Oleh: Hafshah Damayanti, SP.d
(Forum Muslimah Pantura)
#MuslimahTimes — Ungkapan kesedihan Ketua Umum PDI perjuangan Megawati Soekarno Putri tentang seorang wanita kader partainya yang undur diri dari kancah perpolitikan di Indonesia karena dilarang suami, agaknya menjadi gambaran paradoks perjuangan perempuan menuntut hak politik agar diakui dan setara dengan laki-laki. Terlebih di saat-saat tahun politik seperti ini.
Megawati menyayangkan, disaat para perempuan di seluruh dunia sedang memperjuangkan hak-hak politik mereka, masih ada perempuan yang rela mengikuti perintah suaminya untuk meninggalkan panggung politik. Padahal di tahun politik inilah, perjuangan perempuan menuntut hak-hak politik menemukan momentumnya.
/Akar Persoalan Perempuan/
Memang, sejak dekade silam, isu hak politik perempuan mulai gencar diperjuangkan oleh para perempuan di seluruh dunia, khususnya diwakili oleh gerakan feminisme yang secara masif melakukan kampanye untuk menyuarakan isu-isu kesetaraan gender, pemberdayaan ekonomi perempuan dan tentunya tuntutan hak politik perempuan yang seluas-luasnya. Khusus wacana pemberdayaan hak dan peran politik perempuan, persoalan seputar kepemimpinan perempuan dalam kekuasaan, tuntutan kuota perempuan di parlemen serta tuntutan kemandirian hak suara perempuan dalam pemilu merupakan tiga isu strategis yang selalu diusung pegiat feminisme. Dalam pandangan mereka beragam persoalan krusial perempuan yang mengemuka akan terselesaikan dengan semakin mudahnya akses perempuan ke dalam ring kekuasaan dan parlemen sehingga setiap kebijakan publik diharapkan senantiasa berpihak pada kaum hawa.
Tentu saja harapan ini sulit dijumpai dalam kenyataan. Meski banyak perempuan yang berjibaku dalam politik, menjadi anggota parlemen bahkan presiden, tetap saja persoalan perempuan tak bergeser bahkan nyaris ada secara permanen. Lihatlah! Berapa banyak kasus tindak korupsi yang menjerat politisi wanita dari berbagai partai politik? Alih-alih mereka akan memperjuangkan nasib perempuan, yang ada mereka menjadi korban politk praktis oportunistik.
Perspektif yang rancu dalam memandang akar persoalan perempuan, memunculkan anggapan bahwa beragam persoalan perempuan itu ada karena tersumbatnya ruang gerak bagi perempuan untuk berkiprah di ranah publik terutama di kancah politik. Oleh karenanya para pegiat feminisme menjadikan tujuan terpenting dari perjuangannya adalah membongkar penghalang budaya dan nilai-nilai agama (baca: Islam) yang selama ini kokoh mengurung kaum perempuan dalam pengapnya ranah domestik. Asumsi mereka menyimpulkan, keberadaan perempuan dalam wilayah domestik tidak produktif secara materi, sehingga perempuan lemah secara ekonomi, tergantung pada suami, tertindas dan terbelakang. Pada akhirnya, perempuan tidak memiliki bargaining position dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam rumahtangga, masyarakat dan negara. Tak jarang para pegiat feminisme pun menjadikan Islam sebagai sasaran bidik untuk dihujat, sebagai penyebab berbagai persoalan perempuan. Terutama karena keberadaan fiqih perempuan dalam khazanah hukum Islam yang menurut mereka kental dengan semangat misoginis (anti perempuan). Mengemukalah tuntutan untuk melakukan interpretasi nash-nash fiqih perempuan. Sehingga tak heran ada resistensi pada sebagian umat Islam terhadap perjuangan kesetaraan gender yang diusung para pegiat feminisme. Anggapan perjuangan kesetaraan gender ini sebagi alat dunia Barat Sekuler untuk menyerang Islam dan ajarannya kian tak terbantahkan.
/Islam Menjamin Kiprah Politik Perempuan/
Sesungguhnya, Islam sebagai agama yang paripurna memiliki pandangan yang khas dan berbeda secara diametral dengan pandangan Demokrasi dalam melihat dan menyelesaikan persoalan perempuan. Termasuk ketika memandang bagaimana hakekat politik dan kiprah politik perempuan di dalam masyarakat. Berangkat dari pandangan yang mendasar tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Islam menjadikan perempuan hakekatnya sama dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai manusia, hamba Allah yang memiliki potensi dasar berupa akal, naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan di dalam masyarakat, sesungguhnya keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya ada untuk mengemban tanggungjawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah Swt sebagai Pencipta dan Pengatur makhluk-Nya. Selain itu, Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Adakalanya sama, adakalanya berbeda. Meski berbeda, namun keduanya memiliki posisi dan tugas yang sama-sama penting dalam mewujudkan kebahagian hakiki dalam kehidupan masyrakat yang keridloan Allah Swt teraih pasti.
Islam pun telah memberikan tuntunan bagi perempuan di kancah politik dengan mewajibkannya mengambil peran aktif untuk mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat. Politik yang tidak sebatas pada persoalan kekuasaan dan parlemen semata. Namun politik yang meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat. Sehingga politik dalam Islam dijauhkan dari unsur perebutan kekuasaan, kekejaman dan ketidakadilan. Terlebih lagi, Islam melandaskan pengaturan dan pemeliharaan urusan umat ini pada hukum-hukum Allah saja. Walhasil beragam persoalan krusial yang mendera perempuan bukan bersumber pada siapa yang berkuasa, laki-laki atau perempuan, tapi pada sistem politik yang diterapkan.
Wallahualam bi ash sawwab.
===========================
Sumber Foto : Dialeksis