Oleh. Punky Purboyowati, S. S
MuslimahTimes – Kembali berulah para penista agama yang tak henti-hentinya membenci, mengolok-olok ajaran agama Islam. Mengapa kasus ini seringkali terjadi bahkan berulang-ulang dengan pelaku yang berbeda tetapi dengan motif yang sama? Jika negara telah menjatuhkan sanksi, namun mengapa masih tidak berefek jera? Tentu saja membuat geram umat Islam tak hanya pada penista, namun juga atas sanksi yang diberikan terlihat tidak efektif.
Melihat kasus tersebut, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mendesak agar aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan dan pengadilan dapat memberikan tuntutan dan hukuman yang maksimal kepada pemilik channel @MuhammadKece di Youtube. Hukuman keras sangat layak dijatuhkan kepada M Kece yang telah berulangkali meresahkan umat dengan penistaannya terhadap agama Islam. Penting untuk menjaga harmoni dan toleransi antarumat beragama, serta menghindarkan Indonesia dari pecah belah dan adu domba oleh pihak-pihak yang anti-agama. (www.jpnn.com, 25/8/2021).
Salah Arah Kebebasan Berpendapat
Bukan
Demokrasi namanya jika kebebasan bukan milik individu. Dalam prinsipnya, individu dijamin kebebasannya, termasuk bebas berpendapat, berekspresi dan beragama. Kebebasan individu itu dijamin oleh UUD (Undang-undang Dasar) 1945. Namun kebebasan individu bukan berarti bebas sepenuhnya, masih dibatasi oleh kebebasan individu lain. Inilah prinsip kebebasan demokrasi yang berbasis sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), sehingga kebebasan menjadi mutlak berada dalam genggaman manusia, sementara agama disisihkan, tak boleh turut campur dalam memandang persoalan manusia. Alhasil menista agama tak lagi dipandang sebagai persoalan yang serius yang butuh solusi dan butuh sanksi yang tepat.
Adalah wajar manusia akan cenderung berbuat menyimpang jika aturan yang digunakan tak sesuai dengan fitrahnya. Pun dengan penjatuhan sanksi yang tak sesuai dengan fitrah manusia, tentu manusia semakin berbuat sesuka hatinya. Fenomena penistaan agama hari ini sebagai bukti semakin liarnya kebebasan berpendapat manusia. Namun, ironisnya dipandang sebagai kewajaran dalam demokrasi.
Padahal kebebasan berpendapat -termasuk menista agama- merupakan kebebasan yang salah arah yang tak mampu menentukan sikap yang benar terhadap pandangannya sendiri yang tentu saja menyebabkannya murtad. Ditambah negara mendukung kebebasan ini, akibatnya kasus terus berulang. Bahkan setiap kasus berulang, negara melahirkan hukum yang lemah yang hanya meredam kecemasan publik, bukan memberi solusi yang tuntas.
Penistaan dan Islamfobia
Menista agama secara tidak disadari membawa pelakunya pada kemurtadan. Kasus M Kece yang sebelumnya beragama Islam namun tak lama ia murtad. Hal ini bisa saja terjadi pada umat Islam lainnya bila kondisi akidahnya tak lagi kokoh dalam mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Pun tak beriman kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah Swt. Sedihnya penistaan juga terjadi pada tokoh agama yang lantang menyuarakan Islam. Tak heran bila penistaan berdampak pada masyarakat luas yang memunculkan Islamofobia.
Kenyataan Islamofobia pun digaungkan oleh negara yang benci dengan ajaran Islam. Negara-negara Barat melakukannya lebih bersifat politis. Jelas tak ingin bila umat Islam bersatu dan berkembang luas. Untuk itu Barat tak henti-hentinya menghembuskan Islamofobia pada dunia. Seperti pelarangan hijab yang seringkali terjadi. Sehingga umat Islam mengalami diskriminasi di berbagai sisi.
Umat Islam kesulitan menghadapi negara Barat dengan kepentingan politiknya. Memaksakan negeri muslim terhadap kebijakan yang dianggapnya akan menimbulkan bahaya. Alhasil para penguasa muslim harus tunduk dengan segala kebijakan Barat. Pelajaran agama seperti jihad, syariat, bahasa Arab harus dibatasi pada aspek yang sesuai dengan konteks kekinian saja. Konon bahasa Arab akan dihapus dari kurikulum sebab akan memunculkan karakter teroris. Sungguh menyedihkan.
Sikap politik Barat ini lambat laun menghasilkan banyak orang yang murtad. Bagian akidah dibatasi pada aspek spiritual. Sementara sikap toleransi agama pada pemeluk agama lain perlu dikembangkan dan didukung. Para penista dianggap tak masalah bahkan jika perlu diadakan dialog perbandingan agama. Kondisi ini terang menyebabkan umat Islam cemas mengingat banyak penista. Apalagi tak ada edukasi yang benar terhadap sikap penista dari negara, menyebabkan perbuatan nista bisa dilakukan siapa saja. Sebab tak mengerti akar masalahnya.
Butuh Sanksi yang Setara dan Menjerakan
Maka penista agama wajib diberi sanksi yang setara dengan perbuatannya. Sebab sudah melampaui batas di luar akidah Islam. Tak ada cara lain menghukumnya, selain sama dengan menghukum orang yang murtad. Islam sebagai agama bukan hanya menyangkut ibadah semata, akan tetapi melingkupi syariatnya dalam mengatur ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan lainnya, yakni menyangkut pula dengan sanksi.
Terkait kasus penistaan, para ulama sepakat bahwa mencela, menghina dan merendahkan Islam adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan seseorang dihukumi murtad keluar dari Islam jika pelakunya muslim. Bila pelakunya orang kafir, maka ia jatuh ke dalam kafir harbi yang boleh diperangi.
Firman Allah Ta’ala, “Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah : 12)
Selain itu sanksi yang diberikan adalah hukuman bunuh/mati sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari)
Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika orang yang mencaci maki Islam tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir asli.”
Maka sikap yang diambil oleh seorang muslim adalah menuntut diberlakukannya hukuman mati yang hal itu setara dengan kemurtadannya. Sebab darahnya halal untuk dibunuh. Selain itu, setiap muslim wajib beramar makruf nahi mungkar apalagi kondisi saat ini tidak adanya junnah (pelindung) bagi umat Islam menjaga akidahnya. Sebab membiarkan kemunkaran sama saja mengakui kezaliman. Pentingnya negara selaku pelindung menerapkan hukum Islam secara kaffah agar Islam tak lagi dilecehkan. Sehingga Umat Islam lebih percaya bahwa negara benar-benar serius mengatasinya alias tidak main-main.
Wallahu a’lam bisshowab.