Oleh: Ummu Mush’ab
“Apa anak seperti itu tidak membawa sial?” Sebuah tanya terlontar tepat di depan mukaku. Telingaku seperti tersambar petir. Badanku mendadak lunglai meski sekuat tenaga aku tetap tegak berdiri.
Pertanyaan yang tak pantas diucap. Pikiranku bergelayutan. Aku tak boleh diam. Harus ada pembelaan bagi sesosok bayi suci yang tertidur dalam dekapan.
***
Mudah hamil, mudah pula keguguran. Begitulah aku membuat kesimpulan akan kondisi medisku.
Bagaimana tidak? Lebih dari 8 tahun usia pernikahan yang kujalani. Hanya seorang putra berusia 5 tahun lewat yang mampu terlahir sempurna dari rahimku. Lainnya hanyalah amanah singkat yang dianugrahkan Allah.
Rentang usia trimester satu atau masuk awal trimester dua janin tak sempurna itu kembali pada Penciptanya. Keguguran. Berbagai analisa medis dimunculkan. Tapi, paling ringan jika ada yang bertanya kenapa bisa terjadi, cukup jawab, “Allah belum berkenan.”
Darah. Air mata. Pedih. Harap. Doa bercampur menjadi satu ketika dokter memutuskan agar aku bedrest total untuk mempertahankan kehamilanku yang ke sekian. Siap tak siap aku harus melakukannya jika memang ingin memiliki keturunan.
Hasilnya seorang bayi laki-laki merah merona menangis keras setelah melewati proses SC di sebuah Rumah Sakit. Muhammad Mush’ab Jundullah sebuah nama yang tercetak di surat kelahirannya.
Seiring waktu berlalu berbagai macam pertanyaan, hingga pertanyaan sejenis sering lalu lalang di telingaku ketika mereka melihat putraku beranjak balita.
Nggak ingin nambah momongan lagi ta?
Nggak enak lho kalau anaknya cuma satu.
Ayo segera nambah momongan lagi!
Rasul akan membanggakan banyaknya anak-anak kita lho.
“Sudahlah, tak semua anak memiliki kisah yang sama. Bisa jadi nanti adiknya Mush’ab tidak perlu bedrest, kuat, dan bisa lahir normal.” Sebuah pernyataan yang mendamaikan meluncur dari seorang teman.
Jujur saja, trauma berkali-kali keguguran masih menghantui diri. Meski hati kecil merasa ingin hadirnya kembali tangisan bayi yang memecah keheningan malam.
Bismillah. Tepat 3 tahun usia calon mujahidku, aku mencoba menghapus semua rasa trauma. Berharap bisa mendapat kepercayaan kembali untuk melahirkan dan mengasuh buah cinta kami.
Kurang lebih 2 tahun kami berjuang keluar masuk RS, alternatif, herbalis, hingga minum ramuan tradisional. Hasilnya 4 kali aku keguguran. Ya, 4 kali setelah putraku lahir. Sebelum itu, aku tak pernah menghitungnya dan mencoba melupakannya.
“Kenapa tidak menyerah? Apa tidak sakit?” Pertanyaan senada meluncur.
Sangat sakit sekali andai mereka bisa merasakannya. Bahkan, ibuku yang pernah sekali keguguran dan 4 kali melahirkan normal pernah berkata, “Rasa sakit keguguran itu 10 kali lipat sakitnya orang melahirkan.”
Tapi, rasa inginku kembali memiliki momongan menghapus semua luka yang kualami. Rasa ingin menjadi salah satu umat yang dibanggakan Rasul karena banyaknya anak mampu menghapua trauma yang tak terperi.
Hingga, keguguran ke-4 benar-benar mengubah semua asaku. Keguguran 1-3 tak perlu dirawat di RS karena cukup minum herbal, sisa-susa kehamilan bisa keluar dan bersih. Sementara yang ke-4 sempat masuk RS untuk mempertahankan Si Dedek tapi ternyata gugur juga. Keguguran kali ke-4 itu sakitnya luar biasa hingga seakan-akan malaikat maut telah berada tepat di depan mata.
“Bi, aku nggak sanggup jika diminta hamil lagi. Sakitnya luar biasa. Silahkan poligami jika ingin punya momongan lagi! Jika Allah berkenan memberiku momongan, akan kuminta dari jalan yang tak disangka-sangka. Aku tak tahu jalannya seperti apa.” ucapku sembari meringis menahan sakit dengan derai air mata yang tak kunjung usai pada imam kehidupanku. Kata-kata ini pun aku unggah pada Rabb Semesta Alam ketika kurasakah tubuhku merasakan tercerabut sepotong demi sepotong.
Doa membelah langit. Pada detik yang lain, sebuah tulisan Ustadz Hafidz Abdurrahman lewat beranda medsosku. Oase di tengah padang gurun gersang seakan menghampiri ketika kuhayati setiap untaian kata penuh hikmah. Ya, hanya doa satu-satunya kekuatan dan harapan yang bisa kulakukan ketika gunda gulana menyapa kehidupan berulangkali.
Kurang lebih 10 hari pasca peristiwa berdarah itu Allah jawab doaku. Seorang kakek berkenan menyerahkan cucu mungilnya ke pangkuanku. Bayi perempuan bermata jeli yang ditelantarkan kedua orangtua biologisnya menjadi ganti anak-anak kami yang kini menunggu di surga.
Syafa Putri Salsabila. Perempuan pemberi syafaat mata air surga. Nama itulah yang menjadi doa kami ketika diberi kepercayaan Allah untuk mengasuhnya. Berharap, ketika ia kami didik secara Islami.Kelak, iapun akan mampu menjadi jalan hidayah bagi keluarganya.
Benar, ia anak dari perbuatan nista remaja zaman now. Mau enaknya, tak mau anaknya. Tapi, dia bukanlah anak haram. Orangtuanyalah yang melakukan perbuatan haram. Ia suci sebagaimana bayi-bayi yang terlahir dari pernikahan sah. Dan ia bukan pembawa sial. Ia pembawa berkah. Pembawa kebaikan.
Buktinya. Putri berbibir sigar gambir itu menjadi obat bagi laraku setelah Allah uji dengan berkali-kali keguguran. Ia qurrotaa’yun di tengah keluarga kecil kami yang merindukan personel baru. Iapun penyemangat baru bagi sang kakak yang cukup lama merindukan panggilan Mas dari adiknya.
Tak cukup hanya itu. Allah buktikan keberkahannya dengan mewujudkan doa dalam namanya. Ia mendapatkan mata air surga sebelum ia menginjakkan kakinya di surga.
Ya, tepat 3 hari putri mungil itu berada dalam pengasuhanku Allah memberikan kejutan istimewa. ASI-ku keluar. Percaya atau tidak bibir mungilnya mengenyut dengan senyum tawa riang. Aku, nenek, dan buyutnya yang menjadi saksi hidup keajaiban itu menangis haru.
“Allahuakbar. Kau anakku Nak. Kau adik Mas Mush’ab. Kau adik sepersusuan Mas Mush’ab,” Kuucapkan kata itu sembari memeluknya dan sang kakak yang sedari tadi memandangiku berderai air mata.
“Umi, jangan nangis lagi ya!” Nasihatnya polos. Ah, anak-anak mana tahu sifat wanita. Sedih atau gembiranya ia, pasti ada air mata.
Allahlah pembuat skenario kehidupan terbaik. Dibalik tragedi berdarah, Allah menyimpan milyaran rahasia. Dibalik duka dan air mata, Allah menyiapkan tawa bahagia.
Jelas sudah. Tak ada pembawa sial di rumah mungil kami. Keduanya adalah putra putri yang dititipkan Allah dengan jalan lahir berbeda tapi memiliki ibu susu yang sama. Keduanya titipan Allah yang di tangan kamilah mereka akan menjadi apa. Sholih. Sholihah. Begitulah harapan yang tak pernah sepi dari lisan maupun perbuatan.