Oleh : Emma LF, anggota Forum Muslimah Indonesia (ForMind)
Pilpres 2019 sebentar lagi. Debat capres pun digelar. Seberkualitas apa pemimpin yang kita inginkan melalui debat capres? Figur seperti apa yang kita cari dan inginkan dari seorang pemimpin negara? Apakah debat capres selama beberapa jam saja sudah cukup untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel, adil, jujur, memihak rakyat? Alih-alih menunjukkan pemimpin mana yang diimpikan rakyat, debat capres tidak lebih dari sekadar kontestasi dan gurauan politik, apalagi paslon mendapat bocoran soal dari KPU.
Lalu bagaimana kita bisa mengetahui calon pemimpin itu memenuhi semua kriteria pemimpin yang baik? Memang tak cukup kita dapatkan gambaran pemimpin seperti itu hanya dari debat capres atau figuritas temporal selama beberapa bulan atau beberapa minggu saja. Apalagi jika dalam rentang waktu sekian bulan atau minggu tersebut dibumbui dengan pencitraan-pencitraan publik si calon pemimpin. Sungguh, sebenarnya Islam memiliki teladan sosok pemimpin ideal.
Siapa yang tak kenal sosok Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu? Beliau adalah satu dari sekian banyak pemimpin Islam yang adil, amanah dan cinta kepada rakyatnya. Beliau adalah sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam yang dikenal pemberani dan pembela Islam terpercaya di garda terdepan. Kita masih ingat, bagaimana akhirnya Umar bin Khattab menjadi Khalifah (pemimpin negara Islam) menggantikan Khalifah Abu Bakar as-shiddiq radiyallahu ‘anhu. Umar tidak berambisi untuk menjadi Khalifah.
Menjelang wafatnya Abu Bakar, beliau menunjuk Umar sebagai Khalifah penggantinya berdasarkan pertimbangan terbaik. Saat itu justru Umar menolak untuk menjadi pemimpin negara karena Umar merasa dirinya tak pantas dan ada orang lain yang lebih kapabel dibandingkan dirinya. Kemudian Khalifah Abu Bakar menasihati Umar agar mau menjadi Khalifah sepeninggalnya. Masya Allah, inilah karakter yang hampir tidak dimiliki oleh sosok pemimpin di zaman sekarang. Zuhud terhadap tahta dan kekuasaan. Tak ingin berlomba mendapatkan jabatan karena mengetahui bagaimana pertanggungjawabannya yang begitu berat ketika kelak di akhirat.
Tak perlu kontes semacam debat capres untuk menghasilkan sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab. Gemblengan iman dan Islam seumur hidupnya sudah cukup sebagai bekal pengantar Umar menjadi pemimpin level negara yaitu Khilafah Islamiyah. Sekali lagi, Umar bin Khattab sama sekali tak memerlukan pencitraan yang bermacam-macam menghabiskan milyaran rupiah agar dipilih rakyat. Umar sangat jujur dalam menjalankan amanahnya.
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, Umar tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam Umar yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang terletak di tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka terkejut saat mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Mereka pun bergegas mendekati gubuk tersebut untuk memastikan suara apakah itu.
Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan tua sedang memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di sampingnya tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena penasaran Umar pun meminta izin untuk masuk. Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh dan kembali melanjutkan aktifitasnya. Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam. Hingga akhirnya keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan Aslam duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si anak perempuan terus menangis.
Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan melihat ke dalamnya. Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci tersebut. “Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya. Perempuan itu hanya menganggukkan kepala. “Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar mereka mengira aku sedang seseorang mengantarkan makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang datang. Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian menangis”
Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan. Umar merasa bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan. “Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum. ”Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun dihalangi oleh Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si Ibu. Dengan air mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memikulnya sendiri.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan. Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak?“ Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika melihat Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.
Itulah salah satu kisah masyhur yang memperlihatkan bagaimana Umar begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin dan peduli terhadap rakyatnya. Ia bahkan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan. Dalam sejarah, Umar Bin Khattab adalah pemimpin yang hidupnya sangat sederhana. Saat tanah Arab menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia makan hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya. Solusinya ia hanya menyantap roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya panas. Makanan yang ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi kenyang melainkan sebaliknya.
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap Umar saat perutnya kosong.
Khalifah Umar Bin Khattab hendak memberikan teladan yang baik bagi kaum muslimin tentang konsep jabatan, harta dan zuhud seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya. Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan. Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah!
Betapa sederhana dan hati-hatinya Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. tatkala menjadi khalifah. Ia amat takut kepada Allah, sehingga matanya tidak bisa terpejam sepanjang malam, khawatir tidak mendapatkan ampunan Allah. Di keheningan malam saat rakyatnya tidur nyenyak, ia bangun dan mendekatkan diri di masjid. Tidak ada pengawal yang menyertainya. Di rumah, tak ada makanan istimewa layaknya para penguasa dan pejabat sekarang. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya menjadi contoh bagi pemimpin sekarang.
Jadi, bagaimana jika Umar bin Khattab mengikuti ajang pencarian pemimpin seperti debat capres? Cukuplah kita sama-sama tahu jika ajang tersebut dipenuhi pencitraan dan gurauan politik maka itu akan sia-sia. Itu bukan levelnya Umar. Pemimpin negara seperti Umar bin Khattab tidak memerlukan itu semua agar dipercaya dan dipilih oleh rakyatnya. Kita mencari calon pemimpin selayak dan sekualitas Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu. Adakah? []