Oleh. Fatimah Azzahra, S. Pd
Muslimahtimes– “Apa arti ijazah yang bertumpuk jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk? ” – Najwa Shihab.
Sebuah pengingat dari presenter ternama di negeri ini. Banyak yang belajar hingga keluar negeri, pulang membawa gelar yang berderet rapi namun ternyata ia minim akan kepekaan dan kepedulian. Padahal dirinya sudah disematkan status sebagai wakil rakyat dan mendapatkan kursi.
Bonus Fantastis
Melalui Perpres Nomor 77 Tahun 2021 presiden menetapkan uang penghargaan bagi wakil menteri yang telah berakhir masa jabatannya. Besaran uang yang diberikan senilai Rp580 juta untuk satu periode masa jabatan. (Kompas.com, 1/9/2021)
Dilansir dari laman galajabar, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg), Faldo Maldini, mengatakan bahwa keputusan Jokowi memberikan uang bonus tersebut wajar adanya. Karena sudah mengurusi jutaan rakyat Indonesia. (3/9/2021)
Jumlah yang fantastis, ratusan juta uang rakyat digelontorkan pada para wakil menteri yang akan purnabakti. Wajar katanya sebagai apresiasi setelah berlelah mengurusi rakyat negeri ini. Namun, wajarkah jika dilakukan di tengah rakyat yang masih terhimpit dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesulitan lainnya?
Kapitalis Tak Punya Sense of Crisis
Inilah potret buruk sistem kapitalisme. Jabatan bagi mereka adalah ladang untuk mencari uang dan keuntungan diri juga sanak famili. Jangan tanyakan posisi rakyat karena itu hanya diperhitungkan saat menjelang pemilu.
Berkali-kali kita dipertontonkan hilangnya sense of crisis para pejabat negeri. Mereka tega bergelimang uang dari rakyat untuk kebutuhan yang tidak esensial, pakaian dinas misalnya. Mereka tega meminta diistimewakan dalam pelayanan kesehatan, sementara rakyat berjubel dibiarkan mengantre dalam ketidakpastian. Mereka tega mengambil keuntungan dari kematian rakyat yang terkena musibah pandemi. Dan kini, mereka bilang wajar ratusan juta masuk ke kantong para pejabat atas alasan apresiasi, sementara rakyat masih harus berjuang sendiri memenuhi urusan perut mereka dan keluarganya.
Wajar pula jika rakyat kian tak percaya pada para pejabat negeri ini. Keburukan dan kerakusan dipertontonkan dengan nyata terus-menerus. Rasa peduli dan empati para pejabat hilang entah ke mana. Tak terlihatkah masih banyak rakyat yang kelaparan, dihimpit kemiskinan, putus sekolah karena ketiadaan biaya, dan lain sebagainya?
Makna Jabatan Seharusnya
Jabatan di pemerintahan bukan sebagai ladang mencari keuntungan sebanyak-babyaknya. Jabatan wakil rakyat berarti menjadi pembantu rakyat. Mereka menduduki jabatan itu bukan karena lebih tinggi dari rakyat, tapi karena pengabdian pada rakyat. Mengabdi untuk mengurusi rakyat dengan sebaiknya.
Ingatlah kita akan kisah Abu Dzar. Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim)
Itulah pesan dari sang Nabi, bahwa jabatan adalah amanah yang besar, bahkan bisa menjadi kehinaan dan penyesalan di hari akhir. Sehingga tak akan berlomba orang mendapatkannya, justru berduka saat amanah kekuasaan sampai padanya.
Ada pula kisah Muawiyah yang mendengar sabda Rasul, “Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat, kepentingan, dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menolak hajat, kepentingan dan kebutuhannya pada Hari Kiamat.” Mendengar nasihat itu, Muawiyah segera mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan orang-orang (rakyat).” (HR Abu Dawud)
Itulah para pemimpin yang sadar akan makna jabatan yang sesungguhnya. Sangat berat hisabnya nanti, apalagi jika ada kezaliman yang dilakukan dan mereka mempersulit kehidupan rakyat. Cukuplah doa Rasulullah sebagai peringatan dan kabar gembira, “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. ” (HR Muslim)
Lahir dari Rahim Islam
Tak hanya lahir karena sosok kepemimpinan yang ada pada dirinya, sosok seperti Muawiyah, Abu Dzar, Umar bin Khattab dan lainnya ada karena keimanan yang terhujam dalam diri. Iman yang hadir karena kualitas diri dan pembinaan yang dilakukan secara intensif. Pembinaan oleh pribadi, kontrol sosial masyarakat yang ringan melakukan amar makruf nahi mungkar, juga penjagaan akidah oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara paripurna.
Sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalisme yang tak punya sense of crisis ini, yang justru malah memperparah kondisi diri, masyarakat juga negeri. Mari kembali pada aturan dari Ilahi, yakni Islam yang menjadi rahmat seluruh alam.
Wallahua’lam bish shawab.