Breaking News

Utak-atik Dana Pendidikan, Hak Rakyat Terus Disoal?

Spread the love

 

Oleh. Nur Saleha, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Muslimahtimes.com–Baru-baru ini, pernyataan dari Menteri Keuangan yang mengusulkan peninjauan ulang anggaran pendidikan 20% dari APBN menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Usulan ini didasarkan pada keinginan untuk mengurangi beban APBN di tengah banyaknya persoalan dalam layanan pendidikan. Namun, kritik tajam datang dari berbagai pihak, termasuk legislatif, yang menyebut bahwa pemotongan anggaran pendidikan hanya akan memperburuk kondisi pendidikan di Indonesia. (ekonomi.bisnis.com, 06-09-2024)

Pada kenyataannya, skema anggaran yang ada saat ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan dasar layanan pendidikan yang murah, merata, dan berkualitas. Banyak anak-anak di daerah terpencil masih kesulitan mengakses pendidikan yang layak karena terbatasnya fasilitas dan biaya yang tinggi. Jika anggaran pendidikan dipotong, tentu ini akan semakin memperburuk kondisi pendidikan nasional.

Pernyataan ini menggambarkan pola pikir sekuler kapitalisme yang mendasari pengelolaan negara saat ini. Dalam sistem kapitalis, pemerintah cenderung berperan sebagai penjual yang menawarkan layanan, sementara rakyat sebagai pembeli yang harus membayar untuk menikmati layanan tersebut. Konsekuensinya, pendidikan pun menjadi komoditas yang dikapitalisasi, dengan sektor swasta yang mengambil peran dominan dalam penyediaan fasilitas pendidikan. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara.

Mengapa Ini Terjadi?

Sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan saat ini menempatkan negara dalam posisi yang rentan terhadap berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Pemerintah terjebak dalam tekanan untuk mengurangi pengeluaran negara, sementara kebutuhan mendasar rakyat, termasuk pendidikan, seringkali dikorbankan. Pendekatan kapitalis yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi menyebabkan pendidikan diserahkan kepada swasta, yang tentunya memiliki orientasi mencari profit. Akibatnya, pendidikan berkualitas hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membayar.

Di bawah sistem sekuler kapitalisme, pendidikan dipandang bukan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi negara, melainkan sebagai layanan yang bisa dinegosiasikan dan bahkan dikomersialisasi. Hal ini jelas berbahaya bagi kelangsungan pendidikan yang berkualitas dan merata. Jika terus dikelola dengan paradigma ini, rakyat kecil akan semakin sulit mengakses pendidikan, sementara mereka yang memiliki modal lebih besar akan memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Solusi dalam Pandangan Islam

Islam menawarkan solusi yang jauh berbeda dalam pengelolaan pendidikan. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak asasi setiap individu dan merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan yang gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat, tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan melalui penerapan politik anggaran yang berbasis pada sistem ekonomi Islam.

Sejarah mencatat bagaimana sistem Islam di masa kekhilafahan memberikan perhatian penuh pada pendidikan seluruh rakyat. Selain 80 sekolah umum di Cordoba yang didirikan Khalifah Al Hakam II pada tahun 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak yatim, lengkap dengan anggaran harian untuk makanan dan pakaian, baik untuk musim dingin maupun musim panas. Bahkan, untuk masyarakat Badui yang berpindah-pindah, pemerintah mengirimkan guru yang siap bergerak mengikuti tempat tinggal muridnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menjamin pendidikan, tetapi juga memberikan solusi konkret untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan beragam kondisi.

Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Musthafa as-Siba’i dalam kitab Min Rawa’i Hadhratina, banyak tokoh Barat yang mengakui kemajuan pendidikan Islam. Jacques C. Reister menyatakan, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi.” Bahkan Montgomery Watt mengungkapkan, “Tanpa dukungan Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Hal ini menegaskan bahwa sistem pendidikan Islam tidak hanya berhasil mencetak generasi cerdas, tetapi juga menjadi fondasi kemajuan peradaban global.

Politik anggaran dalam Islam tidak terpisah dari sistem ekonomi yang lebih besar. Dalam ekonomi Islam, sumber daya alam dan kekayaan negara dikelola untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan segelintir elit. Dengan pengelolaan sumber daya yang baik, negara memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Tidak ada sektor pendidikan yang diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi. Negara memegang kendali penuh atas kualitas dan aksesibilitas pendidikan. Kesimpulannya, masalah utak-atik anggaran pendidikan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti kegagalan sistem sekuler.