Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
MuslimahTimes.com–Banyak kasus perempuan yang menikah siri, berujung pada kegagalan dalam pernikahan. Status nikah siri yang dipandang sebelah mata —meski sah secara agama— banyak yang menempatkan perempuan sebagai korban. Ada yang diperlakukan tidak senonoh, ada yang diabaikan hak-haknya, ada yang digauli secara tidak makruf, ada yang diceraikan dan ditelantarkan.
Padahal yang namanya pernikahan, meski belum tercatat resmi dalam lembaga negara, tetap harus dijalani sesuai syariat. Harus dijalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai ketentuan agama. Tidak ada bedanya, nikah siri atau nikah KUA, selama rukun dan syarat sahnya terpenuhi, maka hukum-hukum syariat pernikahan berlaku.
Namun, fakta memang berbicara. Ternyata banyak laki-laki yang menganggap enteng nikah siri, sehingga kerap mengabaikan hak kaum wanita. Banyak perempuan yang dirugikan akibat laki-laki yang tidak paham konsekuensi pernikahan siri. Perbuatan ini termasuk meremahkan pernikahan yang sakral. Bagaimana agar perempuan tidak menjadi korban?
1. Menikahlah Secara Terbuka
Pernikahan siri kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bahkan sengaja diniatkan agar tidak diketahui publik. Keluarga besar mempelai pun kerap tidak dilibatkan atau tidak diberitahu. Sahabat, tetangga dan kerabat sengaja tidak diundang. Hal Ini biasanya terjadi karena pernikahan ini diduga akan menimbulkan konflik dalam rumah tangga dan keluarga besar.
Oleh karena itu, sebaiknya perempuan lebih hati-hati dan tidak mudah tergiur iming-iming nikah siri. Banyak modus terselubung di balik pernikahan siri. Seperti, sekadar menghalalkan zina, hanya bermaksud menikahi dalam jangka waktu singkat (kontrak) dan setelah itu dicampakkan, atau sekadar menutupi aib.
Jangan mudah tertipu janji-janji manis di balik nikah siri, apalagi jika sekadar iming-iming harta. Pertanyakan pada hati nurani, apakah kita menikah untuk mencari harta ataukah mencari bahagia dalam naungan rida Allah Swt. Apakah hati kita bahagia menjalani pernikahan diam-diam. Apakah hati kita tenang dan tenteram, jika menikahnya saja tidak pernah diumumkan secara terbuka. Jawablah dengan jujur.
2. Luruskan Tujuan Menikah
Tujuan menikah semata-mata adalah ibadah, untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Menjalani pernikahan haruslah dimulai dengan pondasi keimanan dan ketakwaan, bukan yang lain. Bukan karena landasan materialistis, yaitu agar terjamin kebutuhan nafkah. Bukan pula landasan nafsu, sekadar agar terpenuhi naluri syahwat.
Tujuan menikah adalah membangun rumah tangga yang kuat, sebagai pondasi tempat bersemainya generasi-generasi penerus yang kelak bermanfaat. Menikah bertujuan mulia untuk menjadi wadah bagi sepasang suami istri untuk saling mewujudkan sakinah, mawadah dan rahmah. Mewujudkan kerjasama yang harmonis untuk mencapai visi surga.
Setelah menikah, bukannya konflik batin, tapi kedamaian yang seharusnya terwujud. Kedamaian yang membuat pelakunya bisa fokus dan konsentrasi menjalankan visi dan misi rumah tangga dengan sempurna. Menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan baik, seperti fungsi ekonomi, kasih sayang, edukasi, religius, rekreasi dan sebagainya.
3. Taat Syariat dan Bukan Taat dalam Kemaksiatan
Interaksi dalam pernikahan siri, kerap memicu pelanggaran-pelanggaran syariat. Seperti banyaknya kebohongan, intrik dan pertengkaran akibat sejak awal tidak dijalani dengan kejujuran. Istri kerap dipaksa menutup-nutupi kebohongan suami. Suami pun berbohong pada keluarga besar, teman atau atasan.
Padahal sudah jelas, tidak boleh membiarkan kemaksiatan dalam rumah tangga. Kebohongan kecil yang dijadikan kebiasaan, lama-lama akan menumpuk menjadi sebuah kebohongan besar. Sewaktu-waktu akan menjadi “bom” yang meledakkan hubungan keluarga.
Selain melanggar syariat, kebohongan adalah awal mula bibit hubungan yang buruk dari segala jenis hubungan. Apalagi hubungan dalam pernikahan. Tidak ada kebaikan yang dihasilkan, melainkan akan memicu ketidakpercayaan, kecurigaan, buruk sangka dan hubungan yang buruk.
Demikianlah, semoga hal ini menjadi pertimbangan, khususnya bagi kaum perempuan agar tidak bermudah-mudah menerima pernikahan, jika tidak dilandasi oleh keterbukaan dan kejujuran. Terutama, jujurlah kepada diri sendiri, apakah nyaman, tenteram dan bahagia saat memutuskan untuk menikah yang dilandasi ketidak-terbukaan.(*)