* Inspirasi Ramadan (1)
Oleh Kholda Najiyah
Setiap muslim pasti mengaku mencintai Allah SWT. Walau kadang cinta itu sekadar klaim. Lips service.
Tak banyak yang mampu membuktikan dengan sikap dan perbuatan yang menunjukkan bukti cinta pada-Nya. Karena, mencintai sesuatu yang ghaib, bukan perkara mudah. Sulit. Sangat sulit.
Katanya cinta Allah, tapi adzan masih goleran. Nggak segera bangkit menghadap-Nya. Katanya cinta Allah, tapi enggan mendatangi majelis yang membahas ilmu-Nya. Malah curiga, jangan-jangan itu aliran sesat. Katanya cinta Allah, tapi menolak diterapkannya syariat Allah. Menolak mentah-mentah. Kalau seperti itu, ya wajar jika cintamu bertepuk sebelah tangan. Kamu mengaku cinta Allah, tapi Allah nggak bakal membalas cintamu. Karena cintamu hanya di bibir saja. Bahkan mungkin cuma di hati. Tanpa bukti.
Tapi, jangan khawatir. Ada cara agar kita dicintai Allah. Pantaskan diri menjadi pribadi yang dicintai Allah SWT. Ya, biarlah Allah yang mengkliam kita sebagai kecintaannya. Karena jika Allah saja sudah mencintai kita, apakah sanggup kita menolak cintanya?
Nah, salah satu cara untuk dicintai Allah SWT adalah bersikap zuhud. Sebagaimana tema pembahasan
dalam Hadits Arba’in ke 31, sebagai berikut:
Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata,
“Wahai Rasulallah, tunjukkan padaku suatu amalan yang apabila kulakukan aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.” Rasululullah saw. bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang di tangan manusia, pasti manusia pun mencintaimu.” (HR Ibnu Majah dan yang lain, hadits ini hasan)
Hadits ini berisikan dua pesan Nabi saw. yang sangat penting. Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah terhadap hamba-Nya. Kedua, zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.
Lantas apa zuhud itu? Apakah memiskinkan dan menderitakan diri dengan hidup ala kadarnya? Tidak perlu mengejar kekayaan dan cukup hidup dalam kemiskinan? Tentu saja bukan. Zuhud itu adalah orang yang mencukupkan duniawi sesuai kebutuhannya, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Tidak bermegah-megahan dan bermewah-mewahan, meski itu halal dan boleh dilakukan.
Zuhud itu artinya mencukupkan diri dalam hal dunia berdasar KEBUTUHAN, bukan KEINGINAN, walau ia mampu dan sekalipun itu halal. Zuhud bukan pula bermakna menzalimi diri sendiri, membuat menderita dan menyiksa diri dikarenakan enggan menikmati dunia.
Zuhud itu bukan orang yang berpakaian compang-camping, tak pernah beli baju baru yang pantas. Tapi, zuhud itu orang yang ketika membeli barang baru lantas mengeluarkan isi lemarinya, barang lama yang hanya tersimpan dan taktermanfaatkan disumbangkan. Ia membeli barang-barang yang memang DIBUTUHKAN. Bukan sekadar untuk disimpan, apalagi dikoleksi, seperti halnya gaya hidup orang masa kini. Punya uang banyak dibelanjakan untuk barang-barang mewah atas nama koleksi atau investasi.
Contoh, Sahabat Abdurrahman bin Auf adalah orang yang diberi kekayaan luar biasa oleh Allah SWT. Apakah dia tidak zuhud? Tentu saja dia zuhud, karena kekayaannya bukan untuk menaikkan level konsumsi segala KEINGINAN nafsunya, melainkan justru diamalkan untuk jalan Allah SWT.
Ketika ia hijrah dari Mekah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf meninggalkan hartanya, hanya berangkat dengan seekor kuda serta perbekalan secukupnya yang habis di perjalanan. Sesampainya di Madinah, ia dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW dengan kaun Anshar yang paling kaya di sana.
Kaum Anshar itu menawarkan separuh hartanya, dan membolehkan Abdurrahman memilih salah satu istrinya agar ia ceraikan untuk saudara muhajirinnya itu. Namun Abdurrahman menolak. Ia hanya meminta agar ditunjukkan pasar, agar ia bisa kembali berdagang. Sungguh, Abdurrahman lebih memilih hidup bersahaja hingga kelak ia sukses kembali dalam perdagangannya. Dengan tangannya. Dengan ikhtiarnya. Padahal ia boleh saja menerima pemberian kaum Anshar itu dan tinggal menikmatinya.
Bagaimana dengan manusia masa kini? Banyak orang kaya yang pengeluarannya juga besar, karena gaya hidup mengajarkan untuk selalu meningkatkan konsumsi seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Penghasilan miliaran, belanja barang juga miliaran. Akhirnya tidak menyisihkan untuk amal, kecuali
recehan-recehannya. Memang itu boleh, tidak dosa. Tapi belum mencapai level zuhud. Maka, contoh zuhud dalam aplikasi kehidupan misalnya sebagai berikut:
Zuhud itu orang yang memilih pecahan uang ratusan ribu, dibanding dua ribuan di dompetnya saat berhadapan dengan keropak amal. Sebab ia ingin menikmati besarnya ganjaran akhirat, bukan sekadar recehannya.
Zuhud itu, orang yang mampu membeli mobil mewah seharga Rp1 miliar, tapi mencukupkan diri dengan mobil seharga Rp300 jutaan. Ia memilih menginfakkan sisanya Rp700 juta untuk wakaf membangun masjid atau sekolahan, atau infak di jalan dakwah, sebagai ‘kendaraan’ menuju surga.
Zuhud itu, orang yang mampu membeli tas branded harga Rp50 juta, tapi memilih tas lokal seharga Rp500 ribu saja. Sisanya Rp45.500.000 pilih diwakafkan untuk ‘koleksi’ di akhirat kelak.
Zuhud itu, orang yang mampu beli sepatu merek terkenal seharga Rp10 juta, tapi lebih memilih sepatu seharga katakanlah Rp500 ribuan. Yang Rp9.500.000 lebih baik diwakafkan, atau untuk renovasi sekolah, supaya kelak diberi kesempatan bisa menginjakkan kaki di surga.
Zuhud itu, orang yang mampu makan di restoran tapi lebih memilih makan di warteg biasa saja. Uang yang sedianya mampu membeli steak, barbeque, dan aneka menu modern berharga ratusan ribu rupiah – meski halal dan itu sangat boleh–, ia masukkan keropak, demi mendambakan makan-minum lezat dan gratis di surga kelak.
Demikianlah. Betapa tinggi derajat orang yang zuhud. Yaitu orang yang MENCUKUPKAN diri dengan hidup bersahaja, padahal ia MAMPU hidup mewah. Sebab, dengan yang halal-halal dan boleh saja dia mampu menahan diri, terlebih terhadap yang SUBHAT dan yang HARAM. Maka wajar jika orang yang zuhud adalah orang yang akan dicintai Allah SWT. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk zuhud. Aamiin.(*)