Oleh : Siti Alifah Arrahmah
Menanggapi Puisi yang berjudul “ibu Indonesia” yang dibaca dan kabarnya ditulis sendiri oleh bu Sukmawati Soekarno Putri di pergelaran Indonesia Fashion Week 2018, sangat menyita perhatian publik hingga viral di beberapa media sosial. Karena bait-bait puisi yang dibacakan sangatlah jelas merendahkan nilai-nilai islam.
Saya sebagai netizen yang aktif di media sosial dan mengamati perkembangan berita, sangat kaget, marah, dan sakit hati saat pertama kali melihat video tersebut terutama mendengar beliau membacakan isi dari puisi yang tak menghormati nilai-nilai agama itu.
Pasalnya, saya menilai beliau amat berani dan frontal merendahkan islam dihadapan penonton yang mayoritas muslim. Sakit hati kami.
Terlepas apapun maksud dari puisi tersebut, yang saya tahu kalimat-kalimat dalam bait puisi itu sangatlah tidak toleran. Pemikiran sekular dan liberal sangat kontras tersirat dalam bait yang disusun nya. Saya berharap, kedepannya hal-hal yang dapat menyakiti hati umat muslim seperti ini tidak terjadi lagi apalagi jika keluar dari mulut orang-orang yang seharusnya bisa kami (rakyat) percaya.
Jangan salahkan kami jika kami tak lagi percaya rezim ini dan sistemnya.
Jangan salahkan kami jika kami menuntut tegaknya khilafah.
Sebab amat nyata, rezim ini dan orang-orang nya telah sangat telanjang mempertontonkan kedzaliman, hingga pada tataran orang-orang yang berada dipihaknya dari kalangan simpatisan partai pendukung rezim pun telah berkali-kali berani mengeluarkan statement yang intoleran tanpa takut mendapat sanksi hukum sebaliknya masyarakat yang kritis terhadap rezim justru begitu mudah terjerat hukum.
Indonesia sebagai negeri yang majemuk, sebagai negeri yang memiliki banyak hutang budi terhadap muslim seharusnya mampu menghormati setiap elemen suku, agama dan ras yang ada di negeri ini.
Tanpa mendiskriminasi satu sama lainnya. Dan contoh-contoh itu harusnya ada pada diri tokoh-tokoh yang menjadi “The Model of Indonesian Figure”.
Wajar jika seorang muslim menginginkan syariat islam, karena memang begitulah keimanannya mengarahkan.
Namun, harusnya kita semua mau untuk berusaha terbuka tuk mendengarkan. Dengarkan konsepnya, sesuai atau tidak diterapkan di indonesia, kita takkan pernah tahu sebelum mencoba menerapkannya. Bukankah kita sama-sama inginkan indonesia menjadi negeri yang sejahtera, makmur, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur? Maka sudah seharusnya tak ada konsep final sebelum cita-cita itu tercapai.
Keterbukaan dan keberanian mengambil langkah perubahan adalah jalan untuk menghasilkan sebuah pencapaian. Seharusnya, selama cita-cita utama indonesia bisa tercapai dan ada jalan lain yang lebih baik untuk memperolehnya, sudah seharusnya dicoba. Bukan mempertahankan jalan dan langkah yang sudah jelas-jelas mendatangkan kegagalan dan kerusakan. Kita ingin indonesia lebih baik bukan?
Karena tak ada yang abadi, kecuali “Perubahan”. Dan pemimpin yang bervisi, seharusnya memahami hal ini.