Oleh : Ayu Mela Yulianti, SPt
(Pendidik dan Pemerhati masalah Umat)
#MuslimahTimes — Demokrasi kembali menampilkan wajah hipokrisinya. Jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat kembali ternoda. Bagaimana tidak, jargon yang sangat menuhankan suara rakyat. Hingga suara rakyat adalah surat tuhan kembali dipelintir dengan sejumlah kasus yang terjadi terkait dengan kebebasan berpendapat yang dilahirkan dari jargon demokrasi.
Yang sangat viral di medsos dan pembicaraan publik adalah kasus dipanggil dan dikonaktifkannya seorang dosen mata kuliah Pancasila yang menyuarakan bahwa konsep Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila, mencederai jargon demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat. ini pula bukti hipokrisi demokrasi atau demokrasi bermuka dua.
dan atau kemunafikan demokrasi.
Hipokrisi dan atau kemunafikan demokrasi ini sangatlah berbahaya, jika dijadikan sebagai standar nilai dalam mengukur sebuah relevansi suatu kejadian. apalagi jika dikaitkan dengan kejadian politik.
Kejadian politik itu sendiri memiliki makna sebagai suatu perkara terkait dengan urusan dan mengurus permasalahan masyarakat atau sekumpulan manusia yang terikat dengan aturan, pemikiran dan perasaan yang sama atas suatu nilai.
Jika urusan permasalahan manusia ini terkait dengan kemiskinan, kesehatan, keamanan, maka sudah seharusnya jargon aturan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah suatu nilai yang bersifat pasti bukan bersifat nisbi atau relatif, karena jika nisbi atau relatif maka hanya akan menghasilkan solusi yang bersifat nisbi atau relatif pula. maka ini akan memberikan peluang bagi hipokrisi dalam penerapan aturan. dalam hal ini demokrasi.
Berbeda dengan Islam. tata nilai peraturan hidup yang disarikan dari Islam yang terkumpul dalam Syariat Islam dan dilaksanakan dalam syariat Islam Kaffah, memiliki nilai yang bersifat pasti, tidak nisbi tidak pula relatif sesuai kepentingan penguasa dan kekuasaan.
Maka solusi yang dihasilkan dalam menyelesaikan permasalahan manusia akan bersifat pasti, tidak berubah-ubah sesuai kepentingan penguasa dan kekuasaan.
Memenuhi rasa keadilan dan fitrahnya manusia. satupun manusia tidak akan merasa terdzolimi. karena standar nilainya adalah pasti, halal dan haram dalam aturan syariat Islam, bukan atas dasar kepentingan penguasa dan kekuasaan.
Maka Syariat Islam akan membenarkan koreksi dari seseorang, seumpama dari seorang dosen pengajar mata kuliah Pancasila yang menyatakan kebenaran dengan mengatakan bahwa konsep Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila, dan Khilafah lah yang mampu mewujudkan cita-cita Pancasila yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan Makmur. Bukan demokrasi, Sekuler Kapitalis apalagi Komunis.
Hal ini semata-mata karena tata nilai dalam Syariat Islam adalah Halal dan Haram. Maka menyatakan kebenaran dan menjauhi kebohongan adalah perkara halal yang wajib dilakukan oleh setiap manusia, dan hal ini sangat diapresiasi dalam Syariat Islam yang sangat bertolak belakang dengan demokrasi.
Oleh karena itu sejatinya sebuah jargon tidaklah boleh untuk dipelintir sesuai kepentingan pemilik kekuasaan, karenanya akan bernilai nisbi atau relatiflah jargon tersebut, dan tidaklah layak untuk diterapkan dan dijadikan sebagai standar nilai dan penilaian. Maka sudah sepatutnya mengoreksi kembali penggunaan jargon demokrasi dalam kehidupan. Kenapa ?, karena demokrasi memiliki nilai nisbi dan relatif tergantung kepentingan penguasa dan kekuasaan. bukan terletak dari penegakan kebenaran dan keadilan.
wallahualam.
==============================================
Sumber Foto : Kompasiana