Oleh. Shita Ummu Bisyarah
MuslimahTimes–Dikutip dari Reuters, PBB mengatakan bahwa tahun ini adalah tahun yang kritis untuk aksi iklim. Pasalnya laju perubahan iklim semakin ekstrem dan tidak melambat walau pandemi Covid-19 membuat sebagian besar penduduk bumi tidak beraktivitas menggunakan kendaraan. Kini suhu rata-rata global termasuk tertinggi sepanjang catatan. Bahkan ada kemungkinan suhu dunia akan naik 1.5 derajat celcius pada satu atau 5 tahun ke depan jika kondisi tak kunjung diselesaikan.
Climate Change ini memang bukan isu baru, bahkan sudah lama sekali digaungkan. Namun tak kunjung menuai solusi pasti, bahkan dampaknya semakin parah bagi bumi. Juni lalu, di Kanada mengalami kubah panas alias kenaikan suhu yang sangat ekstrem. Di British Columbia dilaporkan ada 486 meninggal karena kejadian itu. (nytimes.com 30/6)
Tak hanya di Kanada, pada bulan Agustus lalu Yunani diserang gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hutan kurang lebih sebesar 1000 hektare dan menewaskan 80 orang (the guardian.com 13/08). Di daratan Eropa perubahan iklim yang ekstrim juga dirasakan dampaknya. Sebagian besar kota-kota di Eropa terendam banjir karena curah hujan yang ekstrem. Di Jerman, banjir terburuk terjadi dan menewaskan 165 nyawa. Somalia tak ada bedanya dengan Eropa. Climate Change menyebabkan banjir parah di seluruh Afrika Timur dan Australia. Di Indonesia dampak krisis iklim ini juga dirasakan. Sebanyak 4 pulau di Sumatra telah tenggelam dan 115 pulau lainnya terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Dampak climate change diprediksi akan lebih parah daripada dampak pandemi Covid-19 jika tak segera diselesaikan. Solusi yang ditawarkan hari ini mulai dari zero waste, mengurangi sampah plastik, reboisasi dll, terbukti tidak efektif menangani krisis iklim ini. Hal ini karena langkah-langkah ini hanya digaungkan oleh individu atau komunitas saja. Sedangkan aksi nyata dari pemerintah atau organisasi global dunia hanya sebatas anjuran tanpa aturan yang tegas.
Masih dikutip dari Reuters, Sekertaris jendral PBB, Antonio Guterres, mengatakan bahwa satu-satunya solusi dari krisis iklim ini adalah pengurangan segera secara cepat dan dalam skala besar emisi gas rumah kaca. Apabila tidak segera dan dalam skala global maka konsekwensinya adalah bencana besar di bumi.
Namun pertanyaannya, apakah bisa solusi tersebut dilakukan ketika dunia masih menggunakan sistem kapitalisme? Kita tahu bahwa mayoritas negara di dunia hari ini masih memakai sistem kapitalisme untuk mengatur negaranya. Sedangkan bila kita mencermati, tolak ukur dari ideologi kapitalisme ini adalah materialisme. Artinya sesuatu dilakukan atas pertimbangan materi alias untung rugi. Bila menguntungkan bagi pemilik modal yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Alhasil aturan yang dibuat bukan lagi berdasarkan urgensi nyawa manusia, namun pesanan para pemilik modal.
Berdasarkan data dari Climate Watch penyumbang terbesar gas rumah kaca adalah sektor industri disusul dengan penggunaan bahan bakar fosil kendaraan (ini pun dampak buntut dari sektor industri). Sektor industri menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi pada tahun 2017 lalu (katadata.co.id). Melihat dari data ini sudah pasti peraturan akn dibuat berdasarkan kepentingan pemilik modal yang menguasai sektor industri ini. Mereka jelas tak mau rugi. Tidak rela jika bisnis mereka merugi atau mereka harus membayar biaya produksi lebih untuk meminimalisasi penghasilan gas rumah kaca, karena mereka pasti ingin untung yang sebesar-besarnya dengan biaya produksi seminimal mungkin. Begitulah watak bengis para kapitalis, alhasil penanganan climate change hanyalah fatamorgana belaka jika ideologi dunia masih kapitalisme.
Faktanya di dunia sendiri saat ini sudah ada lebih dari 500 perjanjian internasional yang memperhatikan masalah lingkungan, termasuk 323 perjanjian, yaitu 70% dari perjanjian itu bersifat regional. Namun di lapangan banyak ditemukan para penguasa dan politisi yang melanggar dan mengabaikan semua perjanjian ini jika terdapat permasalahan dalam perjanjian tersebut yang bertentangan dengan keuntungan pribadinya dan negara. Contoh realnya yakni yang dilakukan oleh Donald Trump, dia mengumumkan penarikan AS dari perjanjian iklim Paris, dengan mengatakan, “Ini menghambat bisnis dan memberi keuntungan bagi negara lain.” Tak hanya itu, negara China juga gagal menghormati standar keamanan lingkungan, demi mengoperasikan pabrik-pabriknya dengan bebas, dan demi menjamin keuntungan tertinggi. Jelas climate change adalah masalah sistemis akibat keserakahan para kapitalis.
Paradigma berpikir ideologi kapitalisme ini sangat bertolak belakang dengan ideologi Islam. Islam memandang bahwa bumi adalah amanah Allah yang wajib untuk dijaga. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-a’raf ayat 85, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” Dalam banyak hadits juga dijelaskan bagaimana agama Islam memerintahkan untuk menjaga lingkungan, bahkan akan dikenakan sanksi berat kepada para perusaknya yang sanksi tersebut ditentukan oleh Khalifah.
Dengan paradigma seperti ini jelas aturan yang akan diberlakukan dalam negara berideologi Islam akan jauh berbeda dengan negara yang mengemban ideologi kapitalisme. Dalam praktiknya selama kurang lebih 13 abad negara yang menerapkan ideologi Islam telah berhasil menjaga lingkungan dengan serangkaian sistem sahihnya.Wallahu alam bissawab.