya bahwa Covid-19 itu ada.
Yakin bahwa virus ini ada dan memiliki qadar atau sifat khusus, adalah bagian dari iman kepada Allah Swt. Kita harus memahami konsep qadar, bahwa Allah Swt menciptakan makhluknya dengan karakteristik tertentu, termasuk karakteristik virus yang menular ini. Keyakinan ini sangat penting, karena konsekuensinya berpengaruh terhadap ikhtiar menyikapi dan memperlakukan virus ini.
Kita menjadi patuh terhadap protokol kesehatan, karena paham bahwa qadarnya virus adalah menular. Kita menerima konsep karantina untuk mencegah penularan, mengendalikan diri agar tidak mudah bepergian tanpa kepentingan mendesak dan akhirnya mengencangkan doa-doa agar diberi kesehatan dan keselamatan. Juga, menguatkan permohonan kepada Allah Swt agar segera mengangkat pandemi ini, karena hanya kuasa Allah semata pandemi ini bisa kita lalui.
Jadi, kepatuhan kita kepada protokol kesehatan dan solusi-solusi yang disarankan para ilmuwan atau pemangku kebijakan, kita patuhi semata-mata karena keyakinan kita kepada Allah Swt. Bukan yang lain.
2. Mensyukuri Kesehatan Fisik
Pandemi mengajarkan kita untuk lebih memerhatikan kesehatan fisik, yang selama ini kurang kita syukuri. Akhirnya semua orang beramai-ramai menjaga imunitas tubuh, lebih memerhatikan asupan makanannya, lebih rajin berjemur dan berolahraga. Mengasah rasa syukur kita atas anugerah hidup ini.
Kesehatan fisik tubuh kita, secara pribadi adalah tanggung jawab kita masing-masing. Sangat tergantung pada cara kita memperlakukan fisik kita pribadi. Bukan tanggung jawab orang lain. Kita memiliki pilihan untuk menjadi sehat atau tidak. Pilihan untuk ikhtiar menjaga amanah berupa fisik, yang kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Oleh karena itu, tidak boleh sebagai muslim kita bersikap masa bodo dan seenaknya menzalimi tubuh kita. Menjaga kesehatan fisik adalah tugas nomor satu, dibandingkan kenyamanan-kenyamanan yang diperoleh tetapi dengan mengorbankan kesehatan. Misal, ingin tampil langsing, tetapi dengan diet ketat yang menyiksa. Tidak mau pakai masker, hanya karena tidak bisa menampilkan kecantikannya. Tidak mau berolahraga, karena berbagai alasan yang sebetulnya adalah kemalasan.
3. Ujian Kesehatan Mental
Masa-masa pandemi mengubah pola perilaku kita sebagai makhlul sosial. Ini adalah masa-masa yang berat. Untuk itu, menjaga diri agar tetap waras adalah sangat penting. Kendalikan emosi, redam amarah dan turunkan tekanan. Cobalah realistis dan lebih rileks setiap menghadapi masalah.
Bagi mereka yang gemar bersosialisasi, pandemi sangat menyiksa karena tak bisa bertatap muka. Bagi yang bisa beraktivitas di luar rumah, ini masa-masa yang sangat membosankan karena harus terkungkung lebih banyak di rumah. Di sini mental kita diuji, bagaimana agar tetap waras.
Apalagi jika ada ujian seperti terguncangnya ekonomi, memicu tekanan hidup yang berujung stres. Di sini harus tetap positif thinking, bahwa Allah Swt pasti menyiapkan jalan keluar. Yakin rezeki sudah diatur-Nya. Tetap sabar berikhtiar.
Selain itu, pola interaksi suami-istri atau orang tua-anak menjadi lebih intensif dibanding hari-hari normal. Untuk itu sangat dibutuhkan empati dan toleransi lebih tinggi dalam berinteraksi, menjaga diri dari konflik-konflik kecil hingga besar. Dibutuhkan kekompakan dan kebersamaan dalam menghadapi setiap persoalan. Justru, ini seharusnya menjadi momen untuk saling menguatkan hubungan dalam keluarga.
4. Mengasah Jiwa Kemanusiaan
Pandemi sangat menguji kekuatan jiwa sosial kemanusiaan. Di sini kita tidak bisa lagi egois, memikirkan diri sendiri. Kepekaan kita diuji. Kebersamaan kita dipertanyakan. Kepedulian kita dipertaruhkan. Bukan sekadar membantu secara real, juga bersatunya kita dalam penyikapan terhadap pandemi. Apakah kita memilih cuek, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat banyak, ataukah kita peduli?
Jika diberi kemampuan, jangan ikut menjadi masalah, tapi jadilah solusi. Dalam hal informasi, jika tahu kebenaran, bersuaralah tanpa takut. Sebaliknya, jika tahu kesalahan, apalagi hoax, jangan ikut menyebarkan agar tidak terjadi kegaduhan. Hentikan saling fitnah. Jangan memprovokasi pada perpecahan. Misal, yang tidak percaya Covid-19 itu ada, seharusnya menjaga perasaan saudara-saudara kita yang sedang berjuang antara hidup dan mati menghadapi serangan virus ini. Bukannya malah menjatuhkan mental dengan mengatakan suatu kebohongan.
Tentu masih banyak hikmah lain yang bisa kita gali. Termasuk mengingatkan pada kita, bahwa kematian itu sangat dekat. Semoga jika saat itu tiba, kita kembali ke hadapan Allah Swt dengan cara yang diridai.(*)