Oleh: Wulan Citra Dewi, S.Pd.
Bukanlah hal baru jika Islam berdampingan dengan banyak perbedaan keyakinan. Sejak Islam diturunkan hingga wilayah kekuasaannya membentang di 2/3 belahan dunia, berbagai agama ada di dalamnya. Tidak terjadi monopoli, apalagi diskriminasi. Seluruh umat manusia tenang dan damai berdampingan dengan Islam. Bahkan alam semestapun turut mereguk rahmat dari keagungan Islam yang sempurna.
Terdapat banyak kisah menarik pada masa kekhilafahan Islamiah tentang kehidupan yang heterogen semisal itu. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Amirul Mukminim, Umar bin Khatab ra. misalnya. Sebuah kisah yang seharusnya membuka mata kita tentang bagaimana Islam mengajarkan kedamaian dan keadilan meski dalam perbedaan.
Adalah Amr ibn al-’Ash, Gubernur Mesir pada masa pemerintahan Kholifah Umar bin Khatab. Melakukan negosiasi kepada seorang Yahudi tua yang tinggal di gubuk reyot, tepat di depan istananya. Sang Gubernur hendak membeli sebidang tanah dan gubuk reyot milik si Yahudi tersebut. Tidak ada alasan lain, kecuali Ia ingin medirikan masjid yang megah di atas tanah itu. Sehingga setara kemegahan yang terpampang ketika mata memandang, baik istana maupun masjid yang ada di depannya. Pikir sang Gubernur. Namun pemilik tanah tak bergeming, bahkan hingga tawaran harga lima kali lipat yang diajukan. Si Yahudi renta tetap bersikeras mempertahankan harta yang menjadi miliknya.
Merasa berkuasa, kekuatan ada dalam genggaman. Lagipula tujuannya adalah kebaikan, membangun tempat peribadahan, Masjid. Tanpa pikir panjang, Amr ibn al-’Ash menetapkan kebijakan untuk membongkar gubuk reyot tadi. Kemudian memerintahkan untuk dibangun Masjid besar di atas tanah tersebut. Meski pemilik tanah tak menerima, demi kepentingan bersama dan memperindah pemandangan, tak jadi problema! Angan Amr ibn al-’Ash.
Tidak terima dengan kebijakan sang Gubernur, si Yahudi tua mencari peruntungan menuju Madinah. Ia ingin memperoleh keadilan dari atasan sang Gubernur yang tidak lain adalah Umar bin Khatab sebagai Amirul Mukminin. Benar saja, setelah seluruh perkara ia ceritakan kepada sang Khalifah, tanpa basa-basi keputusan langsung ia terima. Umar bin Khatab ra. memerintahkan kepada si Yahudi tersebut untuk memungut sekerat tulang. Kemudian Umar menggoreskan huruf alif dari atas ke bawah dan memalang di tengah-tengahnya dengan ujung pedang pada tulang tersebut.
”Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-’Ash!” pesan sang Khalifah.
”Maaf Tuan, Aku terus terang masih tidak mengerti. Aku datang jauh-jauh ke sini untuk meminta keadilan, bukan tulang tak berharga ini.” si Yahudi memprotes.
”Wahai orang yang menuntut keadilan, pada tulang itulah terletak keadilan yang engkau inginkan.” Sang Khalifah tersenyum, sama sekali tidak marah dengan protes yang ia terima.
Benar saja, Amr ibn al-’Ash mendadak menggigil dan wajahnya memucat ketakutan seketika saat menerima tulang yang diserahkan oleh si Yahudi. Tanpa banyak bicara, sang Gubernur memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar Masjid yang baru jadi dan supaya dibangun kembali gubuk lelaki Yahudi tersebut. Bingung tak berkesudahan, si Yahudi tergagap menyampaikan tanya kepada sang Gubernur. Apa gerangan yang terjadi, kenapa secepat kilat kebijakan Sang Gubernur berubah hanya dengan sekerat tulang tak berharga?
”Ketahuilah wahai orang Yahudi, tulang itu berisi ancaman Khalifah. Seolah-olah beliau berkata, ’Hai Amr ibn al-’Ash! Ingatlah, siapapun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak lurus, pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!’” Sang Gubernur menerangkan.
Decak kagum tersirat di air wajah si Yahudi. Sejurus kemudian Ia tertunduk dan terharu mendengar penuturan sang Gubernur. Tanpa pikir panjang dan dengan penuh kesadaran, si Yahudi tersebut mengikrarkan diri untuk memeluk Islam. lantas menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakafnya di jalan Islam. Masya Allah!
Banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari kisah fenomenal tersebut. Paling menyolok adalah bagaimana sikap seorang pemimpin dunia Islam kepada rakyatnya yang berlainan agama. Jangankan menghilangkan nyawa, bertindak zalim dengan mengambil hak-haknya saja dipandang sebagai perbuatan tercela. Inilah ajaran Islam, menuntun manusia untuk menegakkan keadilan. Juga menjaga jiwa-jiwa yang tak berdaya meski tak seagama.
Kisah ini pula sebagai salah satu contoh nyata, bagaimana cara meninggikan dan memuliakan agama-Nya. Bukan dengan pedang. Tidak melalui kekerasan. Tiada pula paksaan. Melainkan dengan laku yang telah dicontohkan oleh suri teladan sepanjang zaman. Menegakkan keadilan yang sama tanpa ada beda baik bagi muslim maupun non muslim. Begitupun dengan harta, jiwa dan darah mereka, aman dalam naungan Islam. Haram untuk ditumpahkan.
Kehidupan damai dalam naungan Islam semacam ini bukanlah ilusi. Karena realitanya hal tersebut pernah terjadi. 1300 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk merekam indahnya kehidupan dalam dekapan syariat-Nya. Dari masa kepemimpin Rasulullah Saw. di Madinah hingga masa kekhilafahan Turki Utsmani yang berakhir pada 1924 M. Masyarakat muslim dan nonmuslim hidup berdampingan tanpa ada pembantaian. Ini adalah fakta sejarah yang tidak boleh dinafikkan. Bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan meski pada nonislam sekalipun.
Sebagaimana yang digoreskan oleh seorang sejarawan Barat, Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization. Ia menyebutkan, ”Para Khalifah telah memberikan keamanan pada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. …”.
Begitu pula yang diungkapkan oleh Herbert George Wells, sejarawan berkebangsaan Inggris. ”Islam telah berhasil menciptakan suatu masyarakat yang bebas dari kekejaman dan penindasan sosial daripada masyarakat-masyarakat yang pernah ada sebelumnya di dunia.” (Outline Of History, 1920M).
Dunia telah merekam keagungan Islam. Hingga akhir zaman, keberadaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tidak akan pernah tergantikan. Ini adalah janji dari sang Pencipta kehidupan. Jika para sejarawan Barat telah mengungkapkan kekagumannya pada keagungan Islam hanya karena realitas yang mereka rasa. Lantas bagaimana mungkin kita sebagai hamba yang beriman ragu terhadap apa yang Allah Swt. janjikan? Maka sudah selayaknya, kita wujudkan kembali Islam kaffah dalam kancah kehidupan sebagai wasilah untuk tersebarnya rahmat bagi seluruh alam semesta. Karena hanya dengan Islam saja perbedaan tak jadi persoalan dan perdamaian dunia dapat terwujud nyata dalam kehidupan. Wallahu’alam***
Kepustakaan:
The Great of Two Umars (Fuad Abdurrahman) dan berbagai sumber lainnya.