Oleh : Dessy Fatmawati, S. T
Tahun 1983 ruang kritik makin disumbat selama berlangsung program NKK/DKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dibawah asuhan Daoed Joesoef. Didukung oleh Menristekdikti Nugroho Notosusanto yang menerbitkan wacana almamater: Institusionalisasi, Profesionalisasi dan Transpolitisasi.
Tak ketinggalan program penataran P4 paket 100 jam bagi seluruh mahasiswa. Era itu mahasiswa diminta duduk manis di bangku perkuliahan, fokus pada nilai A, segera bekerja dan menikah. Tanpa perlu peduli sedikitpun kondisi bangsa.
Jika diamati dengan saksama pesan dari program yang dijalankan sama, kampus dilarang berseberangan politik dengan kekuasaan saat itu (rezim Soeharto). Benar atau salah, kampus dilarang berbeda dengan penguasa. Alih-alih berhasil menjinakkan mahasiswa dengan jargon ‘Pancasila’, justru yang terjadi adalah kejatuhan rezim ‘Pancasila’ di tahun 1998.
Dua puluh tahun berselang, di tahun 2018, nuansa pembungkaman kampus tidak bisa dielakkan. Seperti tidak belajar dari masa lalu, diselesaikan dengan cara yang sama juga, mempertontonkan represifitas penguasa. Kembali menggunakan jargon ‘Pancasila’ ditambah bumbu tendensius ‘radikalisme’. Sudah menjadi rahasia umum bahwa makna radikalisme yang dimaksud tidak jelas dan ditafsirkan sepihak oleh penguasa sebagai gerakan yang berisi siapapun yang kontra penguasa terlebih bagi pihak yang menawarkan solusi Islam dalam panggung politik. Dr. Arif Satria, rektor IPB menolak adanya stigmatisasi jika ada orang yang mengaji, beribadah, rajin ke masjid dianggap radikal.
Namun nuansa pembungkaman terus berlanjut. Terlihat dari peristiwa beruntun, mulai disahkannya UU MD3. Penjatuhan sanksi akademik kepada Prof. Ir. Daniel Rosyid, Ph. D, MRINA dan Prof. Dr. Suteki, S. H, M. Hum. Pembentukan BPIP dengan gaji ‘fantastis’. Penderasan arus Islam wasathiyah dan dilawankan dengan Islam yang mendakwahkan penerapan syariat Islam dalam bingkai khilafah di kampus-kampus. Rilis ujaran kebencian untuk ASN, rilis 7 kampus ternama sebagai sarang radikalisme dan terakhir kewajiban menyerahkan nomor ponsel dan akun media sosial bagi mahasiswa dan dosen. Tidak bisa dielakkan, peristiwa-peristiwa ini memang semua dimaksudkan untuk membungkam pihak yang berbeda dengan penguasa. Lebih spesifik bagi pengusung solusi Islam politik. Maka tak heran banyak pihak menyebut penguasa saat ini mengidap Islamophobia akut.
Berkaca pada bangkit dan runtuhnya suatu peradaban, tidak bisa dilepaskan dari peran pemuda yang terdidik (intelektual). Intelektual telah lama didefinisikan bukan hanya dalam sekup ilmuan, yang berprinsip science for science, namun meluas, devote the ideas, knowledge, and values (Jalaludin Rahmat). Kaum yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi masyarakat, merumuskan dalam bahasa yang dapat difahami semua orang, menawarkan alternatif dan strategi menyelesaikan masalah (James Mac Gregor Burns).
Dalam teori triple helix ABG (academic-bussines-goverment) yang dipaparkan oleh Dr. Kusmayanto Kadiman (mantan rektor ITB), akademisi berperan mencetak IPTEK dan SDM pendukung yang akan mengisi ruang bussines-goverment. Namun perlu diingat IPTEK memiliki genuine purpose yang tidak bisa dikendalikan bussines-goverment secara mutlak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Ir. Daniel Rosyid, Ph. D, MRINA, “Setahu saya para profesional bukan bekerja bagi siapa yang membayarnya. Dia melayani publik untuk kebajikan publik.”
Naiknya opini Islam politik sebagai solusi tidak lepas dari dua faktor. Pertama kegagalan ideologi sekuler kapitalis yang diusung penguasa dalam menyelesaikan krisis multidimensi. Solusi-solusi yang dibawa tak lebih dari sekedar tambal sulam, temporer dan menimbulkan masalah baru. Kedua, kembalinya kaum muslimin secara massif menggali khazanah empiris dan historis agamanya. Sehingga muncul optimisme akan keberhasilan solusi Islam yang tentunya menjadikan kedua pengusung ide berhadap-hadapan.
Fakta berbicara negara tidak akan hancur jika diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Namun negara akan hancur jika tidak diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Maka sejatinya tindakan membungkam mimbar akademik tidak akan membuahkan hasil apapun bagi rezim. Justru semakin menunjukkan kekalahan ide sekuler-kapitalis bertarung dengan ide Islam. Represifitas yang dipertontonkan justru akan semakin membuat umat melihat betapa rusaknya peradaban hasil tatanan sekuler dan bukan tidak mungkin mempercepat berpalingnya umat kepada Islam.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak sadar. (QS Al Baqarah : 9)
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali Imron : 54)
What’s meant to be will always find its way. Satu demi satu penutupan kran aspirasi di tengah ketidakadilan yang dipertontonkan tidak akan bisa membendung laju kebenaran. Sekalipun satu demi satu kampus dan segenap komponennya ditekan sedemikian rupa, hasilnya akan sama. Kemenangan kebenaran di atas reruntuhan keangkuhan penguasa. Apalagi kebenaran Islam telah terang benderang bagi kaum yang berfikir.
Bak fenomena backdraft, setiap pembungkaman akan menyimpan potensi energi yang tersembunyi akan meledak bersamaan dengan retaknya tirani. Satu demi satu kaum intelektual yang mengkhianati intelektualitasnya akan berguguran, memilih kembali menyatu dalam barisan yang memperjuangkan kebenaran (Islam) atau tersuruk bersama tirani.***