Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd
(Komunitas Aktif Menulis dan Kontributor Media)
MuslimahTimes.com–Heboh, suara warganet menggema seantero jagad maya, sehingga ramai hastag dengan tagar “PercumaLaporPolisi” itu trending di akun twitter. Seorang ibu yang berusaha mencari keadilan untuk ketiga putrinya, harus menelan pil pahit. Akankah kasus digelar kembali untuk mendapatkan keadilan sebagaimana yang diharapkan?
Tanda pagar tersebut merupakan bagian dari respon masyarakat terhadap kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang proses penyelidikannya sempat terhenti. Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung ini muncul kembali ke permukaan publik setelah diberitakan oleh Project Multatuli, kemudian di publikasikan ulang oleh KOMPAS.com.(08/10/2021)
Menyikapi hal tersebut, desakan dari berbagai pihak berdatangan. Mereka meminta agar kepolisian menggelar kembali terkait kasus dugaan pemerkosaan anak yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Sebagaimana dilansir dari laman koran.tempo.co (12/10/2021), tim kuasa hukum korban pemerkosaan di Luwu Timur mendesak, agar pihak kepolisian menggelar kembali penyelidikan kasus tersebut. Rezki Pratiwi, dalam hal ini sebagai pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasar. Beliau mengatakan bahwa bukti itu akan muncul jika penyelidikan digelar kembali. Penyelidikan yang dilakukan harus melibatkan kuasa hukum, pendamping sosial, dan lembaga layanan masyarakat yang lain.
Rezki menambahkan bahwa tidak usah muluk-muluk untuk mencari barang bukti yang baru. Tinggal gelar perkara kembali dan memeriksa dokumen yang pernah diserahkan. Dokumen-dokumen pendukung dan argumentasi telah diberikan pada gelar perkara di Polda Sulsel, Maret 2020 lalu.
Kasus di atas bukanlah yang pertama, dan hanya satu di antara deretan kasus yang pernah terjadi di negeri ini. Seperti fenomena gunung es, hanya sebagian kecil yang tampak di permukaan. Yang tersembunyi jauh lebih banyak. Sungguh, tak bisa dijangkau dengan logika. Padahal kehadiran seorang anak merupakan amanah atau titipan, sekaligus penyejuk hati bagi kedua orang tuanya. Di tangan orang tuanya lah, anak dijaga, dilindungi, diberikan rasa aman, dididik dan dibentuk kepribadiannya.
Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Adanya kasus di atas menyadarkan kita, ternyata keluarga justru menjadi sebuah ancaman yang menyebabkan trauma bagi anak-anak. Bagaimana tidak, dugaan kasus pemerkosaan tersebut dilakukan oleh sosok seorang ayah kepada anak kandungnya. Miris dan sangat menyesakkan dada. Kasus semacam ini terus saja terjadi. Seakan tak pernah usai.
Hukum dan Pengadilan yang Tumpul
Berbagai upaya telah ditempuh, dalam rangka untuk mengatasi bentuk tindakan kekerasan, baik kekerasan seksual atau sejenisnya, yang terjadi pada anak-anak, antara lain dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan masih banyak lagi kelompok-kelompok yang menyatakan peduli terhadap anak. Termasuk pihak kepolisian sebagai penegak hukum yang mempunyai slogan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, nyatanya semua itu tidak mampu melindungi anak-anak dari berbagai perilaku kejahatan dan kekerasan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah para penegak hukum tidak memberikan hukuman, yang menjadikan pelaku jera, sehingga tidak terulang kejahatan atau kekerasan serupa? Dan fakta membuktikan, hukum saat ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Belum mampu menghentikan para pelaku kejahatan dan kekerasan seksual. Jika ada pelaku yang tertangkap, kemudian diberikan sanksi atau hukuman, malah melahirkan pelaku-pelaku baru. Kebanyakan dari mereka yang menjadi pelaku baru ini, dulunya adalah korban yang mengalami trauma, yang akhirnya terjun menjadi pelaku. Inilah yang disebut lingkaran setan. Lingkaran inilah yang mesti diputus, sehingga kejahatan benar-benar bisa dihentikan.
Mandulnya hukum yang ada saat ini, tidak lain karena aturan yang diterapkan adalah sekuler Kapitalisme. Yaitu suatu tata aturan yang memisahkan agama dari kehidupan, memisahkan agama dari negara. Akibatnya, keberadaan pengadilan dan hukum hanya formalitas dan bersifat administratif belaka. Bagi pelaku maupun penegak hukum, tidak memiliki kesadaran akan hubungan dengan Tuhannya. Sehingga wajar, para penegak hukum bekerja hanya berdasarkan asas kepentingan dan manfaat belaka. Tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya. Demikian halnya para pelaku. Sudahlah hukuman yang diterapkan juga tidak mengandung efek jera, di dalam dirinya juga kering keimanan dan ketakwaan. Sehingga tidak ada rasa bersalah ataupun menyesali atas perbuatan dosa dan hina yang dilakukan.
Islam Melindungi Anak-anak
Dalam Islam terdapat tiga benteng dalam melindungi hak dan kewajiban bagi anak. Yang pertama adalah benteng keluarga. Keluarga merupakan benteng perlindungan pertama dan utama. Di dalamnya, anak mendapatkan hak untuk dilindungi, di sayangi, dididik, dan ditanamkan adab sejak dini. Hak anak merupakan kewajiban bagi orang tuanya. Orang tua lah yang akan menanamkan akidah serta keimanan, sehingga tercipta generasi yang berkepribadian mulia.
Yang kedua, adanya kontrol masyarakat. Di sinilah peran masyarakat, jika terdapat kemungkaran atau kemaksiatan, wajib mengingatkan atau menasihati. Di samping itu juga ada kewajiban untuk mengingatkan penguasa jika ada kebijakan yang menyimpang (muhasabah lil hukam).
Benteng ketiga adalah yang terakhir yaitu peran negara. Negara adalah sebuah institusi yang akan menerapkan aturan, baik urusan ibadah, akhlak maupun muamalah, membantu masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Rabbnya. Tanpa peran negara, jelas nihil dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Negara yang dimaksudkan di sini adalah yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam bidang ekonomi, negara mengelola sumberdaya alam untuk kemaslahatan umatnya. Tidak akan ada ketimpangan dan kemiskinan. Karena diakui atau tidak, himpitan ekonomi ini bisa menjadi salah satu penyebab orang melakukan kekerasan dan kejahatan terhadap anak.
Dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang diterapkan dalam Islam, berlandaskan akidah Islam. Adapun tujuan dari pendidikan adalah membentuk Insan yang berkepribadian Islam. Memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Menjadikan individu beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Dalam setiap amal perbuatannya akan terikat pada aturan Allah.
Aturan bermedia. Negara juga akan mengatur konten-konten yang ditayangkan harus sesuai dengan syariat Islam. Tidak akan membiarkan konten yang memicu kejahatan dan berbau pornografi bebas gentayangan. Dengan demikian, masyarakat akan terjaga dari tontonan yang memicu pada perbuatan yang melanggar syariat Islam.
Terakhir adalah sistem sanksi. Hukuman dan sanksi di dalam Islam itu memiliki dua fungsi. Yang pertama sebagai penebus dosa. Sehingga ketika pelaku sudah dijatuhi hukuman di dunia, maka, di akhirat tidak akan disiksa. Misalnya hukum rajam bagi pelaku zina, hukum potong tangan bagi pencuri yang telah mencapai nishobnya.
Yang kedua, untuk menimbulkan efek jera. Ketika hukum rajam diterapkan, maka orang berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan zina tersebut. Selain malu juga rasa sakit yang tak terbayangkan. Karena hukuman tersebut akan diselenggarakan di alun-alun dan disaksikan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian dijamin akan mampu memutus lingkaran setan dalam kejahatan dan kekerasan.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita dan masyarakat, yang mendambakan keadilan dan keamanan serta kesejahteraan, kecuali dengan menerapkan aturan dan hukum Allah Swt dalam seluruh aspek kehidupan, melalui institusi yang disebut khilafah Islamiyyah.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-taubah ayat 33 yang artinya, “Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.”