Oleh : Indriani, SE, Ak
#MuslimahTimes — Masih segar dalam ingatan bagaimana solusi beberapa pejabat negeri ini terkait dengan masalah pangan. Beragam kebijakan yang justru membuat rakyat mengelus dada dan menelan ludah karena kekecewaan yang seolah tak bertuan. Kebijakan seperti, menanam cabe sendiri di saat harga cabe melambung tinggi, sarden bercacing yang dikatakan berprotein tinggi, daging mahal rakyat pun diminta berburu keong. Kini, ada kebijakan terbaru yang fenomenal yaitu beras saset.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan beras saset merupakan beras jenis premium dan setara dengan tiga piring nasi.
“Ini premium kualitasnya. Jadi kalau punya uang Rp10.000 ambil Rp 2.500 ini sudah bisa jadi tiga piring sudah kita cek, kita praktikan jadi kenyang nih sehari,” jelasnya beberapa waktu lalu. Selain itu, rencanannya beras tersebut akan dijual melalui koperasi BUMN hingga toko ritel. (detikfinance, 28/5/2018)
Akan tetapi langkah ini justru dinilai tidak berpihak kepada rakyat khususnya kelas menengah ke bawah. Disebabkan harga beras yang dibutuhkan untuk digunakan dalam sehari masih terhitung tinggi.
Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan menjual beras dalam bentuk saset 200 gram merupakan salah satu cara menstabilkan harga pangan.
Hanya saja, menurut Sutarto, beras saset belum menyentuh ke masyarakat bawah. Ambil contoh, beras FS Tjipinang Melati Setra Ramos ukuran 5 kg, harganya dipatok Rp59.000. Sementara beras saset sebanyak 5 kg maka dihargai dengan Rp62.500 (25 sachet dikali Rp 2.500). Artinya, untuk ukuran 5 kg, akan lebih hemat membeli beras karung. Uang yang bisa dihemat Rp 3.500.
Sementara itu, dibandingkan membeli beras eceran yang premium, beras saset lebih hemat Rp300. Karena beras premium dipatok Rp12.800/kg, sedangkan beras saset bila dibeli sebanyak 1 kg hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp12.500.
“Intinya sebenarnya yang perlu mendapat perhatian adalah masyarakat menengah ke bawah kalau ke atas kan bisa membeli sesuai keinginan mereka,” kata Sutarto. Bila dibandingkan dengan harga beras saset yang dibeli sebanyak 1 kg Rp12.500, maka beras miskin (raskin) ukuran 1 kg hanya perlu mengeluarkan uang Rp1.600.
Pengelolaan masalah pangan, khususnya beras yang termasuk bahan pokok bagi rakyat seharusnya menjadi kewajiban negara, selaku pengurus rakyat untuk mengurusi segala kebutuhan rakyatnya dengan baik agar rakyatnya sejahtera. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad)
Akan tetapi, sistem Kapitalis-Neoliberal yang menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai tolak ukur, telah menjadikan masalah pangan ini sebagai komoditas negara melalui mekanisme hitung dagang dengan rakyatnya dalam meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli rakyat yang semakin susah hidupnya.
Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh. Berikut jaminan kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.
Terpenuhinya kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan menentukan ketahanan pangan negara. Selain itu, ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu sendiri. Juga memengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan negara untuk memimpin dunia.
Lebih dari itu, negara harus memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari dalam negeri. Sebab, jika hal yang berkaitan dengan hidup rakyat banyak tersebut tergantung pada negara lain melalui impor. Maka kondisi ini bisa membuat nasib negara tergadai pada negara lain. Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan sikap negara.
Ketergantungan pada impor juga berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis. Akibatnya stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistensi negara sebagai negara yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.
Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan
Negara dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negeri (ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan ,kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat individu per individu.
Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu negara, adanya jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai secara otomatis akan mampu menciptakan ketahanan pangan suatu negara. Oleh karena itu, jaminan tersedianya pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negara harus mendapat perhatian penting dari negara.
Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat
Ketersediaan pangan bisa dilakukan dengan meningkatkan produksi pangan dalam negeri ataupun dengan impor bahan pangan dari luar negeri.
Kebijakan impor pangan dari luar negeri diambil oleh negara tentu setelah negara mengambil kebijakan dan strategi peningkatan produksi pangan nasional sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Kebijakan impor pangan yang diambil oleh negara tentulah harus memerhatikan beberapa hal yang terkait dengan kekuatan politik negara. Contoh kondisi negeri ini yang sangat tergatung pada impor bisa memengaruhi stabilitas dalam negeri.
Seperti kedelai, dari kebutuhan sebesar 3 juta ton, produksi dalam negeri hanya 800.000 ton saja. Artinya 2,2 juta ton harus diimpor dan 90%-nya dari Amerika. Hal sama juga terjadi atas gandum yang 100 % impor, jagung, gula, bahkan garam. Ketika produksi pangan negara asal impor mengalami gangguan, atau terjadi spekulasi harga di tingkat internasional sehingga harga melambung seperti yang terjadi beberapa tahun lalu, maka stabilitas dalam negeri ini akan terganggu.
Kemandirian Pangan Negara
Karena itu, impor pangan haruslah tidak terus menerus, dan tidak boleh dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri sebab hal itu akan menyebabkan ketergantungan kepada negara lain. Jika itu terjadi, maka ini akan membuka jalan bagi negara lain itu untuk mengintervensi bahkan mengontrol negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Allah Swt., pun telah mengharamkan kita menyediakan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin. Sebagaimana firmanNya:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (TQS. an-Nisa [4]: 141). Karenanya negara harus benar-benar memerhatikan kebijakan impor bahan pangan. Ataupun kebijakan ekspor jika kebutuhan pangan itu belum memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dalam hal ini, daulah harus mengupayakan semaksimal mungkin terwujudnya kemandirian pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri. Dengan strategi yang dipaparkan di atas maka kemandirian pangan itu bisa diwujudkan, insya Allah.
Semua kebijakan dan strategi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh kepemimpinan yang baik dalam sistem kenegaraan yang bisa menjamin adanya keterpaduan antarsektor, bukan malah terjadi ego antarsektor ditengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini. Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.