Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–World Contraception Day (WCD) atau Hari Kontrasepsi Sedunia dirayakan setiap 26 September. Momen ini dimanfaatkan untuk kampanye alat kontrasepsi, khususnya pada Pasangan Usia Subur (PUS). Kampanye WCD ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang metode pengendalian kelahiran (birth control). Intinya, kehamilan itu harus diinginkan atau direncanakan.
Namun, dalam perkembangannya, alat kontrasepsi bukan sekadar pengendali kelahiran, tetapi kampanye tentang hak reproduksi perempuan. Propaganda penggunaan alat kontrasepsi bukan hanya menyasar PUS yang sudah menikah, melainkan juga kalangan yang mereka sebut “aktif secara seksual.”
Artinya, remaja yang notabene dianggap aktif secara seksual, meski belum menikah, juga menjadi target kampanye alat kontrasepsi. Padahal jelas-jelas remaja yang belum menikah tidak membutuhkan alat kontrasepsi, karena mereka bukan pasangan yang memang merencanakan kehamilan. Apa artinya kalau bukan mengampanyekan seks bebas?
Sejarah Kontrasepsi
Hari Kontrasepsi Sedunia pertama kali diperingati 2007 oleh 10 organisasi keluarga berencana internasional. Saat ini didukung oleh koalisi 15 LSM internasional, organisasi pemerintah, dan masyarakat ilmiah dan medis yang berkepentingan.
Kontrasepsi sendiri merupakan salah satu temuan revolusioner yang mengubah dunia. Laporan Time pada Kamis (27/09/2018), sebagaimana dikutip Tempo, menyatakan, kontrasepsi membantu manusia untuk “menata ulang pola hubungan.” Maksudnya, tentu saja mendesain hubungan seksual yang lebih bebas tanpa ada kekhawatiran untuk hamil atau tertular penyakit seksual.
Sejarah kontrasepsi paling kuno ditemukan pada masa Mesir kuno dan Mesopotamia tahun 1850 SM. Saat itu masyarakat menggunakan madu, daun akasia, dan serat yang ditempatkan di alat vital perempuan untuk menghalangi sperma membuahi sel telur. Sementara di Yunani dan Romawi kuno, masyarakat menggunakan silphium, sejenis tanaman raksasa yang tumbuh di Afrika Utara, sebagai kontrasepsi pengendali kelahiran.
Akhir abad ke-9 dokter Persia Muhammad ibn Zakariya al-Razi menyarankan senggama terputus untuk pengendalian kelahiran. Dan awal abad ke-10, Abu Ali al-Hussain ibn Abdallah ibn Sina atau Avicenna membuat ensiklopedi mesi yang berisi antara lain bab tentang pengendalian kelahiran. Ada 20 metode berbeda yang dikenalkannya.
Keberadaan alat kontrasepsi sendiri, awalnya ditolak di Eropa pada abad pertengahan, karena bertentangan dengan pandangan moral gereja. Tonggak perjuangan hak reproduksi perempuan baru dimulai 1882. Aletta Jacobs, seorang dokter perempuan di Amsterdam nekat memasang kontrasepsi mekanik berupa diafragma tanpa persetujuan siapapun.
Singkatnya, sejak ditemukan pil tahun 1950-an, alat kontrasepsi baru diterima hampir di seluruh dunia. Pil KB tersedia massal tahun 1960-an. Sejak itu, berbagai jenis alat kontrasepsi berkembang dan digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan populasi.
Propaganda Hak Reproduksi
Dunia terus berubah, menuju era liberalisasi seksual. Ditemukanlah penyakit HIV/Aids yang belum dapat disembuhkan. Untuk mencegahnya, ditemukanlah kondom. Alat kontrasepsi yang awalnya untuk mencegah HIV/Aids ini akhirnya digunakan secara luas untuk sekadar “mengamankan” kegiatan seksual.
Belakangan, alat kontrasepsi menjadi bagian dari kampanye untuk menegakkan hak-hak reproduksi perempuan. Mereka bebas menentukan waktu, kapan mau hamil dan melahirkan, alias kapan mau berhubungan seksual atau tidak.
Berdalih pendidikan seks dan edukasi tentang hak reproduksi, kampanye penggunaan alat kontrasepsi terus menggelinding menyasar dunia remaja. Pernah heboh kampanye kondom di kalangan kampus dan bahkan pesantren.
Sejak 2007, sasaran utama kampanye ini adalah meningkatkan kesadaran tentang kontrasepsi yang membuat anak muda memiliki pilihan-pilihan yang tepat atas kesehatan seksual dan reproduksi. Hal Ini berkaitan dengan isu aborsi, pernikahan dini, kehamilan tidak direncanakan dan kematian ibu dan bayi yang rentan terjadi pada remaja.
Pendeknya, alat kontrasepsi untuk remaja menghendaki, agar mereka aman dalam berhubungan seksual; jangan sampai hamil tanpa didinginkan; karena kalau hamil nanti ujungnya aborsi; atau jika nekat melahirkan, maka berisiko mengalami kematian. Sungguh logika yang menyesatkan.
Ada Hak Suami
Propaganda tentang hak reproduksi ini telah digaungkan Barat, khususnya kaum Feminis, untuk menjadikan perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya. Mau hamil atau tidak adalah hak perempuan. Namun bila dikaitkan dengan hubungan pernikahan, tentu saja hak perempuan untuk tidak hamil, berbenturan dengan hak suami untuk mendapatkan keturunan dari istrinya. Oleh karena itu, tidak ada otoritas 100 persen atas tubuh perempuan itu sendiri ketika ia telah menikah. Ada otoritas suami pula untuk memutuskan. Sebab, hubungan pernikahan adalah kesepakatan suami dan istri. Demikian pula dalam melahirkan dan mengendalikan anak.
Istri yang notabene perempuan, diciptakan dengan seperangkat alat untuk menjalankan amanah dalam proses reproduksi. Hamil, melahirkan dan menyusui adalah tugas istri yang merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki suami yang notabene laki-laki.
Tentu saja, kaum pria memiliki ketergantungan reproduksi pada istrinya. Apa jadinya jika istri menolak menjalankan fungsi reproduksi dalam keluarga, tentu akan terjadi pelanggaran atas hak suaminya. Oleh karena itu, persoalan reproduksi adalah ranah musyawarah antara kedua belah pihak.
Suami dan istri saling bersepakat dan bekerja sama dalam merencanakan kelahiran anak-anaknya. Istri berhak mengajukan argumen, suami berhak mendiskusikan dan memutuskan hasil kesepakatan yang terbaik. Namun, di sisi lain, hak suami untuk ditaati dan kewajiban istri untuk taat suami. Dengan demikian, tidak akan ada kezaliman dalam menjalankan fungsi reproduksi dalam pernikahan.
Yang zalim adalah membiarkan perempuan menjadi objek seksual hanya karena sudah ada alat kontrasepsi yang bisa mencegahnya dari kehamilan yang tak diinginkan. Perempuan belum menikah dan diedukasi untuk menggunakan alat kontrasepsi jika ingin berhubungan seksual, ini bukan membela hak reproduksi perempuan, tetapi menjerumuskan.
Jebakan Barat
Alat kontrasepsi telah dimanfaatkan secara global untuk mencengkeramkan ideologi sekuler liberal. Pertama, untuk mengendalikan populasi melalui program keluarga berencana. Kampanye ini pun, sebenarnya dilandasi kekhawatiran akan menggelembungnya populasi manusia, yang dikhawatirkan akan membuat bumi tak sanggup menyejahterakan umat manusia. Padahal, ketidaksejahteraan yang terjadi saat ini adalah disebabkan penerapan sistem kapitalisme yang rakus dalam mengeksploitasi kekayaan alam dunia.
Kedua, kampanye alat reproduksi merupakan jebakan Barat untuk meliberalkan alat reproduksi alias seks bebas, berkedok membela hak reproduksi perempuan. Secara hukum, penggunaan alat kontrasepsi mubah. Misal untuk mengatur jarak kelahiran anak pada pasangan suami istri., khususnya istri yang berisiko tinggi dalam melahirkan. Namun umat Islam jangan terjebak pada propaganda hak reproduksi perempuan yang arahannya menjerumuskan perempuan sebagai objek seksualitas semata.(*)