Oleh: Wati Umi Diwanti
(Pengasuh MQ.Khodijah Al-Kubro, Revowriter Kalsel)
Â
Â
Suatu ketika sepulang dari mencari salah satu kebutuhan. Saya dan anak-anak melewati sebuah rumah mewah. Bukan sekedar mewah, rumah ini termasuk fenomenal di wilayah kami. Rumahnya besar dengan desain yang tak biasa. Halamannya super luas dan di bagian belakang ada kolam renangnya.
“Wah… enaknya punya rumah kayak ini, ada kolam renangnya lagi” celoteh si Kakakyang duduk diboncenganbelakang motor. Dengan ekspresi kekaguman dan harapan yang besar ingin memiliki rumah tersebut.
Mengagumi dan ingin memiliki sesuatu yang‘wah’ ini sebenarnya lumrah saja. Namanya juga manusia. Tapi bagi saya, kurangpas jika hanya duniayang menjadi sebuah cita-cita.Karena apa yang dicita itu akan menuntun amalan seseorang ke depannya.
Maka segeralah saya memikirkan cara bagaimana untuk mengarahkan pembicaraan. “Ah, kita juga nanti pasti punya rumah bagus kayak gitu, malahan lebih bagus lagi”, jawabku atas ungkapannya tadi.
“Iyakah Mi, kapan?”
“Ya nantilah kalo kita masuk Surga, kan apa yang kita mau pasti ada di sana.”
Mendengar itu, wajah cerah penuh pengharapannya tiba-tiba berubah. Wajar sih, dia pikir bakal dapat rumahnya di dunia. Eh ternyata emaknya lagi-lagi ngomongin akhirat. Tapi dia juga tidak membantah karena saya yakin siapapun termasuk anak-anak pasti tidak akan mendustakan adanya negeri akhirat. Tinggal mana yang lebih dominan diindra saja.
Kalo akhirat mendominasi maka amalan akhiratlah yang memadati jadwal  kehidupannya. Sebaliknya jika dunia mendominasi maka akhirat hanya sebatas maklumat. Beramal untuk akhirat akan sekenanya saja.
“Ya, kan di dunia ini cuma bentaran doang  Kak? Allah sudah mengabarkan bahwa kehidupan dunia ini hanya sekejap, toh?!“
Lalu saya ajak si Kakak berpikir tentang manfaat rumah itu sebenarnya untuk apa. Bukankah fungsinya hanya untuk istirahat. Lalu apa bedanya mewah dan tidak, kan sama saja rasanya. Besar atau kecil, yang dipakai buat tidur juga cuma satu kasur aja sudah cukup.
“Yang penting bisa istirahat saat lelah. Setelah itu kita bisa ibadah lagi. Menunaikan apa-apa yang diminta Allah. Kalo ibadah kita bagus nanti di Surgalah kita bersenang-senang. Semua yang kita mau akan diberi Allah cuma-cuma. Gak harus repot lagi untuk mendapatkannya. Kita harus banyak-banyak bersyukur dengan yang kita punya. Masih banyak orang yang tidak punya rumah. Tidurnya dikolong-kolong jembatan. Di emper-emper toko. Kedinginan, kepanasan. Kalau kita kan Alhamdulillah banget ada rumah meskipun seadanya.” Saya mencoba menjelaskan.
Mendidik anak sejatinya adalah membuat ia mengerti tentang hakikat hidup ini. Dan ini adalah sebuah proses panjang yang harus kita lakukan di berbagai kesempatan. Kapanpun kita merasakan ketidak sesuaian pemikiran atau perbuatan mereka. Kita harus segera berpikir dan bertindak pula untuk segera meluruskannya.
Apalagi di zaman now kita diserbu dan dikelilingi pemikiran dan gaya hidup yang jauh dari ajaran Islam. Sebagai ibu kita harus peka dan kreatif meramu kata. Agar anak-anak kita bisa terjaga pola pikir dan sikap Islamnya melalui komunikasi dengan kita, orang tuanya.Sekalipun telah kita pilihkan sekolah yang baik, tetap saja peran utamanya ditangan kita. Karena berbagai momen yang nyata itu lebih banyak mereka lewati bersama kita sebagai orang tuanya.
Tentang masalah kali ini saya juga sampaikan bahwa sebenarnya tidaklah salah kalau suatu saatkita mampu mempunyai rumah atau barang bagus lainnya. Allah tidak pernah salah memberikan rezeki. Tugas kita adalah senantiasa bersyukur dengan semakin rajin menjalankan perintah–Nya. Hanya saja, kemegahan duniabukanlah tujuan utama orang muslim. Muslim yang baik tidak mengejar dunia tetapi rida Tuhannya. Itulah satu-satunya sumber bahagia bagi kita.
“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (Q.S. Ash-Shura:20).
Wallahu’alam***